Pakar Pemilu: Tak Ada yang Murni Terapkan Sistem Presidensial atau Parlementer

Jum'at, 23 April 2021 - 06:44 WIB
Foto/Ilustrasi/SINDOnews
JAKARTA - Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Didik Supriyanto mengatakan, tidak ada lagi negara yang menerapkan sistem presidensial atau pun sistem parlementer secara murni.

“Setelah Uni Soviet jatuh, karakter parlementer atau presidensial itu kan sudah banyak berubah. Sehingga, di kalangan akademisi muncul istilah presidensialisasi sistem parlementer dan parlementarisasi sistem presidensial,” katanya dalam keterangannya, Kamis 22 April 2021.

Didik menerangkan, presidensialisasi sistem parlementer terjadi di beberapa negara di Eropa. Salah satu modifikasi dari sistem ini adalah pengetatan mosi tidak percaya kepada kabinet. “Dulu, begitu mayoritas parlemen tidak setuju dengan kabinet, ya sudah dijatuhkan melalui mosi tidak percaya,” tambahnya.



Dalam kasus ini, jika kabinet hendak dijatuhkan maka oposisi harus menyiapkan pemerintahan baru terlebih dahulu, termasuk menunjuk Perdana Menteri baru yang akan menggantikan. Barulah kabinet bisa dijatuhkan. Apabila prasyarat itu tidak dipenuhi, oposisi tidak bisa menjatuhkan mosi tidak percaya kepada kabinet.

Kedua, tambah Didik, ciri dari presidensialisasi sistem parlementer ini adalah pengetatan pembubaran parlemen, menjurus ke masa kerja parlemen yang tetap (fixed term). Corak ketiga dari sistem ini adalah, persetujuan resmi atas pembentukan kabinet.

Terakhir, menurut Didik, modifikasi sistem ini membuat adanya upaya penguatan tanggung jawab kolektif atau yang disebut dengan ministerial code atau cabinet manual. Inovasi konstitusi yang menyebabkan modifikasi sistem pemerintahan itu, ujar Didik, diikuti juga oleh inovasi pemilu, yaitu menerapkan sistem pemilu campuran (MPP dan Paralel).

“Dengan sistem pemilu ini, ada kemungkinan 1 atau 2 partai menguasai 70 % kursi, tetapi partai-partai kecil tetap punya peluang masuk ke parlemen," katanya.

Sementara konsep parlementarisasi sistem presidensial juga membawa konsekuensi politik, di antaranya adalah peningkatan fungsi kecaman parlemen, penghentian presiden melalu mekanisme declaration of incapacity, penghentian presiden melalui mekanisme impeachment, dan pembentukan koalisi partai politik pendukung presiden di parlemen.

“Di sistem presidensial itu gak lazim ada koalisi, kenapa gak lazim? Contohnya Amerika Serikat, mereka gak kenal koalisi karena partainya cuma dua (pemilu mayoritarian). Tapi Amerika Latin, sejak tahun 1980’an itu mulai muncul koalisi, karena kalau tidak koalisi akan buntu dan bakal diambil alih militer,” kata Didik, mencontohkan koalisi partai politik dalam parlementarisasi sistem presidensial.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More