Gus Yahya Staquf, Api Peradaban
Selasa, 28 Desember 2021 - 14:05 WIB
Khairi Fuady,
Anak Muda NU
Pascamuktamar NU, saya mencoba menyelami samudera kearifan dari sosok Gus Yahya Staquf Bin Almaghfurlah KH. Cholil Bisri, dan I was really amazed (takjub). Saya urai satu per satu gagasan beliau dengan pikiran dan hati yang jernih (qolbun salim), sangat reflektif.
Gus Yahya punya tagline "Menghidupkan Gus Dur". Sebagai ulama, tentu saja Beliau tahu bahwa "Walaa tahsabannaladziina qutiluu fii sabilillahi amwaataa", atau "walaa taquuluu liman yuqtalu fii sabiilillaahi amwaat". Jangan kira bahwa orang-orang soleh itu mati, akan tetapi mereka hidup. Gus Yahya pasti paham ini. Tapi barangkali, ia menginginkan hidup yang lebih dari sekadar hidup. Ia menginginkan Gus Dur hidup di hati nahdhiyyin, di tengah maraknya perilaku kita yang sudah banyak kehilangan teladan.
Menghidupkan Gus Dur ia jabarkan kepada sejumlah keinginan-keinginan. Seorang pengamat yang juga dosen saya di Paramadina, A. Khoirul Umam menjelaskan, visi tersebut nanti akan sangat berpengaruh pada corak PBNU ke depan. Ia akan menarik garis tegas mengenai peran NU dalam konteks politik kebangsaan dan politik praktis sebagaimana ajaran Gus Dur. Artinya, garis tegas relasi NU dan politik sebagaimana diamanahkan dalam Khittah NU 1926 akan dijaga kuat. Dengan kata lain, para politisi yang kemarin sorak-sorai dengan terpilihnya Gus Yahya, siap-siap gigit jari. Gus Yahya akan "Extremely Consistent" soal ini.
Mimpi Gus Yahya adalah NU benar-benar menjadi Jam'iyah Diniyah Ijtima'iyah. Organisasi keagamaan-sosial. Ketika musyawarah "Ahlul Halli Wal 'Aqdi" terjadi, Romo Kiai Miftachul Akhyar sudah memberikan uswah/teladan dengan berkomitmen untuk tidak rangkap jabatan di luar kepengurusan NU. Artinya, hal ini pun akan dilaksanakan Gus Yahya dalam pembentukan kepengurusan nanti. Teman-teman yang kadung punya stempel sebagai pengurus partai politik, akan sangat merepotkan Gus Yahya karena beliau pasti komitmen dengan prinsipnya.
Imajinasi Gus Yahya berikutnya adalah "Governing The NU". Ini juga keren banget. Gus Yahya berpendapat, sebuah organisasi bisa terjebak ke dalam kejumudan dan tumpul kalau kerjanya cuma ngurusin SK kepengurusan. Dan NU sebagai Jam'iyah Diniyah Ijtima'iyah menurut Gus Yahya, cenderung terkungkung pada hal-hal yang menyangkut peribadatan dan dimensi agama sebagai identitas kelompok. Gus Yahya mengkritik gegap gempita sambutan nahdhiyyin terhadap wacana anti-radikalisme yang hari ini menjadi semacam isu utama anak-anak NU. Bahkan menjadi isu utama pula bagi Ansor dan Banser yang dipimpin oleh Sang Adik, Yaqut Cholil Qoumas.
Padahal kata Gus Yahya, sejumlah isu "duniawi" lain justru tak kalah penting. Seperti ketimpangan ekonomi, kerusakan alam/ekologi, hukum dan korupsi, serta kebangkrutan etika dan moral. Tapi sayangnya isu-isu tersebut nyaris tak mendapatkan perhatian, karena kita sibuk kampanye "radikal-radikul" sambil meneriakkan jargon NKRI.
Anak Muda NU
Pascamuktamar NU, saya mencoba menyelami samudera kearifan dari sosok Gus Yahya Staquf Bin Almaghfurlah KH. Cholil Bisri, dan I was really amazed (takjub). Saya urai satu per satu gagasan beliau dengan pikiran dan hati yang jernih (qolbun salim), sangat reflektif.
Gus Yahya punya tagline "Menghidupkan Gus Dur". Sebagai ulama, tentu saja Beliau tahu bahwa "Walaa tahsabannaladziina qutiluu fii sabilillahi amwaataa", atau "walaa taquuluu liman yuqtalu fii sabiilillaahi amwaat". Jangan kira bahwa orang-orang soleh itu mati, akan tetapi mereka hidup. Gus Yahya pasti paham ini. Tapi barangkali, ia menginginkan hidup yang lebih dari sekadar hidup. Ia menginginkan Gus Dur hidup di hati nahdhiyyin, di tengah maraknya perilaku kita yang sudah banyak kehilangan teladan.
Menghidupkan Gus Dur ia jabarkan kepada sejumlah keinginan-keinginan. Seorang pengamat yang juga dosen saya di Paramadina, A. Khoirul Umam menjelaskan, visi tersebut nanti akan sangat berpengaruh pada corak PBNU ke depan. Ia akan menarik garis tegas mengenai peran NU dalam konteks politik kebangsaan dan politik praktis sebagaimana ajaran Gus Dur. Artinya, garis tegas relasi NU dan politik sebagaimana diamanahkan dalam Khittah NU 1926 akan dijaga kuat. Dengan kata lain, para politisi yang kemarin sorak-sorai dengan terpilihnya Gus Yahya, siap-siap gigit jari. Gus Yahya akan "Extremely Consistent" soal ini.
Mimpi Gus Yahya adalah NU benar-benar menjadi Jam'iyah Diniyah Ijtima'iyah. Organisasi keagamaan-sosial. Ketika musyawarah "Ahlul Halli Wal 'Aqdi" terjadi, Romo Kiai Miftachul Akhyar sudah memberikan uswah/teladan dengan berkomitmen untuk tidak rangkap jabatan di luar kepengurusan NU. Artinya, hal ini pun akan dilaksanakan Gus Yahya dalam pembentukan kepengurusan nanti. Teman-teman yang kadung punya stempel sebagai pengurus partai politik, akan sangat merepotkan Gus Yahya karena beliau pasti komitmen dengan prinsipnya.
Imajinasi Gus Yahya berikutnya adalah "Governing The NU". Ini juga keren banget. Gus Yahya berpendapat, sebuah organisasi bisa terjebak ke dalam kejumudan dan tumpul kalau kerjanya cuma ngurusin SK kepengurusan. Dan NU sebagai Jam'iyah Diniyah Ijtima'iyah menurut Gus Yahya, cenderung terkungkung pada hal-hal yang menyangkut peribadatan dan dimensi agama sebagai identitas kelompok. Gus Yahya mengkritik gegap gempita sambutan nahdhiyyin terhadap wacana anti-radikalisme yang hari ini menjadi semacam isu utama anak-anak NU. Bahkan menjadi isu utama pula bagi Ansor dan Banser yang dipimpin oleh Sang Adik, Yaqut Cholil Qoumas.
Padahal kata Gus Yahya, sejumlah isu "duniawi" lain justru tak kalah penting. Seperti ketimpangan ekonomi, kerusakan alam/ekologi, hukum dan korupsi, serta kebangkrutan etika dan moral. Tapi sayangnya isu-isu tersebut nyaris tak mendapatkan perhatian, karena kita sibuk kampanye "radikal-radikul" sambil meneriakkan jargon NKRI.
tulis komentar anda