Din Syamsuddin: Tuduhan Radikal terhadap Umat Islam Tidak Beralasan dan Kebablasan
Kamis, 06 Mei 2021 - 12:36 WIB
JAKARTA - Tokoh Islam Prof M Din Syamsuddin prihatin dengan tuduhan radikal terhadap umat Islam lewat sejumlah figur sangat gencar. Menurutnya, jelas tuduhan ini tidak beralasan dan kebablasan.
"Tuduhan-tuduhan itu tidak tepat dan mengada-ada. Seandainya umat Islam radikal atau penganut radikalisme (khususnya politik) maka tidak akan ada Negara Pancasila. Justru karena kenegarawanan dan toleransi tinggi para tokoh Islam maka Negara Pancasila ada. Republik Indonesia ada karena kerelaan hati 73 Kesultanan/Kerajaan Islam dari Aceh hingga Tidore yang mengintegrasikan diri ke dalam negara bangsa dengn syarat mampu mewujudkan kesejahteraan. Begitu pula, tidak akan ada stabilitas Indonesia jika umat Islam tidak toleran. Justru karena toleransi tinggi umat Islam maka kerukunan nasional relatif baik selama ini," jelas Din, Kamis (6/5/2021).
Menurut Din, tuduhan radikal terhadap umat Islam adalah gerak politik dari 'musuh politik umat Islam'. Gerak politik ini dapat didorong oleh beberapa sebab. Pertama, hal ini boleh jadi karena ketakutan terhadap kebangkitan umat Islam sehingga mereka memandang perlu melakukan preemptive action atau aksi yang mendahului. Ini adalah cara yang sering dilakukan oleh Kaum Komunis.
Kedua, tuduhan itu dilakukan dalam rangka mematikan langkah kelompok Islam dalam arena politik, sehingga mereka (kelompok penuduh) dapat berkuasa atau melanggengkan kekuasaan. "Kelompok ini sebenarnya takut terhadap potensi besar umat Islam dalam politik, tapi mereka juga mengetahui cara untuk melemahkannya," kata Din.
Ketiga, tuduhan itu merupakan bagian dari skenario global yang bersekongkol dengan komrad-komradnya di dalam negeri yang sama-sama khawatir akan kebangkitan gerakan populisme Islam di Indonesia. "Cara yg biasa mereka lakukan adalah politik kolonial divide et empera atau politik adu domba. Memang kelemahan umat Islam adalah sulit bersatu."
Yang jelas, lanjut Din, tuduhan radikal terhadap umat Islam dapat ditengarai datang dari kelompok-kelompok yang memiliki kekuasaan (the ruling groups) sehingga merasa mampu dan perlu menggembosi kekuatan umat Islam. "Hal ini dapat dipirsa muncul dalam bentuk penuduhan yang berujung pada penangkapan dan pemenjaraan. Juga ada modus lain yaitu menjerat figur-figur tertentu dengan alasan-alasan yang absurd. Hal ini pernah terjadi pada Era Soekarno dengan dipenjarakannya sejumlah tokoh Islam. Pada Era Orde Baru, kalangan Islam dituduh sebagai ekstrem kanan dan anti-Pancasila, walau Pemerintah Orde Baru kemudian sadar bahkan Soeharto menampilkan pembelaan terhadap umat Islam," jelasnya.
Din menambahkan, pada era Jokowi tuduhan radikal terhadap kalangan Islam terkesan berlangsung sistematis, masif, terstruktur, dan berani. Bahkan, tuduhan-tuduhan itu dilakukan oleh orang per orang yang dengan sombong dan berani menghina dan menistakan lambang-lambang Islam. "Sayangnya terhadap pelakunya negara tidak selalu hadir, bahkan terkesan tidak adil," ujarnya.
"Tuduhan-tuduhan itu tidak tepat dan mengada-ada. Seandainya umat Islam radikal atau penganut radikalisme (khususnya politik) maka tidak akan ada Negara Pancasila. Justru karena kenegarawanan dan toleransi tinggi para tokoh Islam maka Negara Pancasila ada. Republik Indonesia ada karena kerelaan hati 73 Kesultanan/Kerajaan Islam dari Aceh hingga Tidore yang mengintegrasikan diri ke dalam negara bangsa dengn syarat mampu mewujudkan kesejahteraan. Begitu pula, tidak akan ada stabilitas Indonesia jika umat Islam tidak toleran. Justru karena toleransi tinggi umat Islam maka kerukunan nasional relatif baik selama ini," jelas Din, Kamis (6/5/2021).
Menurut Din, tuduhan radikal terhadap umat Islam adalah gerak politik dari 'musuh politik umat Islam'. Gerak politik ini dapat didorong oleh beberapa sebab. Pertama, hal ini boleh jadi karena ketakutan terhadap kebangkitan umat Islam sehingga mereka memandang perlu melakukan preemptive action atau aksi yang mendahului. Ini adalah cara yang sering dilakukan oleh Kaum Komunis.
Baca Juga
Kedua, tuduhan itu dilakukan dalam rangka mematikan langkah kelompok Islam dalam arena politik, sehingga mereka (kelompok penuduh) dapat berkuasa atau melanggengkan kekuasaan. "Kelompok ini sebenarnya takut terhadap potensi besar umat Islam dalam politik, tapi mereka juga mengetahui cara untuk melemahkannya," kata Din.
Ketiga, tuduhan itu merupakan bagian dari skenario global yang bersekongkol dengan komrad-komradnya di dalam negeri yang sama-sama khawatir akan kebangkitan gerakan populisme Islam di Indonesia. "Cara yg biasa mereka lakukan adalah politik kolonial divide et empera atau politik adu domba. Memang kelemahan umat Islam adalah sulit bersatu."
Yang jelas, lanjut Din, tuduhan radikal terhadap umat Islam dapat ditengarai datang dari kelompok-kelompok yang memiliki kekuasaan (the ruling groups) sehingga merasa mampu dan perlu menggembosi kekuatan umat Islam. "Hal ini dapat dipirsa muncul dalam bentuk penuduhan yang berujung pada penangkapan dan pemenjaraan. Juga ada modus lain yaitu menjerat figur-figur tertentu dengan alasan-alasan yang absurd. Hal ini pernah terjadi pada Era Soekarno dengan dipenjarakannya sejumlah tokoh Islam. Pada Era Orde Baru, kalangan Islam dituduh sebagai ekstrem kanan dan anti-Pancasila, walau Pemerintah Orde Baru kemudian sadar bahkan Soeharto menampilkan pembelaan terhadap umat Islam," jelasnya.
Din menambahkan, pada era Jokowi tuduhan radikal terhadap kalangan Islam terkesan berlangsung sistematis, masif, terstruktur, dan berani. Bahkan, tuduhan-tuduhan itu dilakukan oleh orang per orang yang dengan sombong dan berani menghina dan menistakan lambang-lambang Islam. "Sayangnya terhadap pelakunya negara tidak selalu hadir, bahkan terkesan tidak adil," ujarnya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda