Jejak TB Simatupang, Gerilya Bersama Jenderal Soedirman hingga Menjadi Pahlawan Nasional
Kamis, 25 November 2021 - 11:48 WIB
Peristiwa tersebut terjadi akibat perbedaan pandangan di internal militer Indonesia. Terdapat keinginan rasionalisasi tentara sesuai fungsi dan keinginan tentara tetap memainkan fungsi ganda yaitu politik yang sebelumnya telah disetujui oleh DPRS. Hal itu juga yang memunculkan serbuan untuk membubarkan DPRS.
Ketika banyak anggota militer menjadi pimpinan politik, KSAP TB Simatupang dan KSAD Abdul Haris Nasution berkeinginan mengembalikan tentara sesuai fungsinya. Namun, pemikiran itu tidak didukung oleh Kolonel Bambang Supeno. Akhirnya Supeno mengirimkan surat ke parlemen untuk mencabut jabatan AH Nasution lantaran tidak puas dengan kinerja yang diberikan.
Internal militer terpecah dan DPRS turut andil dalam memberikan mosi terhadap masalah internal militer. AH Nasution menilai mosi yang diberikan terlalu intervensi terhadap masalah TNI. Tepat 17 Oktober 1952 itu, Nasution bersama 30.000 demonstran unjuk rasa di Istana Merdeka. Tank, meriam, dan persenjataan artileri dihadapkan ke Istana. Mereka mendesak agar parlemen dibubarkan dan konflik dalam tubuh militer segera diakhiri.
Pada tahun 1953, Presiden Soekarno mengurangi wewenang Simatupang di Angkatan Darat dan menghapus jabatan KSAP (saat ini Panglima TNI ). Hal itu lantaran perbedaan pandangan mengenai pembubaran parlemen (DPRS) pada 17 Oktober 1952. Selain itu, Simatupang dinilai pro gerakan 17 Oktober dan melakukan ‘setengah kudeta’ terhadap Soekarno.
Setahun kemudian, Simatupang diangkat sebagai Penasihat Militer di Departemen Pertahanan RI. Pada 21 Juli 1959, Simatupang mengundurkan diri dari dinas kemiliteran dan memilih aktif dalam kegiatan gereja dan menulis buku. Melalui tulisan, ia membekali perwira-perwira di sekolah militer. Buku pertama yang ia tulis adalah 'Laporan dari Banaran'. Buku ini mengisahkan tentang perannya dalam Revolusi Kemerdekaan.
TB Simatupang meninggal pada tahun 1990 di Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata, Jakarta Selatan. Pada 8 November 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada TB Simatupang.
Ketika banyak anggota militer menjadi pimpinan politik, KSAP TB Simatupang dan KSAD Abdul Haris Nasution berkeinginan mengembalikan tentara sesuai fungsinya. Namun, pemikiran itu tidak didukung oleh Kolonel Bambang Supeno. Akhirnya Supeno mengirimkan surat ke parlemen untuk mencabut jabatan AH Nasution lantaran tidak puas dengan kinerja yang diberikan.
Internal militer terpecah dan DPRS turut andil dalam memberikan mosi terhadap masalah internal militer. AH Nasution menilai mosi yang diberikan terlalu intervensi terhadap masalah TNI. Tepat 17 Oktober 1952 itu, Nasution bersama 30.000 demonstran unjuk rasa di Istana Merdeka. Tank, meriam, dan persenjataan artileri dihadapkan ke Istana. Mereka mendesak agar parlemen dibubarkan dan konflik dalam tubuh militer segera diakhiri.
Pada tahun 1953, Presiden Soekarno mengurangi wewenang Simatupang di Angkatan Darat dan menghapus jabatan KSAP (saat ini Panglima TNI ). Hal itu lantaran perbedaan pandangan mengenai pembubaran parlemen (DPRS) pada 17 Oktober 1952. Selain itu, Simatupang dinilai pro gerakan 17 Oktober dan melakukan ‘setengah kudeta’ terhadap Soekarno.
Setahun kemudian, Simatupang diangkat sebagai Penasihat Militer di Departemen Pertahanan RI. Pada 21 Juli 1959, Simatupang mengundurkan diri dari dinas kemiliteran dan memilih aktif dalam kegiatan gereja dan menulis buku. Melalui tulisan, ia membekali perwira-perwira di sekolah militer. Buku pertama yang ia tulis adalah 'Laporan dari Banaran'. Buku ini mengisahkan tentang perannya dalam Revolusi Kemerdekaan.
TB Simatupang meninggal pada tahun 1990 di Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata, Jakarta Selatan. Pada 8 November 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada TB Simatupang.
(zik)
Lihat Juga :
tulis komentar anda