Bamsoet Sebut UUD 1945 Bukan Kitab Suci, Terbuka untuk Amendemen
Rabu, 18 Agustus 2021 - 11:52 WIB
JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menegaskan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 45) bukan sebuah kitab suci, sehingga tidak boleh dianggap tabu jika ada kehendak untuk dilakukan penyempurnaan atau perubahan, karena konstitusi akan terus berkembang sesuai dinamika.
“Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memang bukanlah kitab suci, karenanya, tidak boleh dianggap tabu jika ada kehendak untuk melakukan penyempurnaan. Secara alamiah konstitusi akan terus berkembang sesuai dinamika dan kebutuhan masyarakatnya,” kata Bamsoet dalam peringatan Hari Konstitusi Nasional dan Hari Lahir MPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (18/8/2021).
Di masa sebelum reformasi, kata Bamsoet, UUD sangat dimuliakan secara berlebihan, pemulihan itu terlihat dari tekad MPR untuk melaksanakannya secara murni dan konsekuen dan tidak berkehendak untuk melakukan perubahan. Kalaupun suatu hari ada keinginan untuk merubahnya maka harus melalui referendum ketika itu, begitu penegasan ketetapan MPR (Tap MPR) Nomor 4 tahun 1983 tentang Referendum.
“Namun seiring datangnya era reformasi di pertengahan 1998 muncul arus besar aspirasi masyarakat yang menuntut dilakukannya perubahan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945, MPR pun segera menyikapinya dengan terlebih dahulu mencabut Ketetapan MPR Nomor 4/1983 tentang referendum melalui Ketetapan MPR Nomor 8/1998,” paparnya.
Menurut mantan Ketua DPR ini, pencabutan Tap MPR itu memuluskan jalan bagi MPR hasil Pemilu 1999 untuk menindaklanjuti tuntutan masyarakat yang mengehndaki perubahan UUD 45. Demikian responsifnya MPR masa itu dalam menyikapi arus besar aspirasi masyarakat.
Bamsoet melanjutkan, responsivitas yang sama saat ini juga ditunggu masyarakat, yaitu berkaitan dengan arus besar aspirasi yang berhasil dihimpun MPR yaitu, kehendak untuk menghadirkan kembali Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Dan ini sudah ketiga periode MPR yang diamanatkan untuk melahirkan PPHN, dan belum juga berhasil mendorong masuknya PPHN sebagai bintang pengarah bangsa ini ke depan, agar bansga ini tidak berganti haluan terus menerus tiap pergantian kepemimpinan di tingkat nasional maupun daerah.
“Sehingga Indonesia ke depan tidak seperti menari poco-poco, maju 2 langkah mundur 3 langkah. Ada arah yang jelas kemana bangsa ini akan dibawa oleh pemimpinnya dalam 20, 30, 50 sampai 100 tahun yang akan datang,” tegasnya.
Oleh karena itu, Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menegaskan, walaupun kedudukan dan wewenang MPR sudah banyak berubah, ruh yang disematkan ke lembaga MPR oleh para pendiri bangsa tidak boleh hilang, yaitu ruh kedaulatan rakyat.
“MPR harus senantiasa mampu menjembatani berbagai aspirasi masyarakat dan daerah, mengedepankan etika politik kebansgaan dengan selalu berusaha menciptakan suasana yang harmonis antarkekuasaan sosial politik dan antarkelompok kepentingan untuk mencapai sebesar-besarnya kemajuan bangsa dan negara,” tandas Bamsoet.
“Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memang bukanlah kitab suci, karenanya, tidak boleh dianggap tabu jika ada kehendak untuk melakukan penyempurnaan. Secara alamiah konstitusi akan terus berkembang sesuai dinamika dan kebutuhan masyarakatnya,” kata Bamsoet dalam peringatan Hari Konstitusi Nasional dan Hari Lahir MPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (18/8/2021).
Di masa sebelum reformasi, kata Bamsoet, UUD sangat dimuliakan secara berlebihan, pemulihan itu terlihat dari tekad MPR untuk melaksanakannya secara murni dan konsekuen dan tidak berkehendak untuk melakukan perubahan. Kalaupun suatu hari ada keinginan untuk merubahnya maka harus melalui referendum ketika itu, begitu penegasan ketetapan MPR (Tap MPR) Nomor 4 tahun 1983 tentang Referendum.
“Namun seiring datangnya era reformasi di pertengahan 1998 muncul arus besar aspirasi masyarakat yang menuntut dilakukannya perubahan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945, MPR pun segera menyikapinya dengan terlebih dahulu mencabut Ketetapan MPR Nomor 4/1983 tentang referendum melalui Ketetapan MPR Nomor 8/1998,” paparnya.
Baca Juga
Menurut mantan Ketua DPR ini, pencabutan Tap MPR itu memuluskan jalan bagi MPR hasil Pemilu 1999 untuk menindaklanjuti tuntutan masyarakat yang mengehndaki perubahan UUD 45. Demikian responsifnya MPR masa itu dalam menyikapi arus besar aspirasi masyarakat.
Bamsoet melanjutkan, responsivitas yang sama saat ini juga ditunggu masyarakat, yaitu berkaitan dengan arus besar aspirasi yang berhasil dihimpun MPR yaitu, kehendak untuk menghadirkan kembali Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Dan ini sudah ketiga periode MPR yang diamanatkan untuk melahirkan PPHN, dan belum juga berhasil mendorong masuknya PPHN sebagai bintang pengarah bangsa ini ke depan, agar bansga ini tidak berganti haluan terus menerus tiap pergantian kepemimpinan di tingkat nasional maupun daerah.
“Sehingga Indonesia ke depan tidak seperti menari poco-poco, maju 2 langkah mundur 3 langkah. Ada arah yang jelas kemana bangsa ini akan dibawa oleh pemimpinnya dalam 20, 30, 50 sampai 100 tahun yang akan datang,” tegasnya.
Oleh karena itu, Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menegaskan, walaupun kedudukan dan wewenang MPR sudah banyak berubah, ruh yang disematkan ke lembaga MPR oleh para pendiri bangsa tidak boleh hilang, yaitu ruh kedaulatan rakyat.
“MPR harus senantiasa mampu menjembatani berbagai aspirasi masyarakat dan daerah, mengedepankan etika politik kebansgaan dengan selalu berusaha menciptakan suasana yang harmonis antarkekuasaan sosial politik dan antarkelompok kepentingan untuk mencapai sebesar-besarnya kemajuan bangsa dan negara,” tandas Bamsoet.
(muh)
tulis komentar anda