Cara Instan Pejabat dan Politisi Dongkrak Popularitas
Sabtu, 08 Januari 2022 - 09:30 WIB
JAKARTA - Para pejabat dan politisi kerap memanfaatkan berbagai momen sepertiraihan prestasi atlet atau peristiwa bencana untuk panjat sosial (pansos) . Masyarakat pun menilai perilaku ini kurang etis karena mereka dianggap tak memiliki rasa empati terlebih jika memanfaatkan momentum bencana .
Salah satu komponen penting bagi pejabat di eksekutif dan politisi, baik nasional maupun daerah, mungkin citra diri di hadapan masyarakat. Mereka biasanya menampilkan diri di berbagai agenda dan kampanye politik. Namun, tak sedikit yang tampil ketika ada prestasi atlet atau bencana. Ini terlihat, misalnya pada saat ada atlet Indonesia yang meraih medali emas di Olimpiade, piala AFF, dan bencana letusan Gunung Semeru.
Di era serba digital, para pejabat tidak hanya memasang baliho di lokasi-lokasi strategis untuk mengucapkan selamat kepada atlet yang berprestasi atau rasa simpatinya kepada korban bencana. Akan tetapi, mereka juga mempostingnya di berbagai platform media sosial (medsos), seperti facebook, twitter, dan Instagram. Tingkah polah ini dianggap sebagai panjat sosial (pansos).
Pengamat Komunikasi Politik Suko Widodo mengatakan para pejabat atau politisi yang melakukan pansos itu memiliki tujuan untuk populer dengan cara cepat. Apalagi melalui medsos, mereka bisa meningkatkan jumlah pengikut. “Cara instan dengan segala cara mencari peluang agar cepat apakah mematikan karakter orang atau apa, enggak peduli,” ujarnya saat dihubungi Koran SINDO, Kamis (6/2/2022).
Dosen Universitas Airlangga itu menyatakan suka tidak suka, pansos bisa mendongkrak popularitas. Namun, soal citranya nantinya positif atau negatif itu tergantung penilaian publik. Untuk mendapatkan yang positif tentunya tergantung dari kualitas peristiwa yang diangkat. Menurutnya, pansos akan cepat atau berpengaruh signifikan jika ada kaitan antara orang yang punya otoritas dengan peristiwa yang terjadi.
Suko Widodo menilai pansos saat warga terkena bencana tidaklah etiskarena seringkali dipaksakan. "Kedua, bantuan itu untuk membantu bukan untuk populatitas. Jadi, pansos itu tidak patut. Pingin instan tidak peduli halal atau haramnnya. Dia menjauhkan fungsinya datang ke situ. Substansinya (jadi) hilang. Mau bantu malah yang gede pencitraannya bukan bantuannya,” tegasnya.
Masyarakat kerap disuguhi aneka bendera parpol atau foto pejabat di baleho yang bertebaran di wilayah yang baru terkena bencana. Kasus lain, tiba-tiba pejabat atau politisi memasang ucapan selamat di jalan-jalan untuk mengucapkan selamat kepada atlet yang berprestasi. Padahal, mereka tidak memiliki kaitan langsung dengan atlet tersebut.
Salah satu komponen penting bagi pejabat di eksekutif dan politisi, baik nasional maupun daerah, mungkin citra diri di hadapan masyarakat. Mereka biasanya menampilkan diri di berbagai agenda dan kampanye politik. Namun, tak sedikit yang tampil ketika ada prestasi atlet atau bencana. Ini terlihat, misalnya pada saat ada atlet Indonesia yang meraih medali emas di Olimpiade, piala AFF, dan bencana letusan Gunung Semeru.
Di era serba digital, para pejabat tidak hanya memasang baliho di lokasi-lokasi strategis untuk mengucapkan selamat kepada atlet yang berprestasi atau rasa simpatinya kepada korban bencana. Akan tetapi, mereka juga mempostingnya di berbagai platform media sosial (medsos), seperti facebook, twitter, dan Instagram. Tingkah polah ini dianggap sebagai panjat sosial (pansos).
Pengamat Komunikasi Politik Suko Widodo mengatakan para pejabat atau politisi yang melakukan pansos itu memiliki tujuan untuk populer dengan cara cepat. Apalagi melalui medsos, mereka bisa meningkatkan jumlah pengikut. “Cara instan dengan segala cara mencari peluang agar cepat apakah mematikan karakter orang atau apa, enggak peduli,” ujarnya saat dihubungi Koran SINDO, Kamis (6/2/2022).
Dosen Universitas Airlangga itu menyatakan suka tidak suka, pansos bisa mendongkrak popularitas. Namun, soal citranya nantinya positif atau negatif itu tergantung penilaian publik. Untuk mendapatkan yang positif tentunya tergantung dari kualitas peristiwa yang diangkat. Menurutnya, pansos akan cepat atau berpengaruh signifikan jika ada kaitan antara orang yang punya otoritas dengan peristiwa yang terjadi.
Suko Widodo menilai pansos saat warga terkena bencana tidaklah etiskarena seringkali dipaksakan. "Kedua, bantuan itu untuk membantu bukan untuk populatitas. Jadi, pansos itu tidak patut. Pingin instan tidak peduli halal atau haramnnya. Dia menjauhkan fungsinya datang ke situ. Substansinya (jadi) hilang. Mau bantu malah yang gede pencitraannya bukan bantuannya,” tegasnya.
Masyarakat kerap disuguhi aneka bendera parpol atau foto pejabat di baleho yang bertebaran di wilayah yang baru terkena bencana. Kasus lain, tiba-tiba pejabat atau politisi memasang ucapan selamat di jalan-jalan untuk mengucapkan selamat kepada atlet yang berprestasi. Padahal, mereka tidak memiliki kaitan langsung dengan atlet tersebut.
Lihat Juga :
tulis komentar anda