Larangan Mudik untuk Keselamatan Publik

Selasa, 21 April 2020 - 06:28 WIB
Yulina Eva Riany, Dosen Ilmu Keluarga & Konsumen Institut Pertanian Bogor (IPB). Dokumen/SINDOnews
Yulina Eva Riany Dosen Ilmu Keluarga &

Konsumen Institut Pertanian Bogor (IPB)


PENYEBARAN infeksi Coronavirus Disease (Covid-19) semakin menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Melihat pengalaman dari sejumlah negara, laju perkembangan infeksi Covid-19 didorong oleh masih bebasnya mobilitas manusia dan tidak ketatnya pelaksanaan social and physical distancing yang dianggap sebagai metode paling efektif untuk menekan pertambahan laju infeksi.Momentum ini seharusnya menjadi perhatian serius bagi pemerintah pusat dan daerah untuk segera mengambil kebijakan yang tegas (decisive policy ) sebagai upaya untuk meminimalkan mobilitas warga demi mencegah terjadinya penyebaran virus korona secara masif. Terkait dengan hal tersebut, kebijakan "pelarangan mudik" secara ketat merupakan pilihan yang lebih tepat dibandingkan dengan kebijakan yang lebih lunak, yaitu berupa anjuran atau imbauan. Larangan ini perlu diambil untuk mengantisipasi efek domino yang jauh lebih fatal bagi keselamatan dan keamanan publik.Sebagaimana diketahui, mudik atau tradisi pulang kampung telah menjadi budaya tahunan yang melekat dalam masyarakat muslim urban menjelang hari Raya Idul Fitri atau Lebaran tiba di Indonesia. Data riset Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Perhubungan (2019) tentang pergerakan warga saat menjelang Lebaran menunjukkan bahwa di wilayah Jabodetabek saja mobilitas warga selama mudik Lebaran bisa melibatkan 14,9 juta orang dari jumlah total 33,7 juta warga di wilayah Jabodetabek. Hal ini menunjukkan bahwa ada sekitar 44,1% warga Jabodetabek yang bergerak dari wilayah perkotaan kembali ke kampung halaman mereka untuk mudik Lebaran.Dari jumlah total tersebut, sebagian besar tujuan pemudik asal Jabodetabek adalah menyasar wilayah Jawa Tengah (37,6%), Jawa Barat (24,8%), dan Jawa Timur (11,14%). Sementara pergerakan masyarakat di luar wilayah Jawa juga diprediksi melibatkan banyak warga yang mayoritas memilih menggunakan layanan transportasi publik seperti bus, kereta api, dan pesawat bertarif murah (low-cost airfare ). Artinya, besarnya jumlah mobilitas warga dengan menggunakan transportasi publik saat mudik berpotensi menjadi media penyebaran virus dalam skala masif dan tidak terkendali.Selama ini, wilayah perkotaan seperti Jakarta dan Surabaya telah menjadi episenter penyebaran virus Covid-19. Sebab, kota-kota besar itu merupakan wilayah transit sekaligus pemukiman warga yang memiliki histori perjalanan luar negeri dan daerah tujuan pengiriman komoditas barang ekspor-impor. Belajar dari pengalaman beberapa negara seperti China, Korea Selatan, dan Italia, wilayah-wilayah episenter itu harus dibatasi dan ditekan ruang pergerakannya (social mobilization containment ) sehingga dapat meminimalisasi penyebaran virus secara masif.Jika langkah antisipasi itu tidak diambil, tradisi mudik yang selama ini dianggap sebagai momentum peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional, justru berpotensi menjadi "bumerang" yang menghancurkan fondasi ekonomi nasional dalam jangka panjang, setidaknya satu hingga dua tahun ke depan. Hal ini karena penyebaran virus dari wilayah perkotaan ke pedesaan berarti akan memperluas wilayah ‘zona merah’ pandemi penyebaran Covid-19.Selain itu, perluasan zona merah yang tidak terkontrol ini juga hampir pasti diikuti oleh ketidakmampuan otoritas daerah untuk menangani situasi akibat keterbatasan berbagai fasilitas kesehatan, termasuk terbatasnya jumlah tenaga medis, jumlah stok alat pelindung diri (APD), obat-obatan, hingga fasilitas kesehatan publik lainnya.



Jika keterbatasan kapasitas dan fasilitas kesehatan publik di daerah tidak mampu mengimbangi tingginya laju penyebaran virus, masalah kesehatan publik berpotensi menjalar menjadi masalah yang lebih besar terkait dengan krisis ekonomi akut di level lokal maupun nasional. Karena itu, jika pemerintah masih mempertimbangkan masa depan ekonomi negara dalam jangka panjang, langkah-langkah antisipatif untuk menekan mobilitas warga harus segera diambil sebelum ‘tsunami infeksi’ dan ‘tragedi kemanusiaan’ terjadi dan menghancurkan sendi-sendi perekonomian bangsa ini.Jangan Sampai Terlambat Hadirnya sikap tegas dan kebijakan publik yang tidak bersayap ini mensyaratkan kepemimpinan yang kuat, berani, dan tidak gagap (assertive leadership ). Jangan sampai pemerintah menyepelekan situasi ini lagi, sebagaimana yang terjadi di fase-fase awal menyikapi situasi pandemi ini.

Pemerintah Indonesia harus belajar dari apa yang terjadi di Amerika Serikat (AS), di mana pemerintahan Presiden Donald Trump yang sejak awal bersikap abai, menyederhanakan persoalan dan terlalu percaya diri menghadapi situasi pandemi ini sehingga tidak ada langkah-langkah antisipatif yang berarti. Akibatnya, per 27 Maret lalu, tren penyebaran pandemi Covid-19 di AS telah melampaui China dan Italia.Kini, AS telah menjadi episenter baru bagi pandemi Covid-19 di tingkat dunia dengan jumlah kasus infeksi mencapai 85.000 warga. Jumlah korban juga telah mencapai 1.300 warga dan berpotensi bertambah jika tidak ditangani secara cepat dan tepat. Menurut sejumlah pakar dari Center of Sustainable Development, Columbia University danInstitute of Health Metrics and Evaluation University of Washington , penyebab utama tingginya angka positif Covid-19 di AS tersebut berakar dari kebijakan Presiden Trump yang dinilai terlambat bersikap dalam menghadapi wabah virus ini (CNN , 27/03/2020).Untuk itu, belajar dari pengalaman di AS, Pemerintah Indonesia seharusnya dapat berani mengambil langkah antisipatif ini. Dampak larangan mudik memang terasa pahit secara sosial dan ekonomi, tetapi langkah antisipatif itu merupakan jalan terbaik untuk mengantisipasi situasi yang jauh lebih buruk terjadi. Jangan sampai bangsa ini terlambat dan terkejut melihat pemburukan situasi akibat minim antisipasi.Selain sikap tegas dari pemerintah, pemahaman terhadap bahaya mudik kali ini juga harus dimiliki oleh semua stakeholders , termasuk korporasi, unit usaha, hingga individu-individu yang mempekerjakan warga dari wilayah pedesaan (rural area ). Upaya menahan keinginan mudik harus disuarakan secara serentak oleh semua pihak untuk meneguhkan kesadaran masyarakat (public awareness ).

Di tengah ketidakpastian situasi ini, keinginan untuk mengunjungi keluarga harus ditunda terlebih dulu demi keselamatan dan keamanan keluarga masing-masing. Keamanan dan keselamatan keluarga adalah hal terpenting yang harus menjadi prioritas seluruh pihak. Demi keselamatan semua, tidak mudik kali ini merupakan pilihan terbaik yang harus dilaksanakan oleh seluruh pihak secara bersama-sama.
(nag)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More