Pandemi Covid-19, Pemerintah Diminta Kurangi Beban IHT
Selasa, 06 Juli 2021 - 14:29 WIB
JAKARTA - Pandemi Covid-19 yang berkepanjangan sejak awal 2020, belum terlihat jelas kapan akan berakhir. Bahkan kini, di sejumlah daerah kembali terjadi lonjakan kasus yang berujung pada pengetatan kembali kegiatan masyarakat.
Akibatnya, ketidakpastian usaha multi sektor yang disebabkan krisis ini di depan mata, suka tidak suka masih menghantui dan harus dihadapi oleh para pelaku usaha. Imbas tersebut tidak terkecuali menerpa Industri Hasil Tembakau (IHT).
Ketua Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero) Sulami Bahar mengharapkan adanya kepastian kebijakan dari pemerintah yang bisa mengurangi beban para pelaku IHT. Dia mengakui salah satu yang diharapkan adalah kepastian terkait tarif cukai yang menurutnya lebih baik untuk tidak dinaikkan di tahun ini. Keputusan kenaikan cukai untuk 2021, menurutnya, sangat memberatkan bagi produsen dan petani.
Secara agregat di segala segmen sepanjang 2020, produksi IHT mengalami kontraksi produksi mencapai -9,7%. Adapun perkembangan hingga Mei 2021 tren penurunan produksi masih terjadi di kisaran -4,3% dari 2020. Sulami mengatakan tren negatif masih terus berlanjut karena pandemi memang terbukti menurunkan daya beli masyarakat. Bukan tidak mungkin, katanya, penurunan produksi tahun ini lebih tajam dari tahun lalu, karena pengendalian pandemi belum ada perbaikan signifikan.
“Justru yang terjadi saat ini malah meledak lagi dan terjadi pengetatan, produsen mengurangi produksi karena penurunan permintaan konsumen, petani kekurangan serapan permintaan dari sektor hilir. Kami sebagai produsen bisa tetap produksi saja sudah syukur,” tutur Sulami.
Baru-baru ini, pelaku IHT kembali dibuat cemas dengan naiknya isu soal anjuran agar tarif cukai kembali dinaikkan, dan penyederhanaan struktur tarif cukai. Meski bukan isu baru, kedua hal ini cenderung membuat pelaku industri khawatir akan nasib mereka setiap tahunnya. Terlebih, risiko kehilangan pekerjaan akibat pandemi juga di depan mata. Beragam efek domino negatif kian mengintai industri ini dari berbagai arah.
Ketua GAPPRI Henry Najoan menyatakan, kenaikan cukai dan simplifikasi adalah faktor pendorong besar tekanan industri. “Kita lihat saja sekarang ini produksi sudah turun, nanti bisa sangat berkurang lagi,” katanya.
Simplifikasi tarif cukai akan paling dirasakan oleh produsen tembakau golongan II dan III, atau yang produksinya belum mencapai tiga miliar batang. Menurut Henry, jika kembali diberlakukan, di tengah pandemi, efek terbesar adalah hilangnya produsen tembakau. “Pasti yang akan berguguran duluan golongan II dan III, dan jika demikian, nanti rokok ilegal makin meningkat,” lanjutnya.
Ia juga meminta perlindungan pemerintah ke industri terus ada, termasuk rokok jenis kretek. “Peraturan-peraturan yang menyebabkan industri ini makin terpuruk, misalnya ya, ancaman aturan simplifikasi dan kenaikan cukai yang eksesif. Ini akan terus mempengaruhi serapan bahan baku dari petani, mengganggu tenaga kerja, mengganggu pendapatan dari para pengecer atau penjual rokok, dan pendapatan negara dalam hal cukai dan perpajakan,” tegasnya.
Faktanya, tidak lama setelah Kementerian Keuangan menaikkan tarif rata-rata cukai rokok tahun 2020 sebesar 23%, jumlah rokok ilegal justru naik hampir 60 persen. Data survei terakhir Kementerian Keuangan menyebut, pada 2019 rokok ilegal ada di kisaran 3 persen, dan naik 4,8 persen di tahun 2020. Pola ini sangat mungkin terulang bahkan meningkat, ketika tarif cukai kembali naik 12,5% pada 2021.
Anggota Komisi XI Fraksi Golkar Mukhamad Misbakhun mengatakan cukai hasil tembakau memang jadi salah satu pilar penerimaan negara yang penting. Tapi dia mengatakan, menaikkan tarif cukai yang dilakukan dengan orientasi penerimaan negara semata bisa membuat kontraksi industri tembakau secara keseluruhan. Dampak yang paling mudah dilihat, katanya, adalah penurunan produksi yang sudah terlihat saat ini. “Menurut saya adanya roadmap IHT bisa jadi solusi. Tapi roadmap yang komprehensif sesuai dengan situasi dan melibatkan seluruh stakeholder dalam negeri. Tidak seperti menaikkan tarif cukai tahun 2020 yang berlandaskan roadmap Bloomberg,” ujarnya.
Akibatnya, ketidakpastian usaha multi sektor yang disebabkan krisis ini di depan mata, suka tidak suka masih menghantui dan harus dihadapi oleh para pelaku usaha. Imbas tersebut tidak terkecuali menerpa Industri Hasil Tembakau (IHT).
Ketua Gabungan Perusahaan Rokok (Gapero) Sulami Bahar mengharapkan adanya kepastian kebijakan dari pemerintah yang bisa mengurangi beban para pelaku IHT. Dia mengakui salah satu yang diharapkan adalah kepastian terkait tarif cukai yang menurutnya lebih baik untuk tidak dinaikkan di tahun ini. Keputusan kenaikan cukai untuk 2021, menurutnya, sangat memberatkan bagi produsen dan petani.
Secara agregat di segala segmen sepanjang 2020, produksi IHT mengalami kontraksi produksi mencapai -9,7%. Adapun perkembangan hingga Mei 2021 tren penurunan produksi masih terjadi di kisaran -4,3% dari 2020. Sulami mengatakan tren negatif masih terus berlanjut karena pandemi memang terbukti menurunkan daya beli masyarakat. Bukan tidak mungkin, katanya, penurunan produksi tahun ini lebih tajam dari tahun lalu, karena pengendalian pandemi belum ada perbaikan signifikan.
“Justru yang terjadi saat ini malah meledak lagi dan terjadi pengetatan, produsen mengurangi produksi karena penurunan permintaan konsumen, petani kekurangan serapan permintaan dari sektor hilir. Kami sebagai produsen bisa tetap produksi saja sudah syukur,” tutur Sulami.
Baru-baru ini, pelaku IHT kembali dibuat cemas dengan naiknya isu soal anjuran agar tarif cukai kembali dinaikkan, dan penyederhanaan struktur tarif cukai. Meski bukan isu baru, kedua hal ini cenderung membuat pelaku industri khawatir akan nasib mereka setiap tahunnya. Terlebih, risiko kehilangan pekerjaan akibat pandemi juga di depan mata. Beragam efek domino negatif kian mengintai industri ini dari berbagai arah.
Ketua GAPPRI Henry Najoan menyatakan, kenaikan cukai dan simplifikasi adalah faktor pendorong besar tekanan industri. “Kita lihat saja sekarang ini produksi sudah turun, nanti bisa sangat berkurang lagi,” katanya.
Simplifikasi tarif cukai akan paling dirasakan oleh produsen tembakau golongan II dan III, atau yang produksinya belum mencapai tiga miliar batang. Menurut Henry, jika kembali diberlakukan, di tengah pandemi, efek terbesar adalah hilangnya produsen tembakau. “Pasti yang akan berguguran duluan golongan II dan III, dan jika demikian, nanti rokok ilegal makin meningkat,” lanjutnya.
Ia juga meminta perlindungan pemerintah ke industri terus ada, termasuk rokok jenis kretek. “Peraturan-peraturan yang menyebabkan industri ini makin terpuruk, misalnya ya, ancaman aturan simplifikasi dan kenaikan cukai yang eksesif. Ini akan terus mempengaruhi serapan bahan baku dari petani, mengganggu tenaga kerja, mengganggu pendapatan dari para pengecer atau penjual rokok, dan pendapatan negara dalam hal cukai dan perpajakan,” tegasnya.
Faktanya, tidak lama setelah Kementerian Keuangan menaikkan tarif rata-rata cukai rokok tahun 2020 sebesar 23%, jumlah rokok ilegal justru naik hampir 60 persen. Data survei terakhir Kementerian Keuangan menyebut, pada 2019 rokok ilegal ada di kisaran 3 persen, dan naik 4,8 persen di tahun 2020. Pola ini sangat mungkin terulang bahkan meningkat, ketika tarif cukai kembali naik 12,5% pada 2021.
Anggota Komisi XI Fraksi Golkar Mukhamad Misbakhun mengatakan cukai hasil tembakau memang jadi salah satu pilar penerimaan negara yang penting. Tapi dia mengatakan, menaikkan tarif cukai yang dilakukan dengan orientasi penerimaan negara semata bisa membuat kontraksi industri tembakau secara keseluruhan. Dampak yang paling mudah dilihat, katanya, adalah penurunan produksi yang sudah terlihat saat ini. “Menurut saya adanya roadmap IHT bisa jadi solusi. Tapi roadmap yang komprehensif sesuai dengan situasi dan melibatkan seluruh stakeholder dalam negeri. Tidak seperti menaikkan tarif cukai tahun 2020 yang berlandaskan roadmap Bloomberg,” ujarnya.
(cip)
tulis komentar anda