Harga Pasaran EBT Sudah Murah, Tidak Perlu Dimahalkan Lagi
Kamis, 23 September 2021 - 13:12 WIB
"Kalau situasinya sudah murah, tapi ditetapkan RUU pada harga mahal dan APBN harus nomboki selisihnya, kita ini kayak kesiangan. Negara lain sudah melakukan itu di masa lalu saat harga mahal, tapi kita melakukannya pas sudah murah, ini harga pasar sudah terbentuk dan efisiensi, kalau dimahalkan lagi, berarti Pemerintah intervensi memahalkan harga," cetusnya.
Masalah penurunan emisi karbon, sambung dia, juga bukan hanya masalah menggenjot EBT. Ada banyak hal, termasuk juga mengefisienkan penggunaan energi fosil.
"Saya berpesan kepada DPR dan pemerintah, harus membaca dokumen dengan hati-hati. Jangan terkena opini emisi karbon itu, sehingga dimanfaatkan untuk memahalkan harga," ucapnya.
Menurut Mukhtasor, kinerja sektor energi untuk menurunkan emisi karbon pun sebenarnya sudah sangat bagus dibandingkan sektor-sektor lainnya. Bahkan, target penurunan emisi karbon di sektor energi berdasarkan catatan terbaru sudah tercapai.
"Begitu pula proyeksi di tahun 2030 juga akan tercapai dengan kemampuan Pertamina, PLN, dan masyarakat untuk mengefisienkan energi dan menyediakan EBT, dan sebagainya," ujarnya.
Dia kembali menekankan agar Pemerintah dan DPR mencermati data-data yang ada secara teliti, jangan sampai karena seolah-olah Indonesia belum mencapai target menurunkan emisi karbon, kemudian harus dikejar dengan cara-cara yang tidak memenuhi keekonomian yang justru berpotensi memperparah keuangan negara, dan bisa meningkatkan harga listrik yang akan berdampak ke masyarakat luas.
"Mohon membaca angka-angka secara hati-hati. Kalau mau menurunkan emisi karbon, yang lebih perlu dibantu justru sektor kehutanan, bukan energi. Karena penyumbang emisi karbon terbesar adalah alih fungsi lahan. Ini DPR harus kritis, tapi sayangnya aturan di bidang kehutanan malah diperlonggar untuk alih fungsi hutan. Kalau kita ingin hutannya berfungsi mengurangi emisi karbon, pendanaan harusnya untuk perbaikan hutan, reklamasi bekas tambang dan lainnya," tutur Mukhtasor. CM
Masalah penurunan emisi karbon, sambung dia, juga bukan hanya masalah menggenjot EBT. Ada banyak hal, termasuk juga mengefisienkan penggunaan energi fosil.
"Saya berpesan kepada DPR dan pemerintah, harus membaca dokumen dengan hati-hati. Jangan terkena opini emisi karbon itu, sehingga dimanfaatkan untuk memahalkan harga," ucapnya.
Menurut Mukhtasor, kinerja sektor energi untuk menurunkan emisi karbon pun sebenarnya sudah sangat bagus dibandingkan sektor-sektor lainnya. Bahkan, target penurunan emisi karbon di sektor energi berdasarkan catatan terbaru sudah tercapai.
"Begitu pula proyeksi di tahun 2030 juga akan tercapai dengan kemampuan Pertamina, PLN, dan masyarakat untuk mengefisienkan energi dan menyediakan EBT, dan sebagainya," ujarnya.
Dia kembali menekankan agar Pemerintah dan DPR mencermati data-data yang ada secara teliti, jangan sampai karena seolah-olah Indonesia belum mencapai target menurunkan emisi karbon, kemudian harus dikejar dengan cara-cara yang tidak memenuhi keekonomian yang justru berpotensi memperparah keuangan negara, dan bisa meningkatkan harga listrik yang akan berdampak ke masyarakat luas.
"Mohon membaca angka-angka secara hati-hati. Kalau mau menurunkan emisi karbon, yang lebih perlu dibantu justru sektor kehutanan, bukan energi. Karena penyumbang emisi karbon terbesar adalah alih fungsi lahan. Ini DPR harus kritis, tapi sayangnya aturan di bidang kehutanan malah diperlonggar untuk alih fungsi hutan. Kalau kita ingin hutannya berfungsi mengurangi emisi karbon, pendanaan harusnya untuk perbaikan hutan, reklamasi bekas tambang dan lainnya," tutur Mukhtasor. CM
(ars)
tulis komentar anda