Bahlil Klaim Pengusaha Ingin Pemilu 2024 Diundur, MPR Tegaskan Tak Ada Agenda Amendemen
Selasa, 11 Januari 2022 - 09:35 WIB
JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid menanggapi usulan dunia usaha yang disampaikan oleh Menteri Investasi Bahlil Lahadalia agar Pemilu Serentak 2024 diundur. Wacana tersebut dinilai selain tak sesuai dengan ketentuan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945.
HNW menegaskan selain itu juga tak kondusif bagi iklim berusaha karena usulan itu memantik polemik yang bisa hadirkan ketidakpastian hukum yang tidak kondusif untuk berkembangnya gerak ekonomi dan investasi.
“Karena ketentuan soal masa jabatan Presiden itu bukanlah domainnya pengusaha, melainkan UUD 1945. Aturan-aturannya pun sangat jelas dan tegas. Pasal 7 UUD 1945 hanya membolehkan Presiden menjabat maksimal dua periode, dan Pasal 22E mengamanatkan agar Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali,” ujar HNW dalam keterangannya dikutip, Selasa (11/1/2022).
"Artinya sudah fixed, tidak ada alternatif konstitusional untuk perpanjangan menjadi 3 periode, maupun penambahan 3 tahun untuk periode ke dua karena itu tidak sesuai dengan konstitusi," sambungnya.
Apalagi, Hidayat menjelaskan untuk bisa mengubah ketentuan UUD 45 itu, kewenangannya sesuai dengan UUD 45 itu sendiri ada di MPR khususnya Pasal 37, dan MPR tidak ada agenda perubahan UUD untuk memperpanjang masa jabatan presiden. Tidak ada satu pun anggota MPR yang mengusulkan perubahan itu, padahal UUD mengatur jumlah syarat minimal jumlah pengusul yaitu 1/3 anggota MPR yaitu 237 Anggota MPR.
“Maka wajar bila pemerintah dan DPR juga sudah sepakat, bahwa Pemilu (legislatif maupun pilpres/eksekutif) tetap akan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan UUD 1945 dan UU Pemilu yaitu pada tahun 2024. Ketentuan Konstitusi ini harus ditaati dan dihormati semua warga, termasuk dari kalangan pengusaha."
"Apalagi pandemi Covid-19 juga terjadi di semua negara demokratis, seperti Amerika Serikat, Iran, New Zealand, dengan segala dampak sosial dan ekonominya, tapi tak ada yang karena alasan ekonomi akibat Covid-19 kemudian mengubah konstitusinya untuk menambahkan masa jabatan bagi Presiden,” imbuhnya.
Menurut Hidayat, usulan tersebut justru akan merugikan dunia usaha sendiri, lantaran akan bisa memunculkan ketidakpastian hukum, sesuatu yang tidak disukai oleh dunia usaha. Belum lagi polemik yang timbul di masyarakat bisa memberikan guncangan pada stabilitas sosial-politik yang berdampak negatif ke dunia usaha di Indonesia juga.
“Usulan tersebut justru paradoks dengan tradisi dunia usaha yang selama ini justru menuntut hadirnya kepastian hukum, agar bisnis dan investasi lancar. Sehingga patut dipertanyakan apakah benar usulan tersebut datang dari mayoritas pengusaha atau justru dari segelintir pengusaha yang berkepentingan saja,” terangnya.
HNW menegaskan selain itu juga tak kondusif bagi iklim berusaha karena usulan itu memantik polemik yang bisa hadirkan ketidakpastian hukum yang tidak kondusif untuk berkembangnya gerak ekonomi dan investasi.
“Karena ketentuan soal masa jabatan Presiden itu bukanlah domainnya pengusaha, melainkan UUD 1945. Aturan-aturannya pun sangat jelas dan tegas. Pasal 7 UUD 1945 hanya membolehkan Presiden menjabat maksimal dua periode, dan Pasal 22E mengamanatkan agar Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali,” ujar HNW dalam keterangannya dikutip, Selasa (11/1/2022).
"Artinya sudah fixed, tidak ada alternatif konstitusional untuk perpanjangan menjadi 3 periode, maupun penambahan 3 tahun untuk periode ke dua karena itu tidak sesuai dengan konstitusi," sambungnya.
Apalagi, Hidayat menjelaskan untuk bisa mengubah ketentuan UUD 45 itu, kewenangannya sesuai dengan UUD 45 itu sendiri ada di MPR khususnya Pasal 37, dan MPR tidak ada agenda perubahan UUD untuk memperpanjang masa jabatan presiden. Tidak ada satu pun anggota MPR yang mengusulkan perubahan itu, padahal UUD mengatur jumlah syarat minimal jumlah pengusul yaitu 1/3 anggota MPR yaitu 237 Anggota MPR.
“Maka wajar bila pemerintah dan DPR juga sudah sepakat, bahwa Pemilu (legislatif maupun pilpres/eksekutif) tetap akan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan UUD 1945 dan UU Pemilu yaitu pada tahun 2024. Ketentuan Konstitusi ini harus ditaati dan dihormati semua warga, termasuk dari kalangan pengusaha."
"Apalagi pandemi Covid-19 juga terjadi di semua negara demokratis, seperti Amerika Serikat, Iran, New Zealand, dengan segala dampak sosial dan ekonominya, tapi tak ada yang karena alasan ekonomi akibat Covid-19 kemudian mengubah konstitusinya untuk menambahkan masa jabatan bagi Presiden,” imbuhnya.
Menurut Hidayat, usulan tersebut justru akan merugikan dunia usaha sendiri, lantaran akan bisa memunculkan ketidakpastian hukum, sesuatu yang tidak disukai oleh dunia usaha. Belum lagi polemik yang timbul di masyarakat bisa memberikan guncangan pada stabilitas sosial-politik yang berdampak negatif ke dunia usaha di Indonesia juga.
“Usulan tersebut justru paradoks dengan tradisi dunia usaha yang selama ini justru menuntut hadirnya kepastian hukum, agar bisnis dan investasi lancar. Sehingga patut dipertanyakan apakah benar usulan tersebut datang dari mayoritas pengusaha atau justru dari segelintir pengusaha yang berkepentingan saja,” terangnya.
tulis komentar anda