2 Alasan Desain Surat Suara Pemilu 2024 Harus Berubah
Minggu, 01 Agustus 2021 - 15:23 WIB
JAKARTA - Perludem mengungkap dua urgensi kenapa desain surat suara untuk Pemilu 2024 harus diubah. Salah satu alasannya adalah, tujuan coattail effect atau efek ekor jas di mana adanya kesamaan antara pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan partai pendukungnya dalam Pemilu Serentak 2019 yang tidak tercapai.
Peneliti Perludem, Heroik Pratama menjelaskan, dalam perubahan desain surat suara apakah digabungkan atau dipisah tergantung pada dua hal. Yakni, perubahan sistem pemilu atau dampak yang ditimbulkan dari desain surat suara sebelumnya.
"Kita pernah mengalami transisi perubahan Pemilu 1999 ke 2004 yang sebelumnya proporsional daftar tertutup. Metode pemberian suaranya memilih logo partai saja, di surat suara hanya logo partai saja. Lalu di 2004 wajib mencantumkan daftar calegnya. Pun di 2009, kita ingat ada putusan MK yang menjadikan pemurnian proporsional daftar terbuka," kata Heroik dalam diskusi yang bertajuk "Menyederhanakan Surat Suara Pemilu Serentak" yang digelar secara virtual, Minggu (1/8/2021).
Baca juga: KPU Simulasi 6 Model Surat Suara Pemilu Serentak 2024
Heroik melanjutkan, dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 55 tahun 2013 yang memutuskan keserentakan pemilu legislatif (pileg) dan eksekutif, jika digali lebih jauh bisa berdampak pada perubahan desain surat suara. Jadi, sekali pun tidak ada perubahan dalam sistem pilegnya, tapi ada perubahan dalam konteks keserentakan waktunya. Sehingga, Indonesia bisa menyederhanakan surat suaranya sebagaimana yang dilakukan di Filipina, di mana mereka menyerentakan pileg nasional, pilpres, pilkada dan juga pileg daerah. Meskipun, Filipina lebih dominan sistem majoritariannya atau single member district yang membuat daftar caleg tidak terlalu banyak.
"Kita gunakan proporsional daftar terbuka, ketentuannya pemilih bisa memilih langsung kandidat dan penentuannya berdasarkan suara terbanyak, di sisi lain district magnitude kita menggunakan multimember district, DPR bisa 3-10 untuk DPRD kab/kota/provinsi 3-12. Kalau kita kalikan jumlah peserta pemilu pada 2019 lalu, untuk DPR RI kalau satu dapil ada 10 kursi, maka kurang lebih ada 160 nama kandidat, itu hanya untuk nama di surat suara DPR, belum DPRD provinsi dan kabupaten/kota," katanya.
"Sehingga, dalam penggabungan surat suara ada tantangan tersendiri dan perlu ada persiapan yang cukup waktu sebagaimana disampaikan Mba Titi (Titi Anggraini, Perludem)," ujar Heroik.
Baca juga: Penyederhanaan Surat Suara Pemilu 2024 Mulai Dikaji KPU
Peneliti Perludem, Heroik Pratama menjelaskan, dalam perubahan desain surat suara apakah digabungkan atau dipisah tergantung pada dua hal. Yakni, perubahan sistem pemilu atau dampak yang ditimbulkan dari desain surat suara sebelumnya.
"Kita pernah mengalami transisi perubahan Pemilu 1999 ke 2004 yang sebelumnya proporsional daftar tertutup. Metode pemberian suaranya memilih logo partai saja, di surat suara hanya logo partai saja. Lalu di 2004 wajib mencantumkan daftar calegnya. Pun di 2009, kita ingat ada putusan MK yang menjadikan pemurnian proporsional daftar terbuka," kata Heroik dalam diskusi yang bertajuk "Menyederhanakan Surat Suara Pemilu Serentak" yang digelar secara virtual, Minggu (1/8/2021).
Baca juga: KPU Simulasi 6 Model Surat Suara Pemilu Serentak 2024
Heroik melanjutkan, dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 55 tahun 2013 yang memutuskan keserentakan pemilu legislatif (pileg) dan eksekutif, jika digali lebih jauh bisa berdampak pada perubahan desain surat suara. Jadi, sekali pun tidak ada perubahan dalam sistem pilegnya, tapi ada perubahan dalam konteks keserentakan waktunya. Sehingga, Indonesia bisa menyederhanakan surat suaranya sebagaimana yang dilakukan di Filipina, di mana mereka menyerentakan pileg nasional, pilpres, pilkada dan juga pileg daerah. Meskipun, Filipina lebih dominan sistem majoritariannya atau single member district yang membuat daftar caleg tidak terlalu banyak.
"Kita gunakan proporsional daftar terbuka, ketentuannya pemilih bisa memilih langsung kandidat dan penentuannya berdasarkan suara terbanyak, di sisi lain district magnitude kita menggunakan multimember district, DPR bisa 3-10 untuk DPRD kab/kota/provinsi 3-12. Kalau kita kalikan jumlah peserta pemilu pada 2019 lalu, untuk DPR RI kalau satu dapil ada 10 kursi, maka kurang lebih ada 160 nama kandidat, itu hanya untuk nama di surat suara DPR, belum DPRD provinsi dan kabupaten/kota," katanya.
"Sehingga, dalam penggabungan surat suara ada tantangan tersendiri dan perlu ada persiapan yang cukup waktu sebagaimana disampaikan Mba Titi (Titi Anggraini, Perludem)," ujar Heroik.
Baca juga: Penyederhanaan Surat Suara Pemilu 2024 Mulai Dikaji KPU
tulis komentar anda