PKS Minta Pemerintah Setop Wacana Pemindahan Ibu Kota Negara
Senin, 19 April 2021 - 15:34 WIB
JAKARTA - Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR saat meminta pemerintah menghentikan wacana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN). Fraksi PKS meminta pemerintah lebih fokus pada pemulihan ekonomi terlebih dahulu.
"Sebab pemulihan ekonomi akibat pandemi ini lebih urgen daripada pemindahan Ibu Kota Negara yang tidak memiliki urgensi sama sekali," ujar anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi PKS Suryadi Jaya Purnama dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Senin (19/4/2021). Suryadi mengatakan, Fraksi PKS sendiri menolak pemindahan Ibu Kota Negara karena masih begitu banyak pekerjaan rumah yang mendesak. "Seperti terjadinya deindustrialisasi, pemenuhan kebutuhan lapangan kerja, peningkatan kualitas sumber daya manusia, pemanfaatan infrastruktur, perbaikan kinerja neraca perdagangan dan iklim investasi, serta pemenuhan kebutuhan pangan," katanya. Dia mengatakan, beberapa waktu lalu pemerintah mengumumkan pradesain Istana Negara yang menuai banyak kontroversi dari kalangan arsitek. Sebab, lanjut dia, ternyata pradesain tersebut tidak dibuat oleh orang yang ahli di bidang arsitektur sebagaimana amanat UU Arsitek dan juga ditengarai berpotensi pemborosan dana. "Pengumuman tersebut sekali lagi memperlihatkan tindakan pemerintah yang terburu-buru dan tidak cermat. Begitu pula dengan isu pemindahan Ibu Kota Negara, sama-sama terkesan terburu-buru," tuturnya.
Padahal, kata dia, Indonesia dan dunia saat ini masih berjuang melawan Covid-19 yang belum jelas kapan akan berakhirnya, dimana banyak negara saling memperebutkan jatah vaksin. Dia pun memberikan contoh, Indonesia pun telah terkena pemotongan jatah vaksin sebesar 10 juta dosis vaksin AstraZeneca buatan India, karena negara tersebut memutuskan untuk tidak mengekspor vaksin buatannya terlebih dahulu untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya. "Namun demikian kondisi pandemi ini tidak dianggap sebagai penghalang bagi Pemerintah untuk melanjutkan megaproyek pemindahan Ibu Kota Negara yang diperkirakan setidaknya akan memakan biaya hingga sekitar Rp90 triliun dari APBN dan sekitar Rp400 triliun dari swasta dan BUMN," ungkapnya.
Padahal, sambung dia, perekonomian negara dan masyarakat masih belum pulih, banyak warga negara yang masih membutuhkan bantuan agar ekonominya bisa berjalan kembali seperti sedia kala. Hal tersebut, lanjut dia, tampak dari masih berlakunya Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
"Berlakunya Perppu ini menunjukkan bahwa ekonomi nasional berada dalam keadaan darurat akibat pandemi Covid-19 yang tentu tidak sebanding dengan urgensi pemindahan Ibu Kota Negara. Sebab saat ini tidak ada kedaruratan yang terjadi di Ibu Kota Negara DKI Jakarta yang menyebabkan perlunya pemindahan Ibu Kota Negara," ujarnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, kondisi pandemi pun sama-sama terjadi di seluruh Indonesia, tidak hanya di DKI Jakarta saja, bahkan temasuk di wilayah yang direncanakan akan menjadi Ibu Kota Negara yang baru. "Kegiatan yang berkaitan dengan wacana pemindahan Ibu Kota Negara yang terus dilakukan Pemerintah saat ini tidak ubahnya seperti pemilik lahan yang melakukan marketing properti dengan harapan mendapatkan investor besar, padahal masih banyak investasi yang dibutuhkan di berbagai sektor, khususnya sektor industri dan sektor lainnya yang lebih bermanfaat bagi masyarakat," katanya.
Menurut dia, program-program strategis nasional yang sudah berjalan saat ini pun seharusnya dapat dimaksimalkan untuk mendukung kegiatan padat karya yang sangat bermanfaat bagi masyarakat kecil. Di sisi lain, kata Suryadi, dari segi perencanaan, beberapa pakar geologi telah memperingatkan bahwa diperlukan adanya kajian yang mendalam dan mendetail terkait kondisi geologi di daerah calon Ibu Kota Negara yang baru. "Dimana di daerah tersebut terindikasi sangat minim sumber air baku, kemudian sering terjadi longsoran zona lemah patahan dan juga banjir akibat air rob dari arah teluk Balikpapan," ujarnya.
Demikian pula, ujar dia, dari segi administratif terkait rencana tata ruang dan wilayah (RTRW), patut dipertanyakan apakah RTRW kabupaten dan kota yang menjadi pendukung ibu kota negara, seperti Penajam Paser Utara (PPU), Kutai Kartanegara (Kukar), Samarinda, dan Balikpapan telah direvisi. "Pemerintah seharusnya dapat menunjukkan rencana induk pusat kota IKN, rencana tata bangunan dan lingkungan, dan panduan rancang kota untuk IKN," pungkasnya.
"Sebab pemulihan ekonomi akibat pandemi ini lebih urgen daripada pemindahan Ibu Kota Negara yang tidak memiliki urgensi sama sekali," ujar anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi PKS Suryadi Jaya Purnama dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Senin (19/4/2021). Suryadi mengatakan, Fraksi PKS sendiri menolak pemindahan Ibu Kota Negara karena masih begitu banyak pekerjaan rumah yang mendesak. "Seperti terjadinya deindustrialisasi, pemenuhan kebutuhan lapangan kerja, peningkatan kualitas sumber daya manusia, pemanfaatan infrastruktur, perbaikan kinerja neraca perdagangan dan iklim investasi, serta pemenuhan kebutuhan pangan," katanya. Dia mengatakan, beberapa waktu lalu pemerintah mengumumkan pradesain Istana Negara yang menuai banyak kontroversi dari kalangan arsitek. Sebab, lanjut dia, ternyata pradesain tersebut tidak dibuat oleh orang yang ahli di bidang arsitektur sebagaimana amanat UU Arsitek dan juga ditengarai berpotensi pemborosan dana. "Pengumuman tersebut sekali lagi memperlihatkan tindakan pemerintah yang terburu-buru dan tidak cermat. Begitu pula dengan isu pemindahan Ibu Kota Negara, sama-sama terkesan terburu-buru," tuturnya.
Padahal, kata dia, Indonesia dan dunia saat ini masih berjuang melawan Covid-19 yang belum jelas kapan akan berakhirnya, dimana banyak negara saling memperebutkan jatah vaksin. Dia pun memberikan contoh, Indonesia pun telah terkena pemotongan jatah vaksin sebesar 10 juta dosis vaksin AstraZeneca buatan India, karena negara tersebut memutuskan untuk tidak mengekspor vaksin buatannya terlebih dahulu untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya. "Namun demikian kondisi pandemi ini tidak dianggap sebagai penghalang bagi Pemerintah untuk melanjutkan megaproyek pemindahan Ibu Kota Negara yang diperkirakan setidaknya akan memakan biaya hingga sekitar Rp90 triliun dari APBN dan sekitar Rp400 triliun dari swasta dan BUMN," ungkapnya.
Padahal, sambung dia, perekonomian negara dan masyarakat masih belum pulih, banyak warga negara yang masih membutuhkan bantuan agar ekonominya bisa berjalan kembali seperti sedia kala. Hal tersebut, lanjut dia, tampak dari masih berlakunya Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
"Berlakunya Perppu ini menunjukkan bahwa ekonomi nasional berada dalam keadaan darurat akibat pandemi Covid-19 yang tentu tidak sebanding dengan urgensi pemindahan Ibu Kota Negara. Sebab saat ini tidak ada kedaruratan yang terjadi di Ibu Kota Negara DKI Jakarta yang menyebabkan perlunya pemindahan Ibu Kota Negara," ujarnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, kondisi pandemi pun sama-sama terjadi di seluruh Indonesia, tidak hanya di DKI Jakarta saja, bahkan temasuk di wilayah yang direncanakan akan menjadi Ibu Kota Negara yang baru. "Kegiatan yang berkaitan dengan wacana pemindahan Ibu Kota Negara yang terus dilakukan Pemerintah saat ini tidak ubahnya seperti pemilik lahan yang melakukan marketing properti dengan harapan mendapatkan investor besar, padahal masih banyak investasi yang dibutuhkan di berbagai sektor, khususnya sektor industri dan sektor lainnya yang lebih bermanfaat bagi masyarakat," katanya.
Menurut dia, program-program strategis nasional yang sudah berjalan saat ini pun seharusnya dapat dimaksimalkan untuk mendukung kegiatan padat karya yang sangat bermanfaat bagi masyarakat kecil. Di sisi lain, kata Suryadi, dari segi perencanaan, beberapa pakar geologi telah memperingatkan bahwa diperlukan adanya kajian yang mendalam dan mendetail terkait kondisi geologi di daerah calon Ibu Kota Negara yang baru. "Dimana di daerah tersebut terindikasi sangat minim sumber air baku, kemudian sering terjadi longsoran zona lemah patahan dan juga banjir akibat air rob dari arah teluk Balikpapan," ujarnya.
Demikian pula, ujar dia, dari segi administratif terkait rencana tata ruang dan wilayah (RTRW), patut dipertanyakan apakah RTRW kabupaten dan kota yang menjadi pendukung ibu kota negara, seperti Penajam Paser Utara (PPU), Kutai Kartanegara (Kukar), Samarinda, dan Balikpapan telah direvisi. "Pemerintah seharusnya dapat menunjukkan rencana induk pusat kota IKN, rencana tata bangunan dan lingkungan, dan panduan rancang kota untuk IKN," pungkasnya.
(cip)
tulis komentar anda