Pelajaran dari Demokrasi Desa
Jum'at, 21 Mei 2021 - 06:24 WIB
Despan Heryansyah
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) dan Mahasiswa Program Doktor FH UII Yogyakarta
DEMOKRASI desa atau setidaknya demokrasi prosedural di tingkat desa dalam bentuk pemilihan langsung kepala desa yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, patut mendapatkan apresiasi. Melalui undang-undang ini, setidaknya partisipasi rakyat diakomodasi langsung untuk menentukan siapa pemimpinnya pada tingkatan pemerintahan yang paling rendah. Kepala desa yang terpilih melalui pemilihan adalah yang benar-benar diinginkan oleh masyarakat setempat, bukan yang menjadi pelaksana keinginan kelompok tertentu, meskipun pelembagaan demokrasi desa melalui pemilihan kepala desa ini tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri.
Harus diakui, masyarakat desa Indonesia, baik di Pulau Jawa maupun luar Jawa, masih sangat kental dengan sistem patron, baik karena hubungan keagamaan (kiai, ulama, ustaz, dan lain sebagainya), kesukuan (raja, sultan, raden, dan lain-lain) maupun kekerabatan. Politik identitas yang dipadukan dengan sistem patron ini tidak saja dapat merusak proses demokratisasi masyarakat desa, namun juga membahayakan karena membawa aroma perpecahan.
Di samping itu, proses demokratisasi juga membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit, karena demokrasi dalam pemaknaannya yang modern seperti saat ini tidak begitu familier bagi masyarakat Indonesia. Proklamator bangsa Indonesia, Bung Hatta, dalam bukunya, “Demokrasi Kita”, menyinggung untuk berhati-hati dengan frasa demokrasi asli Indonesia, karena demokrasi sesungguhnya tidak pernah dikenal dalam sejarah peradaban Indonesia. Musyawarah di masyarakat Minang yang dianggap sebagai cikal bakal demokrasi asli Indonesia, hanya menjadi hak prerogatif Ninik dan Mamak semata, sedangkan perempuan dan anak-anak tidak “dianggap” keberadaannya. Pernyataan ini sekaligus menegaskan pengakuan kita bahwa demokrasi Indonesia saat ini adalah bersumber dari Barat, yang mendapatkan persentuhan dengan budaya lokal Indonesia. Dengan demikian, proses pendidikan demokrasi harus dilakukan.
Ironi Demokrasi Desa
Tulisan ini ingin mengungkap beberapa kelemahan demokrasi desa yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis, yaitu bagaimana kepala desa dimanfaatkan oleh kepala daerah untuk kepentingan politik praktisnya. Kepala desa, dengan berbagai ketergantungannya terhadap kepala daerah, menjadikannya tidak memiliki pilihan lain kecuali “patuh”. Ketergantungan kepala desa yang penulis maksud setidaknya mencakup dua hal. Pertama, dana desa berupa bantuan pendanaan pemerintah pusat terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa diberikan dengan melalui pemerintah daerah, mulai dari proses pengajuannya dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), hingga proses pencairan. Ketentuan ini menjadikan pemerintah desa sebagai “bawahan” pemerintah daerah karena jika tidak, proses pencairan dana akan dipersulit. Hal ini pula yang menjadi peluang kolusi dana desa seperti yang terjadi di wilayah Pamekasan, Madura, Jawa Timur, beberapa waktu lalu. Maka, tidak heran jika banyak pihak yang mengusulkan agar dibentuk kantor wilayah di masing-masing daerah sebagai wakil pemerintah pusat agar pencairan dana desa tidak lagi melalui pemerintah daerah.
Kedua, sengketa pemilihan kepala desa dan pemberhentian kepala desa yang dilakukan oleh bupati. Bupati memiliki kewenangan untuk memberhentikan, baik sementara maupun tetap seorang kepala desa. Ketentuan ini tentu menjadikan kepala desa harus memiliki hubungan “baik” dengan bupati, karena bagaimanapun jabatannya sebagai kepala desa ada di tangan bupati, meskipun kepala desa sendiri dipilih oleh rakyat secara langsung dalam arti memiliki legitimasi yang sama dengan bupati.
Dua bentuk ketergantungan kepala desa terhadap bupati sebagaimana dipaparkan di atas, pada banyak daerah, digunakan oleh oknum bupati untuk kepentingan politik praktis. Seorang kepala desa, diwajibkan oleh si bupati untuk memenangkan suara atau suara partainya dalam setiap kontestasi pemilu dan pemilihan kepala daerah. Jika tidak, masa depan si kepala desa akan terancam. Aturan ini memang tidak tertulis, namun dapat dipastikan terjadi di banyak daerah di Indonesia. Inilah yang penulis sebut dengan pemanfaatan demokrasi desa untuk kepentingan politik praktis kepala daerah.
Untuk memutus praktik yang tidak sesuai dengan prinsip demokrasi ini, hal yang harus dilakukan adalah memutus ketergantungan kepala desa terhadap kepala daerah.
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) dan Mahasiswa Program Doktor FH UII Yogyakarta
DEMOKRASI desa atau setidaknya demokrasi prosedural di tingkat desa dalam bentuk pemilihan langsung kepala desa yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, patut mendapatkan apresiasi. Melalui undang-undang ini, setidaknya partisipasi rakyat diakomodasi langsung untuk menentukan siapa pemimpinnya pada tingkatan pemerintahan yang paling rendah. Kepala desa yang terpilih melalui pemilihan adalah yang benar-benar diinginkan oleh masyarakat setempat, bukan yang menjadi pelaksana keinginan kelompok tertentu, meskipun pelembagaan demokrasi desa melalui pemilihan kepala desa ini tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri.
Harus diakui, masyarakat desa Indonesia, baik di Pulau Jawa maupun luar Jawa, masih sangat kental dengan sistem patron, baik karena hubungan keagamaan (kiai, ulama, ustaz, dan lain sebagainya), kesukuan (raja, sultan, raden, dan lain-lain) maupun kekerabatan. Politik identitas yang dipadukan dengan sistem patron ini tidak saja dapat merusak proses demokratisasi masyarakat desa, namun juga membahayakan karena membawa aroma perpecahan.
Di samping itu, proses demokratisasi juga membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit, karena demokrasi dalam pemaknaannya yang modern seperti saat ini tidak begitu familier bagi masyarakat Indonesia. Proklamator bangsa Indonesia, Bung Hatta, dalam bukunya, “Demokrasi Kita”, menyinggung untuk berhati-hati dengan frasa demokrasi asli Indonesia, karena demokrasi sesungguhnya tidak pernah dikenal dalam sejarah peradaban Indonesia. Musyawarah di masyarakat Minang yang dianggap sebagai cikal bakal demokrasi asli Indonesia, hanya menjadi hak prerogatif Ninik dan Mamak semata, sedangkan perempuan dan anak-anak tidak “dianggap” keberadaannya. Pernyataan ini sekaligus menegaskan pengakuan kita bahwa demokrasi Indonesia saat ini adalah bersumber dari Barat, yang mendapatkan persentuhan dengan budaya lokal Indonesia. Dengan demikian, proses pendidikan demokrasi harus dilakukan.
Ironi Demokrasi Desa
Tulisan ini ingin mengungkap beberapa kelemahan demokrasi desa yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis, yaitu bagaimana kepala desa dimanfaatkan oleh kepala daerah untuk kepentingan politik praktisnya. Kepala desa, dengan berbagai ketergantungannya terhadap kepala daerah, menjadikannya tidak memiliki pilihan lain kecuali “patuh”. Ketergantungan kepala desa yang penulis maksud setidaknya mencakup dua hal. Pertama, dana desa berupa bantuan pendanaan pemerintah pusat terhadap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa diberikan dengan melalui pemerintah daerah, mulai dari proses pengajuannya dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes), hingga proses pencairan. Ketentuan ini menjadikan pemerintah desa sebagai “bawahan” pemerintah daerah karena jika tidak, proses pencairan dana akan dipersulit. Hal ini pula yang menjadi peluang kolusi dana desa seperti yang terjadi di wilayah Pamekasan, Madura, Jawa Timur, beberapa waktu lalu. Maka, tidak heran jika banyak pihak yang mengusulkan agar dibentuk kantor wilayah di masing-masing daerah sebagai wakil pemerintah pusat agar pencairan dana desa tidak lagi melalui pemerintah daerah.
Kedua, sengketa pemilihan kepala desa dan pemberhentian kepala desa yang dilakukan oleh bupati. Bupati memiliki kewenangan untuk memberhentikan, baik sementara maupun tetap seorang kepala desa. Ketentuan ini tentu menjadikan kepala desa harus memiliki hubungan “baik” dengan bupati, karena bagaimanapun jabatannya sebagai kepala desa ada di tangan bupati, meskipun kepala desa sendiri dipilih oleh rakyat secara langsung dalam arti memiliki legitimasi yang sama dengan bupati.
Dua bentuk ketergantungan kepala desa terhadap bupati sebagaimana dipaparkan di atas, pada banyak daerah, digunakan oleh oknum bupati untuk kepentingan politik praktis. Seorang kepala desa, diwajibkan oleh si bupati untuk memenangkan suara atau suara partainya dalam setiap kontestasi pemilu dan pemilihan kepala daerah. Jika tidak, masa depan si kepala desa akan terancam. Aturan ini memang tidak tertulis, namun dapat dipastikan terjadi di banyak daerah di Indonesia. Inilah yang penulis sebut dengan pemanfaatan demokrasi desa untuk kepentingan politik praktis kepala daerah.
Untuk memutus praktik yang tidak sesuai dengan prinsip demokrasi ini, hal yang harus dilakukan adalah memutus ketergantungan kepala desa terhadap kepala daerah.
(bmm)
Lihat Juga :
tulis komentar anda