Agenda Lelah Pengulik Sastra Akademis
Jum'at, 15 Oktober 2021 - 07:33 WIB
Menagih Media Bersastra
Ketika siar sastra Jakarta sentris bubar, muncullah kerinduan pikir sinergis di kota tertentu dengan kolaborasi Balai Bahasa atau Kantor Bahasa di provinsi tertentu dengan media koran tertentu di kota tersebut. Cupliklah contoh Kantor Bahasa Riau bersama harian Riau Pos dengan rubrik Alinea. Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara bergandeng dengan Harian Rakyat Sultra dengan rubrik Bahasa, Sastra, dan Budaya.
baca juga: 7 Artis Lokal dan Luar Negeri yang Kuliah Jurusan Sastra
Cobalah kita arif menagih media berkala seperti: Widya Parwa (Kantor Bahasa Yogyakarta), Humaniora (FIB UGM), Widya Dharma (USD Yogyakarta), Diksi (UNY Yogyakarta), Semiotika (UST Yogyakarta), Seni (ISI Yogyakarta), Citra Yogya (DK Yogyakarta), Haluan Sastra Budaya (FIB UNS Solo), Kajian Bahasa dan Sastra (UMS Solo), Kajian Sastra (FIB Undip Semarang), Widya Pustaka (FIB Unud Bali), Lontara (Unhas Makassar), Puitika (FIB Unand Padang), Pengajaran Bahasa dan Sastra (Depdikbud Jakarta), Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia (FIB UI Jakarta), Fenolingua dan Magistra (Unwidha Klaten). Bukankah data media ini bisa dideret di PTN pun PTS seluruh Indonesia? Apa kabar publikasi kesastraannya? Belum lagi sindrom tumbuh dan tumbang majalah trendi Majas (Jakarta), Jurnal Madah dan Serindit (Riau), Basis dan Sabana (Yogyakarta), Kidung dan Suluk (DK Jatim).
baca juga: 5 Kampus Swasta dengan Jurusan Sastra Terbaik di Indonesia
Pertumbuhan, perkembangan, dan penyebaran kritik sastra Indonesia memang sangat lambat jika dibandingkan dengan siar karya sastra yang memiliki wawasan dan pandangan luas atau netral seperti dikabarkan almarhum Jassin. Tengara pokok disebabkan oleh pluralitas karya sastra yang menuntut kepekaan khusus dari para kritisi atau penelaah sastra dalam upaya pemahaman total, serta menggali nilai bulat dari karya tersebut.
Kritisi sastra Indonesia pada umumnya adalah deretan penulis kreatif serba bisa dan sangat terpengaruh aliran atau mazhab sastra yang dianutnya. Akibatnya terjadi kesulitan ketika menilai karya yang berada di luar kerangka mazhab yang diilmuinya. Efek yang menjadi cemooh terkini yakni kritisi kurang menjadi objektif dan cenderung subjektif belaka. Namun subjektivitas bukanlah harga mati. Subjektivitas tak membuat pengaburan isi karya. Sebagai teladan romantisme yakni Arief Budiman, A Teeuw, pun Subagio Sastrowardoyo.
baca juga: Jurusan Sastra dengan Peminat Tertinggi di Indonesia, Korea Termasuk!
Tak silap hati jika Korrie Layun Rampan pun menegasi bahwa pada pokoknya kritik sastra harus berangkat dari subjektivitas untuk meraup objektivitas. Subjektivitas untuk mencapai objektivitas, ditopang visi, keseriusan, dan telaten sangat dituntut pada diri sosok kritisi, di samping mengusasi perangkat teori. Karena itu, tuntutan kritisi kiwari adalah totalitas yang multifaset, pengalaman literer yang ultima. Pembaca kiwari bilang “melek kecakapan literasi”.
Ketika siar sastra Jakarta sentris bubar, muncullah kerinduan pikir sinergis di kota tertentu dengan kolaborasi Balai Bahasa atau Kantor Bahasa di provinsi tertentu dengan media koran tertentu di kota tersebut. Cupliklah contoh Kantor Bahasa Riau bersama harian Riau Pos dengan rubrik Alinea. Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara bergandeng dengan Harian Rakyat Sultra dengan rubrik Bahasa, Sastra, dan Budaya.
baca juga: 7 Artis Lokal dan Luar Negeri yang Kuliah Jurusan Sastra
Cobalah kita arif menagih media berkala seperti: Widya Parwa (Kantor Bahasa Yogyakarta), Humaniora (FIB UGM), Widya Dharma (USD Yogyakarta), Diksi (UNY Yogyakarta), Semiotika (UST Yogyakarta), Seni (ISI Yogyakarta), Citra Yogya (DK Yogyakarta), Haluan Sastra Budaya (FIB UNS Solo), Kajian Bahasa dan Sastra (UMS Solo), Kajian Sastra (FIB Undip Semarang), Widya Pustaka (FIB Unud Bali), Lontara (Unhas Makassar), Puitika (FIB Unand Padang), Pengajaran Bahasa dan Sastra (Depdikbud Jakarta), Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia (FIB UI Jakarta), Fenolingua dan Magistra (Unwidha Klaten). Bukankah data media ini bisa dideret di PTN pun PTS seluruh Indonesia? Apa kabar publikasi kesastraannya? Belum lagi sindrom tumbuh dan tumbang majalah trendi Majas (Jakarta), Jurnal Madah dan Serindit (Riau), Basis dan Sabana (Yogyakarta), Kidung dan Suluk (DK Jatim).
baca juga: 5 Kampus Swasta dengan Jurusan Sastra Terbaik di Indonesia
Pertumbuhan, perkembangan, dan penyebaran kritik sastra Indonesia memang sangat lambat jika dibandingkan dengan siar karya sastra yang memiliki wawasan dan pandangan luas atau netral seperti dikabarkan almarhum Jassin. Tengara pokok disebabkan oleh pluralitas karya sastra yang menuntut kepekaan khusus dari para kritisi atau penelaah sastra dalam upaya pemahaman total, serta menggali nilai bulat dari karya tersebut.
Kritisi sastra Indonesia pada umumnya adalah deretan penulis kreatif serba bisa dan sangat terpengaruh aliran atau mazhab sastra yang dianutnya. Akibatnya terjadi kesulitan ketika menilai karya yang berada di luar kerangka mazhab yang diilmuinya. Efek yang menjadi cemooh terkini yakni kritisi kurang menjadi objektif dan cenderung subjektif belaka. Namun subjektivitas bukanlah harga mati. Subjektivitas tak membuat pengaburan isi karya. Sebagai teladan romantisme yakni Arief Budiman, A Teeuw, pun Subagio Sastrowardoyo.
baca juga: Jurusan Sastra dengan Peminat Tertinggi di Indonesia, Korea Termasuk!
Tak silap hati jika Korrie Layun Rampan pun menegasi bahwa pada pokoknya kritik sastra harus berangkat dari subjektivitas untuk meraup objektivitas. Subjektivitas untuk mencapai objektivitas, ditopang visi, keseriusan, dan telaten sangat dituntut pada diri sosok kritisi, di samping mengusasi perangkat teori. Karena itu, tuntutan kritisi kiwari adalah totalitas yang multifaset, pengalaman literer yang ultima. Pembaca kiwari bilang “melek kecakapan literasi”.
tulis komentar anda