Mengoptimalkan PP Nomor 73 bagi Usaha Ultra Mikro
Selasa, 10 Agustus 2021 - 12:54 WIB
Abdul Manap Pulungan
Peneliti INDEF (Institute for Development of Economics and Finance)
PERATURAN Pemerintah (PP) Nomor 73 Tahun 2021 yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 2 Juli 2021 lalu menjadi payung hukum bagi pembentukan holding Ultra Mikro (UMi) atas tiga BUMN keuangan yaitu BRI, Pegadaian, dan PNM. Melalui holding ultra mikro ini diharapkan akan tumbuh usaha-usaha yang terus berkembang yang dimulai dari usaha ultra mikro. Dukungan ekosistem yang secara penuh mendorong perkembangan ultra mikro bukan tidak mungkin akan menjadi salah satu jalan keluar dari situasi minimnya pemihakan terhadap usaha di level UMi selama ini.
Secara umum, pada 2020 lalu total kredit perbankan yang mengalir ke dunia usaha level UMKM hanya sekitar 20%. Dari porsi tersebut hampir separuhnya mengalir ke usaha menengah (sekitar 45%), dan sisanya terbagi ke usaha kecil dan usaha mikro. Sementara itu, usaha ultra mikro adalah jenis usaha yang lebih kecil lagi dibanding usaha mikro dan umumnya mereka belum tersentuh akses keuangan formal seperti layanan kredit perbankan. Pada titik inilah urgensi kehadiran holding ultra mikro dengan menyediakan akses pembiayaan, pembinaan, dan integrasi data agar dukungan yang diberikan dapat lebih menyeluruh.
Oase di Tengah Gersangnya Pembiayaan
Untuk dapat naik kelas usaha-usaha di level ultra mikro tidak cukup hanya mendapat dukungan akses keuangan. Mereka juga memerlukan pendampingan, edukasi digital, hingga kemampuan berinovasi. Singkatnya selain modal uang mereka juga perlu ditunjang dengan kapasitas kewirausahaan secara profesional. Holding ultra mikro memungkinkan untuk dapat memberikan nilai tambah kepada pelaku usaha UMi, sehingga kolaborasi di antara entitas holding dan pelaku usaha akan mampu menjawab tantangan pasar yang akan dihadapi di segmen ini.
Tentu saja untuk dapat memberikan manfaat optimal bagi tumbuh-kembang ultra mikro di Indonesia holding tiga BUMN keuangan ini perlu diuji dengan waktu. Namun setidaknya dalam aspek layanan keuangan bagi pelaku usaha kecil dan ultra kecil, holding ini menjadi oase di tengah gersangnya dukungan pembiayaan lembaga keuangan formal. Terlebih lagi salah satu permasalahan yang dihadapi oleh usaha ultra mikro saat ini adalah terbatasnya modal. Usaha mereka yang dapat dikatakan masih sangat kecil membuat sebagian besar institusi keuangan formal enggan melirik mereka. Skala usaha yang belum masuk hitungan skala ekonomi untuk mendapat pembiayaan dari lembaga keuangan formal menjadi “tembok besar” yang menghalangi mereka untuk mengakses modal.
Dengan segala keterbatasan dukungan modal hingga saat ini, usaha ultra mikro sesungguhnya merupakan potret realitas bentuk aktivitas ekonomi yang dilakukan masyarakat Indonesia. Sungguh pun usaha di skala ini sangat kecil, namun secara agregatif ini merupakan bentuk usaha yang mendominasi kegiatan ekonomi, dengan ciri khas informalitas yang dominan. Hal ini berarti kemampuan negara untuk dapat mendukung perkembangan usaha ultra mikro agar berkembang menjadi usaha menengah dan bahkan usaha besar akan memengaruhi corak ekonomi ke depan. Jika terus saja mereka tidak diperhatikan, maka perekonomian Indonesia juga akan sulit berkembang menjadi perekonomian yang maju.
Cekaknya modal membuat usaha-usaha ultra mikro mencari jalan pintas dengan menjadi konsumen dominan dari berbagai fasilitas pembiayaan lembaga keuangan non formal. Hal ini juga tidak lepas dari masih minimnya literasi keuangan dari para pelaku di dalamnya. Implikasinya, biaya dana untuk akses modal bagi pelaku usaha ultra mikro ini menjadi jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan tawaran pembiayaan dari lembaga keuangan formal. Informalitas usaha yang kerap tersemat dari aktivitas ekonomi mereka membuat posisi tawar acap kali tidak bisa dinaikkan. Akhirnya banyak usaha ultra mikro yang berinteraksi dengan akses modal finansial yang tidak efisien.
Peneliti INDEF (Institute for Development of Economics and Finance)
PERATURAN Pemerintah (PP) Nomor 73 Tahun 2021 yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 2 Juli 2021 lalu menjadi payung hukum bagi pembentukan holding Ultra Mikro (UMi) atas tiga BUMN keuangan yaitu BRI, Pegadaian, dan PNM. Melalui holding ultra mikro ini diharapkan akan tumbuh usaha-usaha yang terus berkembang yang dimulai dari usaha ultra mikro. Dukungan ekosistem yang secara penuh mendorong perkembangan ultra mikro bukan tidak mungkin akan menjadi salah satu jalan keluar dari situasi minimnya pemihakan terhadap usaha di level UMi selama ini.
Secara umum, pada 2020 lalu total kredit perbankan yang mengalir ke dunia usaha level UMKM hanya sekitar 20%. Dari porsi tersebut hampir separuhnya mengalir ke usaha menengah (sekitar 45%), dan sisanya terbagi ke usaha kecil dan usaha mikro. Sementara itu, usaha ultra mikro adalah jenis usaha yang lebih kecil lagi dibanding usaha mikro dan umumnya mereka belum tersentuh akses keuangan formal seperti layanan kredit perbankan. Pada titik inilah urgensi kehadiran holding ultra mikro dengan menyediakan akses pembiayaan, pembinaan, dan integrasi data agar dukungan yang diberikan dapat lebih menyeluruh.
Oase di Tengah Gersangnya Pembiayaan
Untuk dapat naik kelas usaha-usaha di level ultra mikro tidak cukup hanya mendapat dukungan akses keuangan. Mereka juga memerlukan pendampingan, edukasi digital, hingga kemampuan berinovasi. Singkatnya selain modal uang mereka juga perlu ditunjang dengan kapasitas kewirausahaan secara profesional. Holding ultra mikro memungkinkan untuk dapat memberikan nilai tambah kepada pelaku usaha UMi, sehingga kolaborasi di antara entitas holding dan pelaku usaha akan mampu menjawab tantangan pasar yang akan dihadapi di segmen ini.
Tentu saja untuk dapat memberikan manfaat optimal bagi tumbuh-kembang ultra mikro di Indonesia holding tiga BUMN keuangan ini perlu diuji dengan waktu. Namun setidaknya dalam aspek layanan keuangan bagi pelaku usaha kecil dan ultra kecil, holding ini menjadi oase di tengah gersangnya dukungan pembiayaan lembaga keuangan formal. Terlebih lagi salah satu permasalahan yang dihadapi oleh usaha ultra mikro saat ini adalah terbatasnya modal. Usaha mereka yang dapat dikatakan masih sangat kecil membuat sebagian besar institusi keuangan formal enggan melirik mereka. Skala usaha yang belum masuk hitungan skala ekonomi untuk mendapat pembiayaan dari lembaga keuangan formal menjadi “tembok besar” yang menghalangi mereka untuk mengakses modal.
Dengan segala keterbatasan dukungan modal hingga saat ini, usaha ultra mikro sesungguhnya merupakan potret realitas bentuk aktivitas ekonomi yang dilakukan masyarakat Indonesia. Sungguh pun usaha di skala ini sangat kecil, namun secara agregatif ini merupakan bentuk usaha yang mendominasi kegiatan ekonomi, dengan ciri khas informalitas yang dominan. Hal ini berarti kemampuan negara untuk dapat mendukung perkembangan usaha ultra mikro agar berkembang menjadi usaha menengah dan bahkan usaha besar akan memengaruhi corak ekonomi ke depan. Jika terus saja mereka tidak diperhatikan, maka perekonomian Indonesia juga akan sulit berkembang menjadi perekonomian yang maju.
Cekaknya modal membuat usaha-usaha ultra mikro mencari jalan pintas dengan menjadi konsumen dominan dari berbagai fasilitas pembiayaan lembaga keuangan non formal. Hal ini juga tidak lepas dari masih minimnya literasi keuangan dari para pelaku di dalamnya. Implikasinya, biaya dana untuk akses modal bagi pelaku usaha ultra mikro ini menjadi jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan tawaran pembiayaan dari lembaga keuangan formal. Informalitas usaha yang kerap tersemat dari aktivitas ekonomi mereka membuat posisi tawar acap kali tidak bisa dinaikkan. Akhirnya banyak usaha ultra mikro yang berinteraksi dengan akses modal finansial yang tidak efisien.
Lihat Juga :
tulis komentar anda