Model Pers Berkelanjutan
Rabu, 09 Februari 2022 - 06:57 WIB
Gun Gun Heryanto
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
MEDIA arus utama menghadapi dilema. Di satu sisi peran dan fungsinya signifikan dalam menopang laju peradaban, di sisi lain tantangan dunia digital semakin dahsyat memaksa seluruh media massa untuk mengadaptasi ekosistem baru yang ditandai dengan budaya konvergensi. Institusi pers pun dituntut bertransformasi dengan model pers berkelanjutan. Tak lagi bisa sekadar asal jalan berbekal idealisme, melainkan harus mengelola ragam peluang dan tantangan di era yang penuh ketidakpastian.
Mengadaptasi Perubahan
Fakta sosial menunjukkan tingkat penetrasi internet di Indonesia semakin masif bahkan eksesif. Data dari We Are Social yang dirilis Januari 2021 memberi gambaran umum, bahwa pengguna internet Indonesia mencapai 202,6 juta atau 73,7% dari penduduk Indonesia yang berjumlah 274,9 juta jiwa. Sekitar 170 juta penduduk Indonesia atau 61,8% di antaranya merupakan pengguna aktif media sosial.
Dampak digital berimbas dalam pengelolaan pers di Indonesia. Dari sisi pembaca atau pengonsumsi, jelas terjadi perubahasan luar biasa. Kebiasaan membaca koran, menonton televisi, serta mendengar radio semakin bergeser dari pola konvensional ke pola konsumsi media baru. Tradisi interaksi informasi di dunia digital yang tak berbatas (borderless), serbacepat, multiplatform, dan bersifat interaktif, membuat kebiasaan mengonsumsi media massa juga jauh berubah.
Menurut laporan Digital News Report 2021 yang dirilis Reuters Institute for the Study of Journalism, 89% respondens menyatakan sumber memperoleh berita mereka adalah daring, 64% respondens menyatakan dari medsos, 58% dari televisi dan 20% dari media cetak. Saat respondens ditanya tentang alat yang mereka gunakan untuk memperoleh berita, tertinggi yakni 85% menggunakan ponsel pintar (smart phone), 37% menggunakan komputer, dan tablet 10%. Hal ini artinya konsep media terhubung (connected media) menjadi basis sangat penting dalam menjaga eksistensi media massa. Koran, televisi, majalah, radio dan media arus utama lainnya wajib terhubung dengan platform yang ada dan tersedia di media baru seperti beragam keberadaan media sosial. Sebagai contoh, pers bisa memanfaatkan lima platform media sosial paling banyak dipakai (top five) versi We Are Social, yakni: YouTube, WhatsApp, Instagram, Facebook, lalu Twitter. Tentu juga media sosial lainnya yang digandrungi oleh banyak kalangan.
Budaya konvergensi menjadi kunci. Konvergensi media adalah penggabungan atau pengintegrasian media-media yang ada untuk digunakan dan diarahkan ke dalam satu titik tujuan. Merujuk ke bukunya Henry Jenkins, Convergence Culture: Where Old and New Media (2008), konvergensi pada umumnya berarti persimpangan media lama dan baru. Konvergensi adalah aliran konten di platform beberapa media, kerja sama antara industri beberapa media, dan perilaku migrasi khalayak media.
Ketiga komponen yakni konten multiplatform, integrasi dan konsentrasi korporasi media, plus perilaku khalayak yang banyak berubah inilah yang membuat media massa tidak bisa menutup mata untuk bisa mengayuh di tengah ragam kepentingan dan tekanan yang datang bergelombang. Sebagai contoh konvergensi telekomunikasi dan penyiaran yang kini bisa disaksikan antara lain: Internet Broadcasting Service, IPTV (Internet Protocol Television), VOD Service (Video-on-Demand), DVB (Digital Video Broadcasting), Data Broadcasting, Pay TV, Cable TV, dan sebagainya. Kita juga bisa lihat stasiun televisi kita yang live streaming di website dan juga banyak yang live streaming di YouTube. Media cetak melakukan konvergensi dengan e-paper, atau terintegrasi membagi kontennya di media sosial. Ini menjadi wajah baru dan akan semakin menguat polanya pada saat ini dan di masa depan.
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
MEDIA arus utama menghadapi dilema. Di satu sisi peran dan fungsinya signifikan dalam menopang laju peradaban, di sisi lain tantangan dunia digital semakin dahsyat memaksa seluruh media massa untuk mengadaptasi ekosistem baru yang ditandai dengan budaya konvergensi. Institusi pers pun dituntut bertransformasi dengan model pers berkelanjutan. Tak lagi bisa sekadar asal jalan berbekal idealisme, melainkan harus mengelola ragam peluang dan tantangan di era yang penuh ketidakpastian.
Mengadaptasi Perubahan
Fakta sosial menunjukkan tingkat penetrasi internet di Indonesia semakin masif bahkan eksesif. Data dari We Are Social yang dirilis Januari 2021 memberi gambaran umum, bahwa pengguna internet Indonesia mencapai 202,6 juta atau 73,7% dari penduduk Indonesia yang berjumlah 274,9 juta jiwa. Sekitar 170 juta penduduk Indonesia atau 61,8% di antaranya merupakan pengguna aktif media sosial.
Dampak digital berimbas dalam pengelolaan pers di Indonesia. Dari sisi pembaca atau pengonsumsi, jelas terjadi perubahasan luar biasa. Kebiasaan membaca koran, menonton televisi, serta mendengar radio semakin bergeser dari pola konvensional ke pola konsumsi media baru. Tradisi interaksi informasi di dunia digital yang tak berbatas (borderless), serbacepat, multiplatform, dan bersifat interaktif, membuat kebiasaan mengonsumsi media massa juga jauh berubah.
Menurut laporan Digital News Report 2021 yang dirilis Reuters Institute for the Study of Journalism, 89% respondens menyatakan sumber memperoleh berita mereka adalah daring, 64% respondens menyatakan dari medsos, 58% dari televisi dan 20% dari media cetak. Saat respondens ditanya tentang alat yang mereka gunakan untuk memperoleh berita, tertinggi yakni 85% menggunakan ponsel pintar (smart phone), 37% menggunakan komputer, dan tablet 10%. Hal ini artinya konsep media terhubung (connected media) menjadi basis sangat penting dalam menjaga eksistensi media massa. Koran, televisi, majalah, radio dan media arus utama lainnya wajib terhubung dengan platform yang ada dan tersedia di media baru seperti beragam keberadaan media sosial. Sebagai contoh, pers bisa memanfaatkan lima platform media sosial paling banyak dipakai (top five) versi We Are Social, yakni: YouTube, WhatsApp, Instagram, Facebook, lalu Twitter. Tentu juga media sosial lainnya yang digandrungi oleh banyak kalangan.
Budaya konvergensi menjadi kunci. Konvergensi media adalah penggabungan atau pengintegrasian media-media yang ada untuk digunakan dan diarahkan ke dalam satu titik tujuan. Merujuk ke bukunya Henry Jenkins, Convergence Culture: Where Old and New Media (2008), konvergensi pada umumnya berarti persimpangan media lama dan baru. Konvergensi adalah aliran konten di platform beberapa media, kerja sama antara industri beberapa media, dan perilaku migrasi khalayak media.
Ketiga komponen yakni konten multiplatform, integrasi dan konsentrasi korporasi media, plus perilaku khalayak yang banyak berubah inilah yang membuat media massa tidak bisa menutup mata untuk bisa mengayuh di tengah ragam kepentingan dan tekanan yang datang bergelombang. Sebagai contoh konvergensi telekomunikasi dan penyiaran yang kini bisa disaksikan antara lain: Internet Broadcasting Service, IPTV (Internet Protocol Television), VOD Service (Video-on-Demand), DVB (Digital Video Broadcasting), Data Broadcasting, Pay TV, Cable TV, dan sebagainya. Kita juga bisa lihat stasiun televisi kita yang live streaming di website dan juga banyak yang live streaming di YouTube. Media cetak melakukan konvergensi dengan e-paper, atau terintegrasi membagi kontennya di media sosial. Ini menjadi wajah baru dan akan semakin menguat polanya pada saat ini dan di masa depan.
Lihat Juga :
tulis komentar anda