Peradi Soroti Sejumlah Permasalahan dalam UU Kepailitan dan PKPU

Kamis, 17 Februari 2022 - 22:05 WIB
“Jadi anggapan umum kalau orang punya aset banyak walaupun dia punya utang, katakan asetnya Rp100 miliar, tetapi utangnya Rp100 juta, orang tidak berpikir orang itu pailit karena asetnya masih banyak,” katanya.

Setelah ada UU Kepailitan dan PKPU, paradigma itu runtuh karena ketentuannya kalau ada 2 utang jatuh tempo yang bisa ditagih tetapi tidak dibayar, maka perusahaan yang ditagih itu cukup memenuhi syarat untuk dinyatakan pailit.

“Maka akhirnya orang berpikir meskipun orang itu punya asetnya Rp1 triliun, tetapi utangnya misalnya Rp10 miliar tidak dibayar, tetap saja pailit. Terjadi pergeseran bagaimana seseorang dinyatakan pailit atau tidak,” jelasnya.

Akibatnya, lanjut Otto, tidak ada ambang batas (threshold) jumlah utang dengan aset yang dimiliki suatu perusahaan atau seseorang untuk dapat dinyatakan pailit karena hanya dibuktikan dengan 2 utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih tetapi tidak dibayar.

“Ini menjadi suatu persoalan, mau ke mana kondisi seperti itu, apakah masih layak definisi utang seperti itu, atau apakah harus ada threshold yang harus kita pakai ukurannya,” kata Otto.

Masalah selanjutnya, soal siapa yang berwenang mengajukan kepailitan dan PKPU terhadap BUMN meskipun di UU itu sudah jelas. Tetapi dalam kenyataanya, hanya OJK yang bisa mengajukan terhadap BUMN.

“Ini menurut saya terjadi ketidakadilan, transaksinya bisnis biasa, kedudukannya sejajar, tetapi ada satu kebal hukum dan yang lain tidak,” papar Otto.

Selanjutnya, permasalahan terkait pengurus PKPU atau kepailitan, di antaranya tidak jarang kurator dan lainnya akhirnya berhadapan dengan hukum dan dipenjara karena dianggap menyalahgunakan UU Kepailitan, tindak pidana penggelapan, dan lain sebagainya.

Permasalahan lainnya, yakni soal bersifat sederhana. Menurutnya, ini terlalu "karet" sehingga apakah kata-kata sederhana ini perlu dipertahankan atau tidak karena terpenting utangnya ada. “Soal pembuktian sederhana atau tidak, sama pembuktiannya, dengan pembuktian biasa tidak ada bedanya. Kita sudah bisa lihat buktinya, prosesnya hukum yang sudah sempat ada gugatan replik, duplik, dan sebagainya,” kata dia.

Dalam webinar ini juga menghadirkan 3 pembicara lainnya, yakni Dirjen Administrasi Hukum Umum Kemenkumham, Cahyo Rahadian Muzhar; Ketum Himpunan Kurator dan Pengurus Indonesia (HKPI) dan Waketum Peradi, Soedeson Tandra; dan Dosen Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Hadi Subhan.
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More