Agenda Lelah Pengulik Sastra Akademis
Jum'at, 15 Oktober 2021 - 07:33 WIB
Pengulik Herd Immunity
Pengulik sastra terkini pun kembang kempis. Menyerah. Tamsilnya herd immunity, hidup segan mati pun enggan. Kendala utama terkini yang membelit para penulis kritik sastra (sambil lalu) atau kritikan bisu ala verbalitas literer adalah media publikasi yang mapan. Bagi kaum akademisi (dosen) tentunya sudah tersedia wadah kritikan, tetapi risiko yang mencolok adalah benturan honorarium. Bagi penulis luar pun terasa sekarat, tidak sedikit media menutup rubrik kritik sastra.
baca juga: Yang Perlu Dipertimbangkan sebelum Memilih Jurusan Sastra
Ketahuilah, mulai paruh kedua 1990-an hingga 2021 sudah berjubel penerbitan karya: puisi, cerpen, novelet, novel, drama, antologi esai sastra; tetapi penanggapnya begitu miskin. Karya sastra ibarat menyampah. Apakah ekspresi kesastraan Indonesia telah mengidap diskomunikasi dengan masyarakat pembacanya? Kegeniusan ala Seno Gumira Ajidarma, Titis Basino PI, Tere Liye, Ahmad Fuadi, Andrea Hirata, Joko Pinurbo, sebagai contoh, tak mendapat perhatian serius. Mengapa periset sastra di Kantor Bahasa yang eksis di hampir setiap provinsi masih tidur untuk media? Mengapa belakangan ini tidak sedikit dosen sastra (Indonesia) bisu bersastra?
Sekadar menjumput tokoh terkini menggegas sastra, ada Prof Djoko Saryono (FIB UNM Malang), Dr Abdul Wachid BS (IAIN Purwokerto), Dr Teguh Trianton (UMP Purwokerto), Dr S Prasetyo Utomo (Universitas PGRI Semarang), Yusri Fajar MA (FIB Universitas Brawijaya Surabaya), Dr Aprinus Salam (FIB UGM Yogyakarta), pun Dr Wiyatmi (FIB UNY Yogyakarta) yang dewasa mengunyah sastra. Apa kabar master pengulik sastra?
baca juga: Sering Kena Stereotip, Ini Artinya Jadi Mahasiswa Sastra
Sebagai epilog, kritisi adalah dia yang menyoroti dan menganalisis buah sastra dalam perspektif kesejarahan dan filsafat, tetapi juga dia yang sekadar memberi timbangan dan komentar. Soal tepatnya orang diberi julukan kritisi, pembahas, atau hanya sekadar komentator adalah soal penentuan nilai dan gelar dan tidak bersangkutan dengan pengertian pokok (Subagio Sastrowardoyo, 1966, di ig badanbahasakemendikbud). Semoga Anda intensif menjadi pengulik pun penanggap sastra Indonesia kiwari.
Pengulik sastra terkini pun kembang kempis. Menyerah. Tamsilnya herd immunity, hidup segan mati pun enggan. Kendala utama terkini yang membelit para penulis kritik sastra (sambil lalu) atau kritikan bisu ala verbalitas literer adalah media publikasi yang mapan. Bagi kaum akademisi (dosen) tentunya sudah tersedia wadah kritikan, tetapi risiko yang mencolok adalah benturan honorarium. Bagi penulis luar pun terasa sekarat, tidak sedikit media menutup rubrik kritik sastra.
baca juga: Yang Perlu Dipertimbangkan sebelum Memilih Jurusan Sastra
Ketahuilah, mulai paruh kedua 1990-an hingga 2021 sudah berjubel penerbitan karya: puisi, cerpen, novelet, novel, drama, antologi esai sastra; tetapi penanggapnya begitu miskin. Karya sastra ibarat menyampah. Apakah ekspresi kesastraan Indonesia telah mengidap diskomunikasi dengan masyarakat pembacanya? Kegeniusan ala Seno Gumira Ajidarma, Titis Basino PI, Tere Liye, Ahmad Fuadi, Andrea Hirata, Joko Pinurbo, sebagai contoh, tak mendapat perhatian serius. Mengapa periset sastra di Kantor Bahasa yang eksis di hampir setiap provinsi masih tidur untuk media? Mengapa belakangan ini tidak sedikit dosen sastra (Indonesia) bisu bersastra?
Sekadar menjumput tokoh terkini menggegas sastra, ada Prof Djoko Saryono (FIB UNM Malang), Dr Abdul Wachid BS (IAIN Purwokerto), Dr Teguh Trianton (UMP Purwokerto), Dr S Prasetyo Utomo (Universitas PGRI Semarang), Yusri Fajar MA (FIB Universitas Brawijaya Surabaya), Dr Aprinus Salam (FIB UGM Yogyakarta), pun Dr Wiyatmi (FIB UNY Yogyakarta) yang dewasa mengunyah sastra. Apa kabar master pengulik sastra?
baca juga: Sering Kena Stereotip, Ini Artinya Jadi Mahasiswa Sastra
Sebagai epilog, kritisi adalah dia yang menyoroti dan menganalisis buah sastra dalam perspektif kesejarahan dan filsafat, tetapi juga dia yang sekadar memberi timbangan dan komentar. Soal tepatnya orang diberi julukan kritisi, pembahas, atau hanya sekadar komentator adalah soal penentuan nilai dan gelar dan tidak bersangkutan dengan pengertian pokok (Subagio Sastrowardoyo, 1966, di ig badanbahasakemendikbud). Semoga Anda intensif menjadi pengulik pun penanggap sastra Indonesia kiwari.
(ymn)
tulis komentar anda