Menyiasati Ancaman bagi Jakarta pada 2050
Rabu, 19 Mei 2021 - 05:30 WIB
Langkah jangka pendek untuk hasil jangka panjang yang disuarakan pemerhati lingkungan adalah menghentikan eksploitasi air tanah. Saran ini ditanggapi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan mengatur pemungutan pajak dan membatasi jumlah maksimum pengambilan air tanah melalui Peraturan Gubernur Nomor 38 Tahun 2017.
Meski demikian, pajak dan pembatasan rasanya tidak efektif jika belum disertai penyediaan air bersih perpipaan. PAM Jaya mencatat, air bersih di Ibu Kota defisit sebanyak 4.500 liter per detik dari jumlah kebutuhan masyarakat Jakarta yang saat ini mencapai 22.500 liter per detik. Sedangkan air bersih yang dikelola oleh Pam Jaya hanya sebanyak 18.000 liter per detik. Adapun kajian Indonesia Water Institute(IWI) pada 2021 menunjukkan bahwa lebih dari 50% wilayah Jakarta mengalami kesulitan air bersih dan diproyeksikan akan mengalami defisit air bersih hingga 2030.
Masalah penyediaan air bersih perpipaan ini semakin runyam karena kian kritis dan langkanya kuantitas maupun kualitas air baku permukaan, cekungan tanah, dan hujan. Maraknya alih fungsi lahan nonterbangun seperti ruang terbuka hijau dan ruang terbuka biru menjadi lahan terbangun adalah sederet penyebab yang berujung pada mengeruk air tanah sedalam-dalamnya.
Momentum Pemindahan Ibu Kota
Meningkatkan ruang terbuka hijau merupakan pekerjaan rumah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sementara pemindahan ibu kota bisa menjadi kesempatan emas untuk memastikan regenerasi lingkungan kota. Penetapan fungsi baru pada kawasan yang akan ditinggalkan pemerintah pusat dimainkan melalui instrumen penataan ruang sehingga memudahkan langkah redistribusi dan substitusi ruang yang tentu saja mengarusutamakan penyelesaian masalah substantif Kota Jakarta.
Ruang terbuka hijau (RTH) antara lain satu dari sekian masalah mendasar yang mesti mendapat prioritas alokasi ruang. DKI Jakarta saat ini hanya mencapai 9,98% dari target ideal 30% RTH sebuah kota. Itu pun dengan peningkatan yang sangat lamban, hanya 0,98% sejak 18 tahun lalu.
Langkah awal bisa berupa pemetaan titik kegiatan pemerintah pusat yang berpotensi ditinggalkan, serta mengaudit kesesuaian rencana peruntukan dan pemanfaatan ruang kawasan sekitarnya. Jakarta Pusat yang kini mendominasi kawasan pemerintah pusat bisa dipastikan akan mengalami perubahan struktur dan pola ruang.
Selain itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga sebaiknya melakukan upaya perencanaan sejak dini dengan melakukan pendekatan kepada pemerintah pusat soal pola pengelolaan lahan dan arah pemanfaatan lahan atau bangunan bekas aktivitas pemerintahan. Bukan mustahil alternatif tersebut akan tercapai demi mengentaskan masalah lingkungan Ibu Kota ini.
Desa Berketahanan
Ada hal menarik dalam hubungan desa-kota di tengah situasi pendemi Covid-19 yakni ruralisasi. Kaum urban yang tak lagi bekerja di kota akibat pandemi Covid-19 kembali ke desa. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tenaga kerja di sektor pertanian naik drastis dari 27,53% dari total angkatan kerja atau 36,71 juta orang pada Agustus 2019 menjadi 41,13 juta orang atau 29,76% dari total angkatan kerja pada Agustus 2020.
Meski demikian, pajak dan pembatasan rasanya tidak efektif jika belum disertai penyediaan air bersih perpipaan. PAM Jaya mencatat, air bersih di Ibu Kota defisit sebanyak 4.500 liter per detik dari jumlah kebutuhan masyarakat Jakarta yang saat ini mencapai 22.500 liter per detik. Sedangkan air bersih yang dikelola oleh Pam Jaya hanya sebanyak 18.000 liter per detik. Adapun kajian Indonesia Water Institute(IWI) pada 2021 menunjukkan bahwa lebih dari 50% wilayah Jakarta mengalami kesulitan air bersih dan diproyeksikan akan mengalami defisit air bersih hingga 2030.
Masalah penyediaan air bersih perpipaan ini semakin runyam karena kian kritis dan langkanya kuantitas maupun kualitas air baku permukaan, cekungan tanah, dan hujan. Maraknya alih fungsi lahan nonterbangun seperti ruang terbuka hijau dan ruang terbuka biru menjadi lahan terbangun adalah sederet penyebab yang berujung pada mengeruk air tanah sedalam-dalamnya.
Momentum Pemindahan Ibu Kota
Meningkatkan ruang terbuka hijau merupakan pekerjaan rumah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sementara pemindahan ibu kota bisa menjadi kesempatan emas untuk memastikan regenerasi lingkungan kota. Penetapan fungsi baru pada kawasan yang akan ditinggalkan pemerintah pusat dimainkan melalui instrumen penataan ruang sehingga memudahkan langkah redistribusi dan substitusi ruang yang tentu saja mengarusutamakan penyelesaian masalah substantif Kota Jakarta.
Ruang terbuka hijau (RTH) antara lain satu dari sekian masalah mendasar yang mesti mendapat prioritas alokasi ruang. DKI Jakarta saat ini hanya mencapai 9,98% dari target ideal 30% RTH sebuah kota. Itu pun dengan peningkatan yang sangat lamban, hanya 0,98% sejak 18 tahun lalu.
Langkah awal bisa berupa pemetaan titik kegiatan pemerintah pusat yang berpotensi ditinggalkan, serta mengaudit kesesuaian rencana peruntukan dan pemanfaatan ruang kawasan sekitarnya. Jakarta Pusat yang kini mendominasi kawasan pemerintah pusat bisa dipastikan akan mengalami perubahan struktur dan pola ruang.
Selain itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga sebaiknya melakukan upaya perencanaan sejak dini dengan melakukan pendekatan kepada pemerintah pusat soal pola pengelolaan lahan dan arah pemanfaatan lahan atau bangunan bekas aktivitas pemerintahan. Bukan mustahil alternatif tersebut akan tercapai demi mengentaskan masalah lingkungan Ibu Kota ini.
Desa Berketahanan
Ada hal menarik dalam hubungan desa-kota di tengah situasi pendemi Covid-19 yakni ruralisasi. Kaum urban yang tak lagi bekerja di kota akibat pandemi Covid-19 kembali ke desa. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tenaga kerja di sektor pertanian naik drastis dari 27,53% dari total angkatan kerja atau 36,71 juta orang pada Agustus 2019 menjadi 41,13 juta orang atau 29,76% dari total angkatan kerja pada Agustus 2020.
tulis komentar anda