Aspek Ritual dan Nonritual Ramadan

Senin, 19 April 2021 - 06:34 WIB
Aspek Ritual dan Nonritual Ramadan
Ali Khomsan

Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB

Keimanan seseorang meningkat berlipat ganda di bulan puasa. Pada bulan ini umat Islam berbondong-bondong ke masjid untuk beribadah, mereka tidak merasa berat untuk berzakat dan bersedekah, serta berlomba-lomba menyantuni anak yatim. Ramadan memberikan pembelajaran ritual sehingga umat Islam menjelma menjadi pribadi muslim yang kaffah (paripurna).



Puasa dan Lebaran seringkali identik dengan naiknya harga barang dan makanan. Kekhusyu’an Ramadan terganggu dengan gerutu masyarakat karena ketidakberdayaan ekonomi. Bagi pedagang, puasa adalah saatnya menjual barang-barang lebih mahal daripada biasanya. Pedagang sudah memahami pola psikologis konsumen yaitu menghambur-hamburkan uang pada bulan puasa menjelang Lebaran. Kenaikan harga di mata pedagang adalah juga ritual tahunan yang mendatangkan keuntungan berlipat ganda. Pedagang juga seringkali menaikkan harga saat gaji pegawai naik, saat terjadi shortage supply, atau saat adanya kenaikan harga bahan baku di pasar internasional. Di masa pandemi Covid-19, kehidupan masyarakat yang terpuruk ekonominya hendaknya tidak ditambah dengan kehendak para pedagang untuk menaikkan harga. Semoga peribahasa sudah jatuh tertimpa tangga tidak berlaku di Ramadan dan Lebaran 2021 ini.

Karyawan dan buruh yang bekerja di sektor swasta kini selalu harap-harap cemas karena pandemi memukul perekonomian global. Ancaman pemutusan hubungan kerja selalu terbayang di depan mata. Berbagai stimulus ekonomi pemerintah seperti pengurangan/pembebasan pajak untuk pembelian mobil baru dimaksudkan agar ekonomi pada industri mobil kembali bergerak normal sehingga para karyawannya bisa bekerja dengan tenang. Relaksasi jam buka restoran, mal, bioskop dengan protokol kesehatan adalah dalam rangka menghidupkan kembali perekonomian masyarakat.

Ritual mudik sejak jauh-jauh hari sudah diumumkan oleh pemerintah agar tidak dilakukan masyarakat. Kewaspadaan terhadap Covid-19 melemah di saat liburan. Dari pengalaman sebelumnya terungkap tingginya kasus Covid-19 setelah liburan panjang. Covid-19 yang belum mereda harus diantisipasi menjelang liburan Hari Raya Ied. Itulah sebabnya pemerintah tidak mau mengambil risiko lonjakan kasus Covid-19 dan mengeluarkan edaran agar masyarakat tidak mudik di saat Lebaran.

Pada bulan Ramadan sebagian umat Islam mengeluarkan zakat dan sedekahnya. Gerakan zakat di kalangan umat Islam belum mempunyai daya ungkit yang signifikan untuk perbaikan ekonomi masyarakat. Jutaan umat Islam yang hidup berkecukupan ternyata tidak mampu mengentaskan saudara-saudaranya yang dilanda kemiskinan. Orang masih suka berzakat dan bersedekah dengan mengundang orang miskin ke rumahnya. Antrian orang miskin yang memanjang dan berjubel terkadang malah menimbulkan bencana karena mereka harus berdesak-desakan. Situasinya bertambah runyam kalau hal tersebut dilakukan di saat pandemi Covid-19.

Puasa harus dilakukan dengan jiwa ikhlas. Salah satu tanda ikhlas adalah tidak mudah kecewa. Saat ini banyak di antara kita menjadi individu yang selalu kecewa. Kecewa mengapa harga barang selalu naik di bulan puasa, kecewa mengapa program pengentasan kemiskinan masih salah sasaran, dan masygul karena pandemi Covid-19 yang sudah berlangsung satu tahun belum ada tanda-tanda untuk berakhir. Bangsa kita kini juga sibuk mengatasi berbagai bencana alam berupa banjir bandang dan longsor yang menimpa sebagian wilayah Indonesia. Korban jiwa berjatuhan dan banyak masyarakat tinggal di tenda-tenda pengungsian sembari menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan.

Di awal bulan Ramadan ini kita juga mendengar bahwa pemerintah mengeluarkan Keppres 6/2021 tentang pembentukan Satgas dalam rangka penanganan dan pemulihan hak negara berupa hak tagih negara atas sisa piutang negara dari dana BLBI. Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI bertugas sejak 6 April 2021 sampai 31 Desember 2023. Satgas BLBI akan memburu kerugian negara senilai Rp108 trilyun. Kejujuran adalah mata uang yang berlaku di mana-mana, namun korupsi yang masih saja dilakukan para pejabat di negeri ini mengisyaratkan bahwa pendidikan karakter perlu dilakukan sejak usia dini. Bulan Ramadan dapat menjadi bulan pendidikan karena banyak orang Islam berperilaku baik di bulan ini. Puasa Ramadan menekankan aspek ibadah ritual menahan makan, minum dan hal-hal yang membatalkan puasa dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Namun, aspek nonritual yang menyertainya sungguh luar biasa.

Perbaikan karakter umat Islam di bulan Ramadan yang merupakan aspek nonritual dapat menjadi modal dasar untuk memperbaiki kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Umat Islam yang setiap tahun berlatih mengendalikan diri di bulan Ramadan akan menjadi pribadi yang disiplin, tidak merugikan orang lain, bertutur kata dengan santun, mampu mengendalikan emosi, yang kesemuanya adalah bekal untuk perbaikan perilaku hidup bangsa. Di bulan Ramadan ini kita perlu terus-menerus mendoakan para pemimpin kita agar mereka tetap amanah dalam menjalankan tugas. Pemimpin yang adil dan amanah akan membawa kesejahteraan bagi rakyatnya. Sungguh tragis kalau ada pemimpin yang perutnya tidak pernah kenyang dengan yang sedikit, dan nafsunya tidak pernah puas dengan yang banyak. Selama 11 bulan sebagian kita telah menjalani kesibukan dan kegiatan yang tidak jelas. Oleh karena itu, mereka yang tidak introspeski diri pada bulan Ramadan, pasti hanya akan mengulang-ulang perbuatan salahnya di bulan-bulan yang akan datang. Mereka adalah orang-orang yang tidak dapat mengambil hikmah dengan datangnya Ramadan.
(war)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More