Pesan ST Burhanuddin ke Jajarannya Soal Penegakan Hukum ke Rakyat Kecil
Kamis, 22 Juli 2021 - 20:20 WIB
JAKARTA - Jaksa Agung, ST Burhanuddin menyampaikan pesan penting kepada jajarannya saat acara Peringatan Hari Bhakti Adhyaksa (HBA) ke-61 pada 22 Juli lalu. Bahwa dalam situasi sulit saat ini, hukum jangan menjadi alat pemiskinan bagi rakyat kecil.
Korps Adhyaksa diingatkan juga agar menggunakan hati nurani jika terpaksa harus menindak masyarakat yang tidak mematuhi ketentuan PPKM. “Kenakan sanksi yang tegas namun terukur dan pastikan sanksi mampu memberikan efek jera. Terapkanlah tuntutan yang proporsional berdasarkan hati nurani," tuturnya.
Dia menjelaskan, peran Kejaksaan sebagai aparat penegakan hukum semata-mata tidak lagi berorientasi pada kepastian dan keadilan, melainkan harus mampu memberikan kemanfaatan hukum bagi masyarakat.
Kata dia, kejaksaan dalam menjalankan kewenangan penegakan hukum tidak boleh terjebak dalam terali kepastian hukum dan keadilan prosedural semata sehingga mengabaikan keadilan substansial yang sejatinya menjadi tujuan utama dari hukum itu sendiri.
“Perlu diingat equm et bonum est lex legum (apa yang adil dan baik adalah hukumnya hukum),” kata Jaksa Agung.
Dia pun menekankan bahwa rasa keadilan itu tidak ada dalam KUHP ataupun KUHAP, melainkan ada dalam hati nurani. Pesan-pesan tersebut disampaikan Jaksa Agung dalam berbagai kesempatan dan diimplementasikan oleh jajaran Kejaksaan di seluruh daerah, antara lain kegiatan sosial, pembagian sembako, vaksinasi, hingga mengangkut tabung oksigen ke rumah sakit.
Langkah Burhanuddin menerapkan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) dalam penyelesaian perkara tindak pidana juga mencerminkan sisi humanis kejaksaan.
Definisi keadilan restoratif yaitu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, bukan pada pembalasan.
Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilaksanakan dengan asas keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir, cepat sederhana dan biaya ringan.
Korps Adhyaksa diingatkan juga agar menggunakan hati nurani jika terpaksa harus menindak masyarakat yang tidak mematuhi ketentuan PPKM. “Kenakan sanksi yang tegas namun terukur dan pastikan sanksi mampu memberikan efek jera. Terapkanlah tuntutan yang proporsional berdasarkan hati nurani," tuturnya.
Dia menjelaskan, peran Kejaksaan sebagai aparat penegakan hukum semata-mata tidak lagi berorientasi pada kepastian dan keadilan, melainkan harus mampu memberikan kemanfaatan hukum bagi masyarakat.
Kata dia, kejaksaan dalam menjalankan kewenangan penegakan hukum tidak boleh terjebak dalam terali kepastian hukum dan keadilan prosedural semata sehingga mengabaikan keadilan substansial yang sejatinya menjadi tujuan utama dari hukum itu sendiri.
“Perlu diingat equm et bonum est lex legum (apa yang adil dan baik adalah hukumnya hukum),” kata Jaksa Agung.
Dia pun menekankan bahwa rasa keadilan itu tidak ada dalam KUHP ataupun KUHAP, melainkan ada dalam hati nurani. Pesan-pesan tersebut disampaikan Jaksa Agung dalam berbagai kesempatan dan diimplementasikan oleh jajaran Kejaksaan di seluruh daerah, antara lain kegiatan sosial, pembagian sembako, vaksinasi, hingga mengangkut tabung oksigen ke rumah sakit.
Langkah Burhanuddin menerapkan pendekatan keadilan restoratif (restorative justice) dalam penyelesaian perkara tindak pidana juga mencerminkan sisi humanis kejaksaan.
Definisi keadilan restoratif yaitu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, bukan pada pembalasan.
Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dilaksanakan dengan asas keadilan, kepentingan umum, proporsionalitas, pidana sebagai jalan terakhir, cepat sederhana dan biaya ringan.
tulis komentar anda