Ngaji Keteladanan dari Sosok Mbah Moen
Sabtu, 16 Oktober 2021 - 09:13 WIB
Untung Wahyudi
Lulusan UIN Sunan Ampel, Surabaya
Indonesia memiliki banyak Kiai yang mumpuni dan karismatik. Karena keilmuannya, sosok-sosok Kiai di negeri ini menjadi teladan bagi masyarakat. Salah satu sosok Kiai karismatik adalah Kiai Haji Maimoen Zubair, pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar, Rembang, Jawa Tengah. Banyak orang yang menghormati sosoknya.
Saat ia wafat di Makkah, Arab Saudi, pada 6 Agustus 2019, banyak orang mendoakan, baik yang ada di Indonesia, maupun di Makkah. Ia sosok yang penuh dengan keteladan dan spirit keilmuan yang ditularkan kepada santri-santri dan masyarakat lewat berbagai pengajian. Karena itulah Mbah Moen dicintai dan disayangi. Banyak orang yang merasa kehilangan saat ia menghadap Sang Pencipta.
baca juga: Di Peringatan Haul Mbah Moen, PPP Harap Covid-19 Segera Berakhir
Bagi Kiai Maimoen, mengajar di pesantren adalah komitmen tarekat. Karena itu, semua jadwal ngajinya dijalani dengan penuh istikamah. Mbah Moen menjelaskan bahwa ngaji dan pengajian itu dua aktivitas berbeda. Sebagaimana dijelaskan oleh KH. Abdul Ghofur Maimoen dalam pengantar buku ini, pengajian adalah orasi umum di ruang-ruang terbuka, tetapi ngaji adalah membaca kitab kuning di depan santri. Pengajian selamanya tak akan mencetak orang alim, tetapi ngaji kitab adalah sarana utama dalam mencetak para ulama.
baca juga: PLN Salurkan Bantuan Rp40 Juta ke Wanita Andalan Mengaji
Melalui ngaji Ahadan, Kiai Maimoen berpesan, jika ingin memahami Islam dengan baik, mengajilah. Menurutnya, pengajian hanya sebagai pemantik, selanjutnya adalah ngaji itu sendiri. Selama ini, banyak jemaah pengajian Kiai Maimoen yang kemudian aktif mengaji Ahadan. Kiai yang ingin mendidik masyarakat tak boleh hanya mencukupkan diri dengan pengajian-pengajian, karena pengajian hanya memberi gambaran-gambaran luar. Selebihnya, ngaji kitab adalah hal yang penting untuk meperdalam dan memperluas ilmu agama (hlm. 8).
Ijtihad yang Mengedepankan Persatuan
Lulusan UIN Sunan Ampel, Surabaya
Indonesia memiliki banyak Kiai yang mumpuni dan karismatik. Karena keilmuannya, sosok-sosok Kiai di negeri ini menjadi teladan bagi masyarakat. Salah satu sosok Kiai karismatik adalah Kiai Haji Maimoen Zubair, pengasuh Pondok Pesantren Al-Anwar, Rembang, Jawa Tengah. Banyak orang yang menghormati sosoknya.
Saat ia wafat di Makkah, Arab Saudi, pada 6 Agustus 2019, banyak orang mendoakan, baik yang ada di Indonesia, maupun di Makkah. Ia sosok yang penuh dengan keteladan dan spirit keilmuan yang ditularkan kepada santri-santri dan masyarakat lewat berbagai pengajian. Karena itulah Mbah Moen dicintai dan disayangi. Banyak orang yang merasa kehilangan saat ia menghadap Sang Pencipta.
baca juga: Di Peringatan Haul Mbah Moen, PPP Harap Covid-19 Segera Berakhir
Bagi Kiai Maimoen, mengajar di pesantren adalah komitmen tarekat. Karena itu, semua jadwal ngajinya dijalani dengan penuh istikamah. Mbah Moen menjelaskan bahwa ngaji dan pengajian itu dua aktivitas berbeda. Sebagaimana dijelaskan oleh KH. Abdul Ghofur Maimoen dalam pengantar buku ini, pengajian adalah orasi umum di ruang-ruang terbuka, tetapi ngaji adalah membaca kitab kuning di depan santri. Pengajian selamanya tak akan mencetak orang alim, tetapi ngaji kitab adalah sarana utama dalam mencetak para ulama.
baca juga: PLN Salurkan Bantuan Rp40 Juta ke Wanita Andalan Mengaji
Melalui ngaji Ahadan, Kiai Maimoen berpesan, jika ingin memahami Islam dengan baik, mengajilah. Menurutnya, pengajian hanya sebagai pemantik, selanjutnya adalah ngaji itu sendiri. Selama ini, banyak jemaah pengajian Kiai Maimoen yang kemudian aktif mengaji Ahadan. Kiai yang ingin mendidik masyarakat tak boleh hanya mencukupkan diri dengan pengajian-pengajian, karena pengajian hanya memberi gambaran-gambaran luar. Selebihnya, ngaji kitab adalah hal yang penting untuk meperdalam dan memperluas ilmu agama (hlm. 8).
Ijtihad yang Mengedepankan Persatuan
tulis komentar anda