Lampaui Undang-undang, Perpres Tugas TNI Atasi Terorisme Harus Dicabut
Sabtu, 06 Juni 2020 - 08:40 WIB
JAKARTA - Pemerintah didesak mencabut rancangan Peraturan Presiden (Perpres) Pelibatan TNI dalam Memberantas Teroris dan segera membahas UU Perbantuan TNI. Sebab, perpres tak boleh melampaui undang-undang dan memberikan kewenangan yang berbenturan dengan perundangan lainnya.
“Terlalu luas diatur dalam perpres (pelibatan TNI). Kalau materi seperti itu sama seperti UU, padahal ini adalah perpres, harus tidak melampaui undang-undang. Kesannnya perpres melampaui undang-undang yang di atasnya,” kata Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar, Sabtu (6/6/2020).
Dia menyarankan, draf perpres tersebut diperiksa kembali dalam aspek civil power, tetapi harus dalam konteks perbantuan saja. ”Jadi, menurut saya ditarik kembali, dibahas ulang, didorong UU Perbantuan,” katanya. (Baca juga: Rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Terorisme Ancam Reformasi)
Menurut Wahyudi, UU Perbantuan TNI akan memberikan batas jelas dalam operasi militer selain perang (OMSP). “Dengan begitu (UU Perbantuan), lebih jelas pelibatan TNI baik itu dalam penanganan terorisme, atau sekarang dalam geliat penanganan Covid 19. Belum ada UU tugas perbatuan atau rule TNI dalam urusan berbagai macam hal OMSP,” ujarnya.
Wahyudi tak manampik adanya mandat Reformasi untuk merevisi UU No 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Namun rancangan perpres yang telah diserahkan ke DPR awal Mei 2020 lalu disebutkannya tak sesuai dengan peran TNI, khususnya dalam hal perbantuan. “Itu Memang ada mandat, tapi peraturan presiden ini kalau dibaca materinya terlalu luas, tidak semata-mata mengakomodiasi perbantuan,” katanya. (Baca juga: Perpres Tugas TNI Atasi Terorisme Picu Polemik, Begini Reaksi Kapuspen)
Dia menekankan, meski pemberantasan terorisme itu termasuk OMSP, namun karena penanganan teroris termasuk dalam aspek penegakkan hukum, maka pelibatan TNI sangat terbatas dan mekanismenya perbantuan. “Kalau dilihat perpres ini sangat spesififik karena berbicara segala aspek. Jadi ada banyak ketidaktemuan, apa yang diatur dengan UU Terorisme dan UU TNI dengan perpres ini,” ucapnya.
Kekhawatiran lainnya adalah belum adanya aspek pertanggng jawaban tanpa adanya revisi UU Peradilan Militer. “Apabila ada praktik yang menyalahi, apakah melalui institusi peradilan militer atau sipil,” tegasnya. (Baca juga: Gunakan Paramater Perang, Perpres TNI Sulit Mengungkap Jaringan Teroris)
Wahyudi mengemukakan DPR seyogyanya membuka penbahasan RUU Perbantuan diiringi pengembalian rancangan perpres tersebut atau merekomendasikan ke pemerintah untuk mencabutnya. “Karena masuk ke DPR fungsinya rekomendasi. Ini semua keputusan ada pada presiden, karena dalam UU No 5 harus konsultasi ke DPR. Ini jadi pertanyaan, apakah saat direkomendasikan dicabut selanjutnya akan dicabut pemerintah, ini pertanyaan,” tukasnya. (Baca juga: Pansus Restui TNI Ikut Berantas Teroris)
Dorongan lain pentingnya membuat UU Perbantuan adalah untuk kepastian dalam situasi apa perbantuan penanganan terorisme ditetapkan. Terlebih setelah 20 tahun Reformasi TNI, masih ada beberapa hal belum disahkan, seperti UU Perbantuan Militer dan UU Peradilan Militer. Bila disahkan, Wahyudi menilai hal tersebut menjadi flash back ketika kepolisian masih termasuk dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
“Itu yang tidak diinginkan, jadi Ini yang jadi momentum penting melihat ke depan, soal Reformasi militer seperti mundur ke belakang lagi. Sebelum reformasi. Mana wewenang TNI secara profesional, mana penegakkan hukum. Kan sudah jelas diatur undang-undang, TNI tidak terlibat dalam hukum. TNI hanya semata-mata penegakkan hukum di laut, baru dilibatkan TNI. Itu tugas militer di laut, terlebih wilayah di luar teritorial,” imbuhnya.
“Terlalu luas diatur dalam perpres (pelibatan TNI). Kalau materi seperti itu sama seperti UU, padahal ini adalah perpres, harus tidak melampaui undang-undang. Kesannnya perpres melampaui undang-undang yang di atasnya,” kata Direktur Riset Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Wahyudi Djafar, Sabtu (6/6/2020).
Dia menyarankan, draf perpres tersebut diperiksa kembali dalam aspek civil power, tetapi harus dalam konteks perbantuan saja. ”Jadi, menurut saya ditarik kembali, dibahas ulang, didorong UU Perbantuan,” katanya. (Baca juga: Rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Mengatasi Terorisme Ancam Reformasi)
Menurut Wahyudi, UU Perbantuan TNI akan memberikan batas jelas dalam operasi militer selain perang (OMSP). “Dengan begitu (UU Perbantuan), lebih jelas pelibatan TNI baik itu dalam penanganan terorisme, atau sekarang dalam geliat penanganan Covid 19. Belum ada UU tugas perbatuan atau rule TNI dalam urusan berbagai macam hal OMSP,” ujarnya.
Wahyudi tak manampik adanya mandat Reformasi untuk merevisi UU No 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Namun rancangan perpres yang telah diserahkan ke DPR awal Mei 2020 lalu disebutkannya tak sesuai dengan peran TNI, khususnya dalam hal perbantuan. “Itu Memang ada mandat, tapi peraturan presiden ini kalau dibaca materinya terlalu luas, tidak semata-mata mengakomodiasi perbantuan,” katanya. (Baca juga: Perpres Tugas TNI Atasi Terorisme Picu Polemik, Begini Reaksi Kapuspen)
Dia menekankan, meski pemberantasan terorisme itu termasuk OMSP, namun karena penanganan teroris termasuk dalam aspek penegakkan hukum, maka pelibatan TNI sangat terbatas dan mekanismenya perbantuan. “Kalau dilihat perpres ini sangat spesififik karena berbicara segala aspek. Jadi ada banyak ketidaktemuan, apa yang diatur dengan UU Terorisme dan UU TNI dengan perpres ini,” ucapnya.
Kekhawatiran lainnya adalah belum adanya aspek pertanggng jawaban tanpa adanya revisi UU Peradilan Militer. “Apabila ada praktik yang menyalahi, apakah melalui institusi peradilan militer atau sipil,” tegasnya. (Baca juga: Gunakan Paramater Perang, Perpres TNI Sulit Mengungkap Jaringan Teroris)
Wahyudi mengemukakan DPR seyogyanya membuka penbahasan RUU Perbantuan diiringi pengembalian rancangan perpres tersebut atau merekomendasikan ke pemerintah untuk mencabutnya. “Karena masuk ke DPR fungsinya rekomendasi. Ini semua keputusan ada pada presiden, karena dalam UU No 5 harus konsultasi ke DPR. Ini jadi pertanyaan, apakah saat direkomendasikan dicabut selanjutnya akan dicabut pemerintah, ini pertanyaan,” tukasnya. (Baca juga: Pansus Restui TNI Ikut Berantas Teroris)
Dorongan lain pentingnya membuat UU Perbantuan adalah untuk kepastian dalam situasi apa perbantuan penanganan terorisme ditetapkan. Terlebih setelah 20 tahun Reformasi TNI, masih ada beberapa hal belum disahkan, seperti UU Perbantuan Militer dan UU Peradilan Militer. Bila disahkan, Wahyudi menilai hal tersebut menjadi flash back ketika kepolisian masih termasuk dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
“Itu yang tidak diinginkan, jadi Ini yang jadi momentum penting melihat ke depan, soal Reformasi militer seperti mundur ke belakang lagi. Sebelum reformasi. Mana wewenang TNI secara profesional, mana penegakkan hukum. Kan sudah jelas diatur undang-undang, TNI tidak terlibat dalam hukum. TNI hanya semata-mata penegakkan hukum di laut, baru dilibatkan TNI. Itu tugas militer di laut, terlebih wilayah di luar teritorial,” imbuhnya.
(cip)
tulis komentar anda