BMKG Dorong Ahli Konstruksi Indonesia Mitigasi Ancaman Gempa Bumi dan Tsunami
Minggu, 30 Januari 2022 - 21:49 WIB
JAKARTA - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika ( BMKG ), Dwikorita Karnawati mendorong para ahli konstruksi berperan aktif dalam upaya mitigasi bencana gempa bumi dan tsunami. Menurut Dwikorita, banyaknya korban berjatuhan saat gempa bumi adalah akibat struktur bangunan yang tidak tahan gempa.
"Bukan gempa bumi yang mengakibatkan korban jiwa maupun luka-luka dalam setiap kejadian, tapi akibat tertimpa bangunan," kata Dwikorita dalam webinar yang diselenggarakan Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia, dikutip, Minggu (30/1/2022).
Dwikorita mengatakan, dinamika kegempaan yang tidak menentu, ditambah dengan tata ruang, penataan kawasan lingkungan permukiman yang tidak dirancang dengan baik dan adaptif terhadap bencana dapat semakin memperburuk akibat yang ditimbulkan oleh gempa bumi. Hal ini akan berdampak lebih buruk lagi jika masyarakat tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk mengatisipasi dan menghadapi bencana.
Contohnya, kata Dwikorita, adalah saat gempa magnitudo (M) 6,6 di Kabupaten Pandeglang, Banten yang terjadi 14 Januari 2022. Dalam gempa tersebut, terjadi kepanikan masyarakat dan kerusakan bangunan yang cukup parah. Realitas tersebut berarti Indonesia memang belum siap manakala gempa besar sewaktu-waktu mengguncang.
Gambaran sikap panik, lanjut Dwikorita, membawa pesan tersendiri, khususnya bagi para stakeholder, para asosiasi profesi bangunan, dan kementerian/lembaga terkait. Perlu pemahaman kewilayahan, terutama yang berpotensi menjadi wilayah terdampak, diikuti dengan perencanaan dan konsep pembangunan yang sudah memperhitungkan risiko potensi dampak akibat bahaya gempa bumi di wilayahnya.
"Hasil kajian BMKG, selain karena lokasi yang berada di atas lapisan tanah dengan klasifikasi jenis tanah lunak (SE) juga karena konstruksi bangunan yang tidak memenuhi standar tahan gempa," ujarnya.
Baca juga: Gempa Terkini M5,2 Guncang Malang, Warga Diimbau Waspada
Dwikorita menyebut, gempa Banten sebagai alarm, sehingga usaha kewaspadaan, kesiapsiagaan, dan mitigasi secara struktural maupun kultural terhadap bencana gempabumi dan tsunami perlu terus ditingkatkan. Partisipasi aktif dari kelima unsur pentahelix (pemerintah, akademisi, pihak swasta/industri, komunitas, dan media), kata dia, menjadi kunci dalam manajemen bencana di Indonesia.
Maka dari itu, tambah Dwikorita, HAKI sebagai organisasi yang menaungi para ahli konstruksi Indonesia diharapkan turut menyelesaikan berbagai persoalan tersebut. Menurutnya, perlu dibangun pemahaman kembali bagaimana perlunya memperketat penerapan peraturan pembangunan bangunan tahan gempa di wilayah atau zona yang berpotensi terdampak akibat aktivitas suatu sumber kegempaan.
"Saya berharap HAKI bisa turut bersinergi dan berkolaborasi memberikan rekomendasi-rekomendasi positif kepada pemerintah daerah, sehingga bisa dapat segera diintegrasikan dalam kebijakan-kebijakan konkret. Sebab, langkah dan sistem mitigasi kebencanaan menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah/kota sesuai Permendagri No 101 Tahun 2018," katanya.
"Bukan gempa bumi yang mengakibatkan korban jiwa maupun luka-luka dalam setiap kejadian, tapi akibat tertimpa bangunan," kata Dwikorita dalam webinar yang diselenggarakan Himpunan Ahli Konstruksi Indonesia, dikutip, Minggu (30/1/2022).
Dwikorita mengatakan, dinamika kegempaan yang tidak menentu, ditambah dengan tata ruang, penataan kawasan lingkungan permukiman yang tidak dirancang dengan baik dan adaptif terhadap bencana dapat semakin memperburuk akibat yang ditimbulkan oleh gempa bumi. Hal ini akan berdampak lebih buruk lagi jika masyarakat tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk mengatisipasi dan menghadapi bencana.
Contohnya, kata Dwikorita, adalah saat gempa magnitudo (M) 6,6 di Kabupaten Pandeglang, Banten yang terjadi 14 Januari 2022. Dalam gempa tersebut, terjadi kepanikan masyarakat dan kerusakan bangunan yang cukup parah. Realitas tersebut berarti Indonesia memang belum siap manakala gempa besar sewaktu-waktu mengguncang.
Gambaran sikap panik, lanjut Dwikorita, membawa pesan tersendiri, khususnya bagi para stakeholder, para asosiasi profesi bangunan, dan kementerian/lembaga terkait. Perlu pemahaman kewilayahan, terutama yang berpotensi menjadi wilayah terdampak, diikuti dengan perencanaan dan konsep pembangunan yang sudah memperhitungkan risiko potensi dampak akibat bahaya gempa bumi di wilayahnya.
"Hasil kajian BMKG, selain karena lokasi yang berada di atas lapisan tanah dengan klasifikasi jenis tanah lunak (SE) juga karena konstruksi bangunan yang tidak memenuhi standar tahan gempa," ujarnya.
Baca juga: Gempa Terkini M5,2 Guncang Malang, Warga Diimbau Waspada
Dwikorita menyebut, gempa Banten sebagai alarm, sehingga usaha kewaspadaan, kesiapsiagaan, dan mitigasi secara struktural maupun kultural terhadap bencana gempabumi dan tsunami perlu terus ditingkatkan. Partisipasi aktif dari kelima unsur pentahelix (pemerintah, akademisi, pihak swasta/industri, komunitas, dan media), kata dia, menjadi kunci dalam manajemen bencana di Indonesia.
Maka dari itu, tambah Dwikorita, HAKI sebagai organisasi yang menaungi para ahli konstruksi Indonesia diharapkan turut menyelesaikan berbagai persoalan tersebut. Menurutnya, perlu dibangun pemahaman kembali bagaimana perlunya memperketat penerapan peraturan pembangunan bangunan tahan gempa di wilayah atau zona yang berpotensi terdampak akibat aktivitas suatu sumber kegempaan.
"Saya berharap HAKI bisa turut bersinergi dan berkolaborasi memberikan rekomendasi-rekomendasi positif kepada pemerintah daerah, sehingga bisa dapat segera diintegrasikan dalam kebijakan-kebijakan konkret. Sebab, langkah dan sistem mitigasi kebencanaan menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah daerah/kota sesuai Permendagri No 101 Tahun 2018," katanya.
(abd)
tulis komentar anda