Ombudsman Tindaklanjuti Laporan PT SIM terhadap Pemprov NTT

Senin, 20 April 2020 - 19:56 WIB
Sementara, keputusan Pemerintah Provinsi NTT kepada PT.SIM dilakukan berdasarkan Surat Sekretariat Daerah Pemprov NTT Nomor: BU.030/60/BPAD/2020 tanggal 31 Maret 2020, perihal: “Pemutusan Hubungan Kerja”, kemudian perintah pengosongan dilakukan berdasarkan Surat Sekretariat Daerah Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur Nomor: BU.030/61/BPAD/2020 tanggal 01 April 2020, perihal: Surat Peringatan Pertama (SP-1).

PT SIM menduga pemutusan hubungan kerja sama secara sepihak itu sarat maladministrasi dan tidak manusiawi lantaran dilakukan di tengah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) akibat mewabahnya penyakit virus corona 2019 (COVID-19). Keputusan Pemerintah Provinsi NTT juga dinilai kontradiktif dengan kebijakan relaksasi, stimulus dan insentif yang disampaikan Pemerintah Pusat untuk bidang perekonomian guna mengatasi wabah.

Mewabahnya COVID-19 telah mengakibatkan resesi ekonomi dalam skala yang masif dan sektor pariwisata merupakan salah satu bidang yang paling terdampak. Mengutip keterangan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) per tanggal 01 April 2020 sudah 1.139 hotel telah menutup sementara kegiatannya.

PT SIM menolak pemutusan secara sepihak, sebab surat pemutusan kerja sama tersebut didasarkan pada fitnah yang bertentangan dengan fakta sesungguhnya. Dimana PT SIM tidak pernah terlambat atau menunggak pembayaran biaya kontribusi tahunan pada 2015/2017 sebagaimana dituduhkan dalam surat pemutusan hubungan kerja.

PT SIM selalu membayar biaya kontribusi tahunan sesuai Perjanjian Kerja Sama yang telah disepakati mulai dari tahun 2017 s/d 2019. Selain itu PT SIM juga berkomitmen membayar kontribusi tahunan dan pembagian hasil sebesar 10% di tahun ke-10.

Pembayaran kontribusi baru dilakukan sejak 2017 karena tahun 2014 s/d 2016 adalah masa konstruksi yang belum dikenakan kewajiban membayar kontribusi. Sebab itu, alasan pemutusan kerja sama tersebut bertentangan dengan ketentuan yang diatur Pasal 236 Ayat (2) Permendagri No. 19 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah.

Kesewenang-wenangan Pemerintah Provinsi NTT semakin terlihat jelas dengan mengabaikan tata cara pengakhiran perjanjian yang diatur di dalam Pasal 237 Permendagri No. 19 Tahun 2016 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah. Pemutusan hubungan kerja dilakukan dengan jalan pintas tanpa didahului peringatan yang harus dilakukan sebanyak 3 (tiga) kali dan masing-masing peringatan memiliki jangka waktu 30 (tiga puluh hari) kalender.

Teranyar, Pemprov NTT mengambil alih aset yang sebelumnya dikelola PT SIM di Labuan Bajo, Sabtu (18/4/2020). PT SIM melalui Khresna Guntarto, SH selaku penasehat hukum mengatakan, menolak desakan penyerahan dan pengosongan paksa tanah dan bangunan.

Sebab, PT. SIM merasa tidak wanprestasi kepada Pemprov NTT, sehingga upaya paksa pengosongan tersebut, dinilai merupakan perbuatan penyalahgunaan kewenangan, apalagi dilakukan di tengah bencana Covid-19.

PT SIM menilai perbuatan aparatur Pemprov NTT juga terkesan secara sepihak, ingin mengambil alih tanah dan bangunan, tanpa disertai Putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap. Dikatakan Khresna, PT SIM yang mati-matian sedang mempertahankan usaha perhotelan dalam kondisi saat ini, menjadi dipaksa untuk gulung tikar akibat desakan Pemprov NTT kepada PT. SIM untuk menyerahkan bangunan dan meninggalkan lokasi Pantai Pede.

Seyogyanya, kata Khresna, Pemprov NTT tidak merampas hak PT. SIM, yang juga bagian dari masyarakat Negara Republik Indonesia. PT SIM telah mendedikasikan diri sebagai investor sekaligus mitra kerja sama untuk mengembangkan pariwisata di Labuan Bajo, serta memberdayakan masyarakat setempat.

"Perbuatan Pemprov NTT mengusir PT. SIM dengan sewenang-wenang menunjukan hilangnya keadilan dan kepastian hukum, serta kemudahan berusaha di Provinsi NTT," ungkap Khresna.

Pemutusan kerja sama sepihak oleh Pemprov NTT, dinilai tidak sesuai dengan visi misi pemerintah pusat mengenai upaya meningkatkan peran serta masyarakat dan meningkatkan investasi domestik maupun internasional. Dikatakan Khresna, pihaknya mengkhawatirkan adanya agenda terselubung dibalik pengambialihan lahan Pantai Pede.

"Terutama mengingat Labuan Bajo telah ditetapkan sebagai destinasi wisata premium oleh Pemerintah Pusat," kata Khresna.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More