Dukung Perbaikan Tata Kelola Hutan, SVLK Pantas Dihargai Lebih oleh Pasar
Minggu, 07 November 2021 - 01:51 WIB
JAKARTA - Indonesia menyerukan pasar memberi pengakuan yang lebih pantas pada sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK ). Hal ini menjadi bagian dari skema kerja sama Forest Law Enforcement Governance and Trade (FLEGT).
Pasalnya SVLK melampaui soal pasokan produk kayu legal tapi juga soal upaya pengendalian pembalakan liar , perbaikan tata kelola hutan di tingkat tapak, dan pencegahan perubahan iklim. Seruan ini disampaikan Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Wamen LHK) Alue Dohong pada sesi diskusi panel di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim COP26 UNFCCC di Glasgow, Skotlandia, Kamis 4 November 2021 lalu.
Baca Juga: RI Bisa Menjadi Contoh Solusi Penanganan Perubahan Iklim di Dunia
Alue Dohong menyatakan. mulai tahun 2021 Indonesia memperkuat SVLK dengan penekanan pada kelestarian produk kayu. "Ini berarti produk kayu bersertifikat SVLK harus diproduksi dengan manajemen hutan yang berkomitmen penuh pada kelestarian," ujarnya melalui keterangan tertulis yang diterima Sabtu (6/11/20210).
SVLK mulai dibangun pada tahun 2001 dengan melibatkan multi pihak, pemerintah, pelaku bisnis, akademisi, LSM, dan masyarakat. SVLK lalu diberlakukan secara penuh pada tahun 2016. Pada tahun 2019 SVLK disetarakan sebagai lisensi FLEGT untuk pasar Uni Eropa. Hingga saat ini, SVLK menjadi satu-satunya skema sertifikasi kayu yang mendapat penyetaraan tersebut.
Pengalaman Indonesia mengimplementasikan SVLK menjadi inspirasi bagi negara lain. Menteri Ekonomi Kehutanan Kongo Rosalie Matondo menyatakan, pihaknya terus mengembangkan sistem sertifikasi di bawah FLEGT. “Apa yang dicapai SVLK Indonesia bisa menjadi pelajaran bagi kami,” katanya.
Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Agus Justianto menyebutkan, sejak ada SVLK kasus pembalakan liar di Indonesia semakin berkurang. Secara langsung SVLK juga ikut membuat laju deforestasi Indonesia menurunan drastis hingga 75% dalam satu dekade terakhir, menjadi tinggal 115 ribu hektare per tahun pada tahun 2019/2020. "Terendah sepanjang sejarah," katanya.
Agus menekankan, dengan proses dan capaian SVLK, pasar seharusnya memberi pengakuan yang lebih pada produk kayu Indonesia. Bukan hanya pasar Uni Eropa dan Inggris tapi juga global. "Pasar Eropa dan juga dunia seharusnya memberi pengakuan yang produk dengan SVLK," kata Agus.
Sementara Duta Besar Indonesia untuk Uni Eropa Andri Hadi mengatakan, hingga kini Indonesia masih berada di bawah China dan Amerika Serikat sebagai pemasok utama produk kayu ke Uni Eropa dan Inggris. Padahal, China dan Amerika Serikat tidak memiliki perjanjian kemitraan (VPA) seperti halnya Uni Eropa dengan Indonesia. "Artikel 13 pada VPA FLEGT yang mengatur tentang insentif pasar belum diimplementasikan oleh sejumlah Negara anggota Uni Eropa," kata Andri.
Pasalnya SVLK melampaui soal pasokan produk kayu legal tapi juga soal upaya pengendalian pembalakan liar , perbaikan tata kelola hutan di tingkat tapak, dan pencegahan perubahan iklim. Seruan ini disampaikan Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Wamen LHK) Alue Dohong pada sesi diskusi panel di Paviliun Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim COP26 UNFCCC di Glasgow, Skotlandia, Kamis 4 November 2021 lalu.
Baca Juga: RI Bisa Menjadi Contoh Solusi Penanganan Perubahan Iklim di Dunia
Alue Dohong menyatakan. mulai tahun 2021 Indonesia memperkuat SVLK dengan penekanan pada kelestarian produk kayu. "Ini berarti produk kayu bersertifikat SVLK harus diproduksi dengan manajemen hutan yang berkomitmen penuh pada kelestarian," ujarnya melalui keterangan tertulis yang diterima Sabtu (6/11/20210).
SVLK mulai dibangun pada tahun 2001 dengan melibatkan multi pihak, pemerintah, pelaku bisnis, akademisi, LSM, dan masyarakat. SVLK lalu diberlakukan secara penuh pada tahun 2016. Pada tahun 2019 SVLK disetarakan sebagai lisensi FLEGT untuk pasar Uni Eropa. Hingga saat ini, SVLK menjadi satu-satunya skema sertifikasi kayu yang mendapat penyetaraan tersebut.
Pengalaman Indonesia mengimplementasikan SVLK menjadi inspirasi bagi negara lain. Menteri Ekonomi Kehutanan Kongo Rosalie Matondo menyatakan, pihaknya terus mengembangkan sistem sertifikasi di bawah FLEGT. “Apa yang dicapai SVLK Indonesia bisa menjadi pelajaran bagi kami,” katanya.
Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Agus Justianto menyebutkan, sejak ada SVLK kasus pembalakan liar di Indonesia semakin berkurang. Secara langsung SVLK juga ikut membuat laju deforestasi Indonesia menurunan drastis hingga 75% dalam satu dekade terakhir, menjadi tinggal 115 ribu hektare per tahun pada tahun 2019/2020. "Terendah sepanjang sejarah," katanya.
Agus menekankan, dengan proses dan capaian SVLK, pasar seharusnya memberi pengakuan yang lebih pada produk kayu Indonesia. Bukan hanya pasar Uni Eropa dan Inggris tapi juga global. "Pasar Eropa dan juga dunia seharusnya memberi pengakuan yang produk dengan SVLK," kata Agus.
Sementara Duta Besar Indonesia untuk Uni Eropa Andri Hadi mengatakan, hingga kini Indonesia masih berada di bawah China dan Amerika Serikat sebagai pemasok utama produk kayu ke Uni Eropa dan Inggris. Padahal, China dan Amerika Serikat tidak memiliki perjanjian kemitraan (VPA) seperti halnya Uni Eropa dengan Indonesia. "Artikel 13 pada VPA FLEGT yang mengatur tentang insentif pasar belum diimplementasikan oleh sejumlah Negara anggota Uni Eropa," kata Andri.
tulis komentar anda