Menaker Akui Pandemi Beri Beban Tambahan Perempuan di Rumah
Kamis, 08 April 2021 - 06:40 WIB
JAKARTA - Pandemi virus Corona (Covid-19) diakui menambah beban tambahan bagi perempuan. Mulai dari diberlakukannya work from home (WFH) dan school from home, sehingga mengharuskan mengurus semua pekerjaan dalam satu hari penuh.
Dalam hal kepemimpinan perempuan, Ida menyatakan, ini masih menjadi masalah yang perlu diselesaikan bersama. Ia mencontohkan dari 4,1 juta Aparatur Sipil Negara (ASN), 52 persennya adalah perempuan, namun perempuan yang menduduki jabatan struktural relatif sedikit.
Di jabatan tinggi madya, hanya ada 96 orang perempuan, jauh lebih sedikit dari laki-laki yang berjumlah 483 orang. "Hambatan yang dihadapi pekerja perempuan ini disebabkan oleh beban ganda, seksisme, dan stereotip dalam masyarakat, diskriminasi berbasis gender, hingga pelecehan seksual," ungkap Ida.
"Hambatan ini tidak hanya berdampak pada mereka secara individu dan keluarganya, tetapi juga pada potensi ekonomi negara dan Indeks Kesetaraan Gender Indonesia dalam peringkat dunia," tambahnya.
Menyikapi berbagai hambatan yang dihadapi pekerja perempuan ini, menteri kelahiran 17 Juli 1969 ini mengatakan, Kemenaker berkomitmen terus melakukan gerakan nasional non-diskriminasi di tempat kerja. "Dengan komitmen ini, diharapkan akan dapat menghentikan praktik-praktik ketidaksetaraan dan diskriminasi di tempat kerja," tegasnya.
Deputy Head of Mission dari Kedutaan Besar Australia, H. E. Allaster Cox, dalam pidato pembukaan Women Lead Forum 2021, menyatakan, kepemimpinan perempuan merupakan salah satu pendorong utama kesetaraan gender dan memiliki pengaruh yang signifikan dalam upaya pemulihan ekonomi suatu negara.
"Untuk itu, Australia merasa bangga bisa bergandengan tangan dengan Indonesia dalam perjalanan memperkuat keterwakilan perempuan dalam kepemimpinan, dan mencapai kesetaraan gender yang lebih baik di tempat kerja," ujar Mr Cox.
Pemimpin Redaksi Magdalene, Devi Asmarani mengungkapkan, hambatan yang dihadapi pekerja perempuan telah membatasi kesempatan mereka dalam memaksimalkan potensinya. Kendati sudah ada kebijakan-kebijakan yang mendukung pekerja perempuan, dalam realitasnya implementasi kebijakan tersebut belum optimal, ujarnya.
Baca Juga
Dalam hal kepemimpinan perempuan, Ida menyatakan, ini masih menjadi masalah yang perlu diselesaikan bersama. Ia mencontohkan dari 4,1 juta Aparatur Sipil Negara (ASN), 52 persennya adalah perempuan, namun perempuan yang menduduki jabatan struktural relatif sedikit.
Di jabatan tinggi madya, hanya ada 96 orang perempuan, jauh lebih sedikit dari laki-laki yang berjumlah 483 orang. "Hambatan yang dihadapi pekerja perempuan ini disebabkan oleh beban ganda, seksisme, dan stereotip dalam masyarakat, diskriminasi berbasis gender, hingga pelecehan seksual," ungkap Ida.
"Hambatan ini tidak hanya berdampak pada mereka secara individu dan keluarganya, tetapi juga pada potensi ekonomi negara dan Indeks Kesetaraan Gender Indonesia dalam peringkat dunia," tambahnya.
Menyikapi berbagai hambatan yang dihadapi pekerja perempuan ini, menteri kelahiran 17 Juli 1969 ini mengatakan, Kemenaker berkomitmen terus melakukan gerakan nasional non-diskriminasi di tempat kerja. "Dengan komitmen ini, diharapkan akan dapat menghentikan praktik-praktik ketidaksetaraan dan diskriminasi di tempat kerja," tegasnya.
Deputy Head of Mission dari Kedutaan Besar Australia, H. E. Allaster Cox, dalam pidato pembukaan Women Lead Forum 2021, menyatakan, kepemimpinan perempuan merupakan salah satu pendorong utama kesetaraan gender dan memiliki pengaruh yang signifikan dalam upaya pemulihan ekonomi suatu negara.
"Untuk itu, Australia merasa bangga bisa bergandengan tangan dengan Indonesia dalam perjalanan memperkuat keterwakilan perempuan dalam kepemimpinan, dan mencapai kesetaraan gender yang lebih baik di tempat kerja," ujar Mr Cox.
Pemimpin Redaksi Magdalene, Devi Asmarani mengungkapkan, hambatan yang dihadapi pekerja perempuan telah membatasi kesempatan mereka dalam memaksimalkan potensinya. Kendati sudah ada kebijakan-kebijakan yang mendukung pekerja perempuan, dalam realitasnya implementasi kebijakan tersebut belum optimal, ujarnya.
tulis komentar anda