Agenda Lelah Pengulik Sastra Akademis
Jum'at, 15 Oktober 2021 - 07:33 WIB
Portal Pikir Sastra
Kritik sastra Indonesia tidak memiliki tradisi, tetapi memiliki nilai keunikan. Pada mulanya kritik sastra menyebar hadir melalui rubrik koran pun majalah yang sentralistik, Jakarta oriented, Jakarta minded. Bukankah siaran dan terbitan pers yang memiliki gurita industri kala itu masih dihegemoni Jakarta? Bukankah era 60-70-an hingga paruh awal 80-an kiblat kesastraan Indonesia menggumpal di pusar metropolis tersebut?
baca juga: Novelis Tanzania Abdulrazak Gurnah Sabet Nobel Sastra
Nah, jika kita kini hanya terpaku pada kejayaan “zaman sastra metropolis” tersebut, tentulah para pelaku sastra akan terjatuh di kubangan “universalitas sempit”. Kenapa begitu? Alasan kunonya justru timbul kecenderungan mutlak untuk sebuah pola yang dimapankan. Pemapanan yang hanya bertumpu pada universalnya gaya bangsa Barat ini, tanpa disadari akan memaksa kesastraan Indonesia harus melaju bergaya intelektual. Untuk inilah kita tak bisa ingkar membongkar arsip dominasi sebaran karya dan kritik sastra di kantong Budaya Jaya, Sastra, Kisah, Zaman, Zenith, Horison, ataupun Basis ketika masih bernyali untuk “nyastra”.
baca juga: Apresiasi Sastra, PBSI UIN Jakarta Gelar Ziarah dan Persembahan untuk WS Rendra
Lantas, arifkah kini tatkala media tersebut terengah dan mati kehilangan napas, justru kita jotos dengan “pengarang melaju tanpa kritik” sehingga mudah menuduh “kritisi sastra kita sudah mati”? Nah, kalau pelaku sastra kini hanya bisa mengelap-lap “zaman emas” bersastra seperti itu, tentu bahaya dahsyat akan menggerogotinya. Kenanglah inertia, cuma tahu satu kemungkinan di bidangnya. Bukankah ini sebuah penyakit, parasit dalam kesastraan?
Lalu sikap kita? Ketika era sastra di majalah telah mati, penyerbuan sastra kini eksis di koran, web atau portal digital, dan penerbitan karbitan ala komunitas menulis. Akan tetapi, kendala besar pun terus menghadang. Publikasi kritikan sastra menjadi sempit yang mengakibatkan kritik sumir, dangkal, dan cenderung verbalitas literer atau kritik sastra sambil lalu. Untuk alasan inilah dibutuhkan media alternatif demi publikasi karya kritikan sastra. Kegagalan penikmat sastra terkini adalah taklid buta terhadap media alternatif ini, sehingga dengan enteng menuliskan tiada kontinuitas kritik dan kritisi sastra yang mumpuni hingga kiwari.
baca juga: 8 Profesi yang Cocok untuk Mahasiswa Lulusan Sastra
Ada pergeseran dalam publikasi kritik sastra. Mula-mula berorientasi majalah sastra yang Jakarta sentris, kemudian diimbangi oleh koran-koran yang bertumbuh di Jakara juga. Lalu berkat ledakan teknologi, ruang sastra semakin tertutup. Sastra tak ber-uang, ruang sastra budaya kini makin ditepikan oleh kebijakan redaksi. Mediasi sastra Jakarta sentris bubar. Menyikapi penyempitan kavling inilah, muncul media alternatif untuk memublikasikan kritik sastra yang begitu ilmiah dan mapan. Media ini hadir dalam kemasan majalah, jurnal, buletin yang diterbitkan oleh kalangan akademisi. Ke mana mereka kini?
Kritik sastra Indonesia tidak memiliki tradisi, tetapi memiliki nilai keunikan. Pada mulanya kritik sastra menyebar hadir melalui rubrik koran pun majalah yang sentralistik, Jakarta oriented, Jakarta minded. Bukankah siaran dan terbitan pers yang memiliki gurita industri kala itu masih dihegemoni Jakarta? Bukankah era 60-70-an hingga paruh awal 80-an kiblat kesastraan Indonesia menggumpal di pusar metropolis tersebut?
baca juga: Novelis Tanzania Abdulrazak Gurnah Sabet Nobel Sastra
Nah, jika kita kini hanya terpaku pada kejayaan “zaman sastra metropolis” tersebut, tentulah para pelaku sastra akan terjatuh di kubangan “universalitas sempit”. Kenapa begitu? Alasan kunonya justru timbul kecenderungan mutlak untuk sebuah pola yang dimapankan. Pemapanan yang hanya bertumpu pada universalnya gaya bangsa Barat ini, tanpa disadari akan memaksa kesastraan Indonesia harus melaju bergaya intelektual. Untuk inilah kita tak bisa ingkar membongkar arsip dominasi sebaran karya dan kritik sastra di kantong Budaya Jaya, Sastra, Kisah, Zaman, Zenith, Horison, ataupun Basis ketika masih bernyali untuk “nyastra”.
baca juga: Apresiasi Sastra, PBSI UIN Jakarta Gelar Ziarah dan Persembahan untuk WS Rendra
Lantas, arifkah kini tatkala media tersebut terengah dan mati kehilangan napas, justru kita jotos dengan “pengarang melaju tanpa kritik” sehingga mudah menuduh “kritisi sastra kita sudah mati”? Nah, kalau pelaku sastra kini hanya bisa mengelap-lap “zaman emas” bersastra seperti itu, tentu bahaya dahsyat akan menggerogotinya. Kenanglah inertia, cuma tahu satu kemungkinan di bidangnya. Bukankah ini sebuah penyakit, parasit dalam kesastraan?
Lalu sikap kita? Ketika era sastra di majalah telah mati, penyerbuan sastra kini eksis di koran, web atau portal digital, dan penerbitan karbitan ala komunitas menulis. Akan tetapi, kendala besar pun terus menghadang. Publikasi kritikan sastra menjadi sempit yang mengakibatkan kritik sumir, dangkal, dan cenderung verbalitas literer atau kritik sastra sambil lalu. Untuk alasan inilah dibutuhkan media alternatif demi publikasi karya kritikan sastra. Kegagalan penikmat sastra terkini adalah taklid buta terhadap media alternatif ini, sehingga dengan enteng menuliskan tiada kontinuitas kritik dan kritisi sastra yang mumpuni hingga kiwari.
baca juga: 8 Profesi yang Cocok untuk Mahasiswa Lulusan Sastra
Ada pergeseran dalam publikasi kritik sastra. Mula-mula berorientasi majalah sastra yang Jakarta sentris, kemudian diimbangi oleh koran-koran yang bertumbuh di Jakara juga. Lalu berkat ledakan teknologi, ruang sastra semakin tertutup. Sastra tak ber-uang, ruang sastra budaya kini makin ditepikan oleh kebijakan redaksi. Mediasi sastra Jakarta sentris bubar. Menyikapi penyempitan kavling inilah, muncul media alternatif untuk memublikasikan kritik sastra yang begitu ilmiah dan mapan. Media ini hadir dalam kemasan majalah, jurnal, buletin yang diterbitkan oleh kalangan akademisi. Ke mana mereka kini?
tulis komentar anda