Kebijakan FABA Tak Masuk Limbah B3 Buka Pemanfaatan untuk Infrastruktur

Rabu, 17 Maret 2021 - 09:15 WIB
Dari sisi regulasi dan pengawasannya, Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) tetap perlu dikontrol kualitasnya. Foto/Istimewa
JAKARTA - Pemerintah resmi mencabut FABA (Fly Ash dan Bottom Ash) dari daftar limbah B3 atau bahan berbahaya dan beracun. Presiden Joko Widodo resmi menegaskan hal ini pada 2 Februari 2021.

Dari kacamata akademis, pencabutan adalah hal baik dilakukan dan merujuk peraturan internasional. Sebaliknya, kebijakan ini bisa menjadi pembuka jalan bagi pemanfaatan FABA buat banyak hal, termasuk infrastuktur bahkan pertanian. FABA yang sudah diolah dengan baik sesuai standar yang ditetapkan pemerintah, bisa dijadikan pembuat batu bata, semen, corn block, dan sejenisnya. Di beberapa negara maju, FABA yang merupakan limbah padat yang dihasilkan dari proses pembakaran batu bara pada pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) bahkan dijadikan pupuk.

“Kalau dari sisi infrastruktur pembangunan jalan massif banget, kalau ini (FABA) bisa dimanfaatkan, alangkah hebatnya Indonesia,” kata peneliti FABA dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Januarti Jaya Ekaputri dalam webinar di Jakarta, Selasa (16/3/2021).

Januarti menegaskan, bahwa dari sisi regulasi dan pengawasannya, FABA tetap perlu dikontrol kualitasnya. Dia menekankan, dalam jumlah banyak, tentu FABA punya efek bahaya. Namun, jika dikelola dengan standar pemerintah dan internasional, FABA justru bisa digunakan dan punya manfaat ekonomi. Penelitian yang dilakukan Januarti di ITS menuturkan bahwa limbah pembangkit listrik itu bisa bermanfaat. Tetapi, dia menganalogikan dengan nasi, sebagai contoh.





Sementara itu, pakar kebijakan publik, Agus Pambagio menilai keputusan ini tepat. Dia juga menyoroti manfaat FABA yang dikelola teknologi baru.

“Sebelumnya FABA itu jumlahnya banyak dan sulit dikendalikan sehingga dimasukan ke dalam kategori limbah B3. Tetapi seiring berkembangnya teknologi, FABA ternyata bisa diolah kembali menjadi sesuatu yang berguna,” ujar Agus.

Agus menilai dari sudut pandang berbeda. Menurut dia, pencabutan FABA dari daftar limbah B3 juga bisa mempersempit ruang gerak mafia yang “bermain” dalam pengelolaan limbah, sehingga berpotensi merugikan pengelola PLTU.

“Tempat pengelolaan limbah itu seluruhnya ada di Pulau Jawa. Jika PLTU-nya ada di Papua atau Sulawesi maka harus diangkut ke Pulau Jawa dengan menghabiskan ongkos yang banyak. Jika menimbun limbah terlalu lama, ada hukumannya seperti denda berkisar satu sampai tiga miliar rupiah, sehingga PLTU harus selalu mencari tanah kosong yang baru untuk limbah agar tidak tertimbun tinggi. Sementara untuk mengelola FABA dibutuhkan pembuatan dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dengan biaya hingga 400 jutaan, disinilah timbulnya praktik mafia,” urainya.
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More