Aksi teror kini makin sering dilakukan oleh anak-anak muda. Foto/Ilustrasi/SINDOnews
JAKARTA - Aksi teror kini makin sering dilakukan oleh anak-anak muda. Peristiwa pengeboman di sebuah gereja Katolik di Makassar, Sulawesi Selatan, pelakunya merupakan seorang pemuda kelahiran tahun 1995.
Banyak dari anak muda terpapar terorisme karena kerap mengkonsumsi konten berita mengenai propaganda ISIS di media sosial tanpa mengecek kebenarannya. "Dari mereka bersimpati dengan ISIS karena mengkonsumsi konten di media sosial. Banyak situs-situs yang berisi propaganda ISIS menjadi bacaan favorit anak muda," lanjut Arjuna.
Maraknya anak muda yang direkrut menjadi teroris menurut Arjuna merupakan gambaran kegagalan program deradikalisasi yang selama ini dicanangkan pemerintah. Manurut Arjuna, program deradikalisasi yang dilakukan pemerintah selama ini hanya berorientasi pada 'proyek' semata.
Kata dia, tanpa ada perencanaan, arah dan indikator yang jelas. Sehingga program deradikalisasi hanya terselenggara secara formalitas namun tidak mencapai terget yang diinginkan.
"Selama ini program deradikalisasi semata-mata hanya menjadi proyek, tidak ada arah, perencanaan serta indikator yang jelas. Jadi sulit mencapai terget yang diinginkan. Artinya program deradikalisasi gagal," ujar Arjuna.
Bahkan menurut Arjuna, sedikit sekali perhatian pemerintah terhadap deradikalisasi di kalangan anak muda. Banyak program pemerintah di bidang kepemudaan justru hanya menghabiskan anggaran. Perhatian pemerintah terhadap program strategi pencegahan terorisme dan ekstremisme di kalangan anak muda relatif minim bahkan terabaikan.
"Minim sekali program kepemudaan yang dicanangkan pemerintah yang difokuskan pada strategi pencegahan terorisme dan ekstremisme di kalangan anak muda. Banyak program kepemudaan hanya sekedar menghabiskan anggaran, tidak ada yang menyasar pada deradikalisasi secara komprehensif," tuturnya.
Untuk itu menurut Arjuna, untuk mencegah agar anak muda tidak terjerumus pada konten-konten ekstremis dan masuk pada jebakan perekrutan teroris, diperlukan penciptaan narasi-narasi tandingan di media sosial yang mampu melawan godaan konten-konten terorisme dan ekstremisme.
"Dan ini perlu dukungan dan perhatian pemerintah, sehingga organisasi mahasiswa yang juga berupaya mencegah merebaknya pandangan ekstremisme dan perekrutan teroris tidak bergerak sendiri (lone wolf)," ungkapnya.
"Program deradikalisasi di kalangan anak muda perlu menjadi perhatian pemerintah, jika pemerintah serius mempersempit ruang perekrutan terorisme. Sehingga organisasi pemuda yang bergerak di garis nasionalisme tidak bergerak sendiri melawan jejaring sistematis perekrutan terorisme," pungkasnya.