Pakar Pemilu: Tak Ada yang Murni Terapkan Sistem Presidensial atau Parlementer
Jum'at, 23 April 2021 - 06:44 WIB
Ada pun modifikasi parlementarisasi sistem presidensial ini, akan berdampak pada inovasi Pemilu, yaitu penyelenggaraan Pemilu presiden dan parlemen secara serentak. Terkait dengan wacana menerapkan lagi sistem parlementer, Didik mewanti-wanti. Baginya, dalam konteks Indonesia, tantangan berat dalam penerapan sistem parlementer adalah mencari simbol pemersatu bangsa, mengingat sistem itu akan melahirkan dua pemimpin penting negeri.
“Nah, presidensialisme yang menghasilkan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, dia tidak hanya simbol, tapi dia punya kekuatan untuk menyatukan republik ini. Kalau parlementer, pertanyaannya adalah, siapa yang akan melakukan itu (sosok perekat bangsa)? Atau bagaimana cara kita memilih orang untuk itu? Kalau di Inggris kan ada Raja,” ujar pendiri Perludem itu.
Selain Didik Supriyanto, diskusi yang dimoderatori Juru Bicara DPP PSI, Faldo Maldini, turut menghadirkan Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Prof. Ramlan Surbakti dan sejarawan Anhar Gonggong.
Sementara itu, dalam pengantar diskusi bertema “Presidensial vs Parlementer”, Plt Sekjen DPP PSI, Dea Tunggaesti, mengajak publik untuk memikirkan ulang sistem parlementer, termasuk menggelar diskusi yang melibatkan para pakar.
“Tema diskusi hari ini lahir dari pembicaraan internal di DPP PSI. Kami beranggapan, setelah lima pemilihan umum berjalan demokratis, saatnya kita bicara tentang bagaimana cara memperkuat demokrasi dan melahirkan stabilitas kebijakan dan politik jangka panjang,” kata Dea .
PSI ingin mendorong percakapan politik menjadi lebih substantif dan sesuai kepentingan publik. Kepentingan publik dalam hal ini adalah bagaimana pemerintahan berjalan efektif dan di sisi lain demokrasi terjaga.
Sejumlah kelemahan sistem presidensial telah dipaparkan Dea dalam video yang ditayangkan di akun media sosial DPP PSI sejak akhir pekan lalu.
“Nah, presidensialisme yang menghasilkan presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, dia tidak hanya simbol, tapi dia punya kekuatan untuk menyatukan republik ini. Kalau parlementer, pertanyaannya adalah, siapa yang akan melakukan itu (sosok perekat bangsa)? Atau bagaimana cara kita memilih orang untuk itu? Kalau di Inggris kan ada Raja,” ujar pendiri Perludem itu.
Selain Didik Supriyanto, diskusi yang dimoderatori Juru Bicara DPP PSI, Faldo Maldini, turut menghadirkan Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, Prof. Ramlan Surbakti dan sejarawan Anhar Gonggong.
Sementara itu, dalam pengantar diskusi bertema “Presidensial vs Parlementer”, Plt Sekjen DPP PSI, Dea Tunggaesti, mengajak publik untuk memikirkan ulang sistem parlementer, termasuk menggelar diskusi yang melibatkan para pakar.
“Tema diskusi hari ini lahir dari pembicaraan internal di DPP PSI. Kami beranggapan, setelah lima pemilihan umum berjalan demokratis, saatnya kita bicara tentang bagaimana cara memperkuat demokrasi dan melahirkan stabilitas kebijakan dan politik jangka panjang,” kata Dea .
PSI ingin mendorong percakapan politik menjadi lebih substantif dan sesuai kepentingan publik. Kepentingan publik dalam hal ini adalah bagaimana pemerintahan berjalan efektif dan di sisi lain demokrasi terjaga.
Sejumlah kelemahan sistem presidensial telah dipaparkan Dea dalam video yang ditayangkan di akun media sosial DPP PSI sejak akhir pekan lalu.
(mhd)
tulis komentar anda