Menata Pendidikan Dasar

Jum'at, 21 Mei 2021 - 06:05 WIB
Ali Khomsan (Foto: Istimewa)
Ali Khomsan

Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB

'MERDEKA Belajar” adalah konsep Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim pada 2020 yang dipaparkan dalam rapat kerja dengan Komisi X DPR. Frasa “merdeka belajar” paling tepat digunakan sebagai filosofi perubahan dari metode pembelajaran yang terjadi selama ini. Sebab, dalam “merdeka belajar” terdapat kemandirian dan kemerdekaan bagi lingkungan pendidikan untuk menentukan sendiri cara terbaik dalam proses pembelajaran. Dampak pandemi Covid-19 yang menyebabkan anak belajar daring sepanjang tahun sejak 2020 hingga kini menjadi tantangan dalam penerapan konsep “merdeka belajar”.

Disadari oleh sebagian masyarakat bahwa banyak materi pelajaran yang dulu diberikan saat SMP/SMA, tetapi sekarang sudah diberikan di tingkat SD. Siswa SD diharapkan mempunyai kompetensi dalam hal membaca, menulis, dan berhitung (matematika). Pada kenyataannya, mereka menerima banyak mata pelajaran dengan tingkat kedalaman yang luar biasa.

Seorang siswa SD tetap ngotot ingin ke sekolah, meski ibunya melarang karena badannya agak panas. Hal ini diceritakan oleh seorang ibu yang sedang mengambil program doktor di Amerika Serikat dan anak-anaknya ikut bersekolah di sana. Sekolah dasar di Amerika menjadi tempat atau arena yang mengasyikkan bagi siswa-siswa karena kurikulum yang tidak terlalu padat. Tidak bersekolah berarti kehilangan kesempatan untuk bersosialisasi dengan teman-teman dan gurunya yang menyenangkan. Di Indonesia mungkin lain ceritanya, di negara yang subur gemah ripah loh jinawi ini anak-anak barangkali merasa jenuh bersekolah karena beban kurikulum yang berat.



Sesungguhnya rakyat merasa risi kalau pejabat sering-sering melakukan studi banding ke luar negeri karena hal itu dianggapnya pemborosan keuangan negara. Namun, di bidang pendidikan, saya justru sangat menyarankan agar birokrat Kemendikbud-Ristek (sebelumnya Kemendikbud) melakukan kunjungan kerja ke Amerika, Eropa, dan Australia. Amati, bagaimana negara-negara maju tersebut membangun dunia pendidikan, bagaimana implementasi kurikulum yang meskipun tidak terlalu mendalam namun toh berhasil menciptakan SDM yang bermutu, bagaimana anak-anak di negara maju menikmati pergi ke sekolah dengan ceria dll.

Sebaliknya, di negara kita, anak-anak sudah merasa capek dan letih kalau mendengar kata sekolah karena membayangkan tas yang penuh dengan buku dan pelajaran yang sulit dipahami. Situasi pandemi selama setahun menimbulkan kejenuhan tiada tara karena sehari-hari anak hanya berada di rumah mengikuti pembelajaran daring, kini mereka tergugah kembali untuk bersekolah bertemu guru dan teman-temannya bila pandemi sudah mereda.

Menjadi tugas besar bagi jajaran Kemendikbud-Ristek untuk membekali anak-anak kita dengan kurikulum yang bisa mewujudkan SDM (sumber daya manusia) berkualitas. Pembenahan kurikulum yang tidak menyentuh substansinya, hanya akan menuai protes dan kritik karena seolah ganti menteri ganti kurikulum. Kita semua merasa bersyukur ketika mendengar kebijakan agar anak-anak TK tidak lagi dipaksa untuk belajar membaca, karena usia TK adalah usia bermain untuk mengenal lingkungan sekitarnya. Kita juga menyambut positif bila tes semesteran bagi anak kelas I SD ditiadakan.

Persoalan lain yang harus dihadapi oleh dunia pendidikan adalah keluhan bahwa sistem pendidikan kita tidak melatih siswa untuk berani mengemukakan pendapat. Ini jelas berbeda dengan sistem pendidikan Barat yang selalu merangsang curiousity atau keingintahuan seorang anak.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More