Peradi Soroti Sejumlah Permasalahan dalam UU Kepailitan dan PKPU
Kamis, 17 Februari 2022 - 22:05 WIB
Senada dengan Otto, Cahyo menyampaikan apakah sekarang Kepailitan dan PKPU ini menjadi forumnya siapa. Sedangkan soal BUMN, ia menyampaikan bahwa perusahaan pelat merah ini memang mempunyai keistimewaan (privilege).
“Saya setuju bahwa pada saat suatu BUMN melaksanakan suatu kegiatan taking commersial action memang harusnya didudukkan pada posisi yang sama. Tetapi kita bisa bahas lebih lanjut,” ujarnya.
Menurutnya, kita menyadari bahwa sistem kepailitan Indonesia belum sempurna sehingga ada saja yang memanfaatkan situasi, utang kecil diajukan kekepailitan atau juga kelompok kreditur nakal menggelembungkan tagihan-tagihan sehingga tidak dapat diselesaikan sehingga masuk ke kepailitan.
“Ini masalah persaingan usaha juga. Harus kita pikirkan bersama bagaimana kita mem-balance interest debitur dan kreditur,” katanya.
Sementara itu, Soedeson menyampaikan mengaku kecewa setelah membaca draf revisi UU Kepailitan dan PKPU. Menurutnya, kalau hanya demi memudahkan usaha maka mengajukan RUU seperti ini, maka harus menyampaikan kritik keras.
“Saya harus mengkritik secara keras mereka-mereka yang menyusun RUU ini yang sangat tidak memahami sistem hukum sehingga menabrak sistem hukum kita, tidak memahami insolvensi tes. Makna insolvasi tes itu makna akuntansi, bukan terminologi hukum,” ujarnya.
Adapun Hadi menyampaikan, tidak perlu ada insolvensi tes di Indonesia. Dari dua model sistem hukum di dunia, insolvensi tes diterapkan pada sistem hukum yang menganut Common Law seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Sedangkan di sistem hukum Sivil Law seperti Belanda berlaku sebaliknya.
“Jerman demikian, Perancis juga demikian, Indonesia juga demikian. Jadi Indonesia bukan satu-satunya yang tidak menerapkan insolvensi tes, bahkan Singapura yang karakteristiknya Common Law, itu sudah mengarah ke menghilangkan insolvensi tes tersebut. Itu dari segi teoritik begitu,” ujarnya.
“Saya setuju bahwa pada saat suatu BUMN melaksanakan suatu kegiatan taking commersial action memang harusnya didudukkan pada posisi yang sama. Tetapi kita bisa bahas lebih lanjut,” ujarnya.
Menurutnya, kita menyadari bahwa sistem kepailitan Indonesia belum sempurna sehingga ada saja yang memanfaatkan situasi, utang kecil diajukan kekepailitan atau juga kelompok kreditur nakal menggelembungkan tagihan-tagihan sehingga tidak dapat diselesaikan sehingga masuk ke kepailitan.
“Ini masalah persaingan usaha juga. Harus kita pikirkan bersama bagaimana kita mem-balance interest debitur dan kreditur,” katanya.
Sementara itu, Soedeson menyampaikan mengaku kecewa setelah membaca draf revisi UU Kepailitan dan PKPU. Menurutnya, kalau hanya demi memudahkan usaha maka mengajukan RUU seperti ini, maka harus menyampaikan kritik keras.
“Saya harus mengkritik secara keras mereka-mereka yang menyusun RUU ini yang sangat tidak memahami sistem hukum sehingga menabrak sistem hukum kita, tidak memahami insolvensi tes. Makna insolvasi tes itu makna akuntansi, bukan terminologi hukum,” ujarnya.
Adapun Hadi menyampaikan, tidak perlu ada insolvensi tes di Indonesia. Dari dua model sistem hukum di dunia, insolvensi tes diterapkan pada sistem hukum yang menganut Common Law seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Australia. Sedangkan di sistem hukum Sivil Law seperti Belanda berlaku sebaliknya.
“Jerman demikian, Perancis juga demikian, Indonesia juga demikian. Jadi Indonesia bukan satu-satunya yang tidak menerapkan insolvensi tes, bahkan Singapura yang karakteristiknya Common Law, itu sudah mengarah ke menghilangkan insolvensi tes tersebut. Itu dari segi teoritik begitu,” ujarnya.
(kri)
Lihat Juga :
tulis komentar anda