Soal Presidential Threshold, Perindo: Parpol Nonparlemen Bisa Usung Capres Lewat Koalisi 25%

Jum'at, 04 Februari 2022 - 20:17 WIB
Arief Budiman, Staf Khusus Ketua Umum DPP Partai Perindo yang juga Ketua Harian Komite Eksekutif Konvensi Rakyat Partai Perindo. Foto/MPI
JAKARTA - Dengan presidential threshold (PT) saat ini, partai politik (parpol) nonparlemen nasional, dinilai tetap bisa mengusulkan calon presiden/calon wakil presiden sendiri dengan memakai skema koalisi 25% berbasis suara Pemilu 2019.

Baca Juga: Konvensi Rakyat
"Kalau dikumpulkan, total persentase suara parpol-parpol non parlemen nasional itu mencapai 9,7%. Menggalang tambahan 15,3% lagi tentu bisa menjadi tawaran menarik dari kelompok partai nonparlemen nasional untuk menawarkan nama capres/cawapres dalam proses kandidasi ke depan. Dengan tetap mencermati secara seksama pandangan masyarakat," kata Arief Budiman.



Saat ini, sejumlah pihak menggugat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold/ PT) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka memprotes aturan PT dalam Pasal 222 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ke MK

Pasal tersebut mengatur pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional, pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.

Menurut para penggugat, bahwa penghitungan yang berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya adalah irasional dan telah menghilangkan esensi pelaksanaan Pemilu, sehingga bertentangan dengan UUD 1945.

Arief menjelaskan, sistem kandidasi Pilpres tiap-tiap negara demokratis mempunyai ciri dan caranya masing-masing. Amerika Serikat contohnya, capres yang memperoleh popular votes terbesar saja belum tentu menang, karena mereka menerapkan sistem Electoral Collage.

"Dalam konteks Indonesia, tentu kita sepakat bahwa konstitusi UUD Negara 1945 adalah aturan main paling tinggi tentang kontestasi Pilpres. Bilamana konstitusi kurang memberikan kejelasan, maka open interpretation harus ditata lagi di tingkat undang-undang," urainya.

Di tingkat pembahasan RUU itulah lanjut dia, partai-partai wajib hukumnya mendengar aspirasi publik, terutama jika MK mengembalikan ketentuan PT ini ke pembuat UU untuk dibahas kembali.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More