Menyoal Korupsi Perpajakan
Rabu, 10 Maret 2021 - 06:10 WIB
Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) baru saja menetapkan status cegah (untuk bepergian ke luar negeri) terhadap Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan karena dugaan terlibat perkara tindak pidana korupsi. Perkara mafia pajak sebenarnya bukan hal baru. Masyarakat tentu masih mengingat Gayus Tambunan, oknum aparat pajak yang melakukan tindak pidana korupsi dengan jumlah fantastis. Pertanyaannya adalah mengapa korupsi di tubuh direktorat pajak masih terus terjadi?
Jawabannya kembali pada pola penyimpangan (baca: korupsi) yang diuraikan oleh Robert Klitgard (1999), yakni penyimpangan senantiasa terjadi karena ada diskresi yang luas, monopoli penanganan, dan tiadanya bentuk pertanggungjawaban yang jelas. Pola yang digambarkan Robert Klitgard tersebut persis pola yang dipergunakan oknum aparat pajak yang terlibat perbuatan koruptif.
Akar permasalahan terjadinya tindakan koruptif pada oknum aparat pajak adalah luasnya diskresi yang dimiliki oleh oknum petugas pajak, khususnya pada bagian pemeriksa pajak dan keberatan. Hadjon (2001) menjelaskan diskresi sebagai bentuk kewenangan yang melekat pada jabatan untuk memberikan keputusan atas hal yang tidak diatur atau tidak diatur secara jelas dalam aturan perundang-undangan. Diskresi luas yang dimiliki aparat pajak dapat menjadikan faktor terjadinya perbuatan koruptif di sektor perpajakan dan pada akhirnya akan berdampak pada penerimaan negara pada sektor pajak.
Terjadinya perilaku koruptif oleh aparat pajak, selain sangat dipengaruhi oleh luasnya diskresi, juga dalam pola yang digambarkan Klitgard, sangat dipengaruhi oleh faktor monopoli. Ini soal tiadanya pembanding perhitungan yang diterbitkan aparat pajak yang dapat dipergunakan sebagai kontrol wajib pajak dalam menilai kebenaran perhitungan yang diterbitkan oleh aparat pajak. Persoalan berikutnya adalah faktor pertanggung jawaban (akuntabilitas). Jika wajib pajak tidak puas dengan perhitungan aparat pajak, maka satu-satunya jalan bagi wajib pajak adalah mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak (SKP) melalui pengadilan pajak.
Akibat rendahnya kepastian hukum dalam peradilan di Indonesia serta adanya risiko membayar dua kali besaran ketetapan pajak jika upaya melalui pengadilan pajak ditolak mendorong para wajib pajak untuk menghindari pengadilan. Di samping itu, upaya hukum melalui pengadilan juga akan memakan waktu, biaya, dan tetap mengandung risiko.
Regulasi dan Pengawasan
Terjadinya pola koruptif pada oknum aparat pajak sebagaimana digambarkan dalam pola Klitgard di atas tidak terlepas dari dua faktor utama, yakni aturan (regulasi) pada bidang perpajakan itu sendiri, dan faktor lemahnya pengawasan. Dalam dunia kriminologi berlaku asas trust is good but system is better untuk menggambarkan bahwa kepercayaan harus dijaga dengan adanya sistem dan pengawasan yang ketat pada suatu lembaga demi menghindarkan penyimpangan oleh oknum aparat sendiri.
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) baru saja menetapkan status cegah (untuk bepergian ke luar negeri) terhadap Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan karena dugaan terlibat perkara tindak pidana korupsi. Perkara mafia pajak sebenarnya bukan hal baru. Masyarakat tentu masih mengingat Gayus Tambunan, oknum aparat pajak yang melakukan tindak pidana korupsi dengan jumlah fantastis. Pertanyaannya adalah mengapa korupsi di tubuh direktorat pajak masih terus terjadi?
Jawabannya kembali pada pola penyimpangan (baca: korupsi) yang diuraikan oleh Robert Klitgard (1999), yakni penyimpangan senantiasa terjadi karena ada diskresi yang luas, monopoli penanganan, dan tiadanya bentuk pertanggungjawaban yang jelas. Pola yang digambarkan Robert Klitgard tersebut persis pola yang dipergunakan oknum aparat pajak yang terlibat perbuatan koruptif.
Akar permasalahan terjadinya tindakan koruptif pada oknum aparat pajak adalah luasnya diskresi yang dimiliki oleh oknum petugas pajak, khususnya pada bagian pemeriksa pajak dan keberatan. Hadjon (2001) menjelaskan diskresi sebagai bentuk kewenangan yang melekat pada jabatan untuk memberikan keputusan atas hal yang tidak diatur atau tidak diatur secara jelas dalam aturan perundang-undangan. Diskresi luas yang dimiliki aparat pajak dapat menjadikan faktor terjadinya perbuatan koruptif di sektor perpajakan dan pada akhirnya akan berdampak pada penerimaan negara pada sektor pajak.
Terjadinya perilaku koruptif oleh aparat pajak, selain sangat dipengaruhi oleh luasnya diskresi, juga dalam pola yang digambarkan Klitgard, sangat dipengaruhi oleh faktor monopoli. Ini soal tiadanya pembanding perhitungan yang diterbitkan aparat pajak yang dapat dipergunakan sebagai kontrol wajib pajak dalam menilai kebenaran perhitungan yang diterbitkan oleh aparat pajak. Persoalan berikutnya adalah faktor pertanggung jawaban (akuntabilitas). Jika wajib pajak tidak puas dengan perhitungan aparat pajak, maka satu-satunya jalan bagi wajib pajak adalah mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak (SKP) melalui pengadilan pajak.
Akibat rendahnya kepastian hukum dalam peradilan di Indonesia serta adanya risiko membayar dua kali besaran ketetapan pajak jika upaya melalui pengadilan pajak ditolak mendorong para wajib pajak untuk menghindari pengadilan. Di samping itu, upaya hukum melalui pengadilan juga akan memakan waktu, biaya, dan tetap mengandung risiko.
Regulasi dan Pengawasan
Terjadinya pola koruptif pada oknum aparat pajak sebagaimana digambarkan dalam pola Klitgard di atas tidak terlepas dari dua faktor utama, yakni aturan (regulasi) pada bidang perpajakan itu sendiri, dan faktor lemahnya pengawasan. Dalam dunia kriminologi berlaku asas trust is good but system is better untuk menggambarkan bahwa kepercayaan harus dijaga dengan adanya sistem dan pengawasan yang ketat pada suatu lembaga demi menghindarkan penyimpangan oleh oknum aparat sendiri.
Lihat Juga :
tulis komentar anda