Upah Minimum 2022, Refleksi Awal atas PP 36/2021

Kamis, 02 Desember 2021 - 11:11 WIB
PP 36/2021 ini juga memperkenalkan formula untuk menghitung batas atas, sehingga upah minimum di sebuah daerah tidak naik jika besarannya melebihi batas atas. Variabel yang digunakan untuk menghitung batas atas adalah rata-rata konsumsi per kapita, rata-rata banyaknya anggota rumah tangga, serta rata-rata banyaknya anggota rumah tangga yang bekerja pada setiap rumah tangga. Dan perubahan lainnya adalah ada sanksi bagi kepala daerah yang tidak menaati PP 36/32021.

Baca juga: UMK 2022 Tidak Naik, Buruh di Bandung Barat Ancam Mogok Nasional



Kecilnya kenaikan upah minimum ini sudah diprediksi, bahkan sejak tahun 2015 ketika Pemerintah menerbitkan PP 78/2015. Sejak itu, upah minimum ditetapkan dengan formula matematika, bukan dengan perundingan di dewan pengupahan daerah seperti sebelumnya. Tahun ini, berdasarkan UU 11/2020 Tentang Cipta Kerja, pemerintah mengatur cara penetapan upah minimum dengan PP 36/2021 yang akan berlaku untuk tahun 2022.

Untuk merespons kecilnya kenaikan upah minimum, serikat pekerja/buruh memberikan tekanan kepada bupati/wali kota untuk merekomendasikan besaran upah minimum yang lebih besar kepada gubernur. Tetapi rekomendasi itu ditolak dan gubernur tetap menggunakan formula dalam PP 36/2021 untuk menetapkan UMP dan UMK.

Upah minimum dapat dihitung dengan formula matematika dengan variabel ekonomi sebagaimana yang kita gunakan sekarang dan bisa juga dirundingkan, seperti yang dipakai sebelum tahun 2015. Beberapa literatur memberikan kelebihan dan kekurangan dari kedua cara tersebut.

Menurut Dickens (2015) model perundingan memberikan fleksibilitas dan ruang dialog antara pekerja dengan pengusaha, tetapi prosesnya lama dan besarannya sulit diprediksi, apalagi jika ada intervensi politik. Sementara itu, model formula memberikan transparansi dan kepastian dalam proses dan ketepatan waktu, tetapi kurang fleksibel dalam merespons keadaan pasar tenaga kerja yang dinamis.

Selain itu, sering terjadi formula yang ditetapkan tidak dapat memasukkan semua faktor ekonomi dan ketenagakerjaan yang sangat kompleks (ILO, 2017). Kita perlu mencari model yang sesuai kemampuan institusi yang dimiliki oleh suatu negara, kemampuan badan statistik, dan kemampuan para pemangku kepentingan (ILO, 2017) untuk mencapai tujuan kebijakan upah minimum.

Dalam konteks Indonesia, Nugroho (2021) menemukan bahwa model formula matematika memberikan biaya transaksi ex-ante lebih rendah dibandingkan model perundingan, tetapi dapat meningkatkan risiko biaya ex-post. Penelitian tersebut menggunakan transaction cost economics (ekonomi biaya transaksi) dengan metode Delphi untuk mendapatkan konsensus pakar yang menjadi narasumber penelitian.

Pakar dalam penelitian tersebut sepakat bahwa penghapusan perundingan, penggunaan data Badan Pusat Statistik (BPS), dan penghapusan peran kepala daerah dalam menetapkan besaran upah minimum meningkatkan efisiensi waktu dan efisiensi koordinasi. Tetapi, pakar tidak mencapai konsensus dalam menilai risiko perselisihan hubungan industrial yang muncul karena penerapan PP 36/2021. Sebagian pakar menilai penggunaan formula menurunkan risiko perselisihan, sebagian lain berpendapat risiko perselisihan naik karena upah minimum di beberapa daerah tidak naik.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More