Pemerintah Diyakini Setuju Revisi UU Pemilu Asal Tak Ubah Jadwal Pilkada
Jum'at, 26 Februari 2021 - 08:30 WIB
JAKARTA - Keputusan pemerintah dan DPR untuk menunda pembahasan revisi UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu terlalu terburu-buru. Begitu juga dengan penetapan opsi tunggal pelaksanaan pilkada dan pemilu serentak pada tahun 2024.
Menurut Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti, terlalu revisi UU Pemilu adalah keharusan. Selain menyangkut teknis pelaksanaan dengan segala konsekuensi format dan mekanismenya, juga karena berbagai hambatan dan kendala di lapangan selama praktik Pemilu Serentak 2019 dan Pilkada 2020 lalu.
"Dibutuhkan perbaikan menyeluruh dalam sistem pemilu/pilkada yang lebih mendekatkan pada aspek penguatan hak warga negara, terjalinnya hubungan yang lebih kuat antara pemilih dengan yang dipilih, mencegah oligarki partai, mencegah nepotisme politik dan penggunaan uang haram di dalam pemilu," ujarnya saat dihubungi, Jumat (26/2/2021).
(Baca: Belajar dari 2019, Faktor Fundamental UU Pemilu Perlu Direvisi)
Ray melanjutkan, mengingat begitu luas dan subtansi dari poin revisi UU Pemilu, ia melihat perlunya pembahasan yang terencana, simultan, berkala dan dengan waktu yang lebih lapang. Harus dicegah pembahasan revisi UU Pemilu dengan gegabah, karena daftar inventaris masalahnya begitu banyak, tapi waktu yang tersedia untuk hal itu misalnya hanya satu atau bahkan setengah tahun.
"Jelas, belajar dari pengalaman revisi UU KPK dan penetapan UU Omnibus Law, pembahasan UU yang serba cepat hanya akan menimbulkan dampak minimnya partisipasi masyarakat yang berujung pada makin jauhnya aspirasi masyarakat dalam revisi UU yang dimaksud," katanya.
Begitu juga dengan Pilkada Serentak 2024. Ray mengingatkan, harus benar-benar dipikirkan cara yang tepat bagaimana memastikan Pilkada 2024 terlaksana dengan mengurangi peristiwa yang terjadi pada Pemilu Serentak 2019 lalu. Kelelahan, ketidakcermatan, ketegangan berkelindan menjadi satu.
Ini baru satu pemilu serentak. Apalagi dalam skenario 2024 jeda antara Pilpres dengan Pilkada nyaris tidak ditemukan. Begitu pilpres selesai, tahapan pilkada dimulai. Bahkan jika pilpres berlanjut ke putaran kedua, ada kemungkinan pekerjaan yang saling menumpuk dalam satu waktu.
Karena itulah, menurut Ray pembahasan revisi UU Pemilu idealnya dimulai tahun ini yang secara berkala berlanjut pada tahun-tahun berikutnya sampai 2023. Dan, diharapkan setahun sebelum tahapan pemilu legislatif dan pilperea dimulai, semua pembahasan revisi UU pemilu berakhir. "Pelaksanaan pilkada serentak tahun 2022 dan 2023 disatukan dalam satu waktu pelaksanaan," papar mantan Aktivis 98 itu.
Menurut Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti, terlalu revisi UU Pemilu adalah keharusan. Selain menyangkut teknis pelaksanaan dengan segala konsekuensi format dan mekanismenya, juga karena berbagai hambatan dan kendala di lapangan selama praktik Pemilu Serentak 2019 dan Pilkada 2020 lalu.
"Dibutuhkan perbaikan menyeluruh dalam sistem pemilu/pilkada yang lebih mendekatkan pada aspek penguatan hak warga negara, terjalinnya hubungan yang lebih kuat antara pemilih dengan yang dipilih, mencegah oligarki partai, mencegah nepotisme politik dan penggunaan uang haram di dalam pemilu," ujarnya saat dihubungi, Jumat (26/2/2021).
(Baca: Belajar dari 2019, Faktor Fundamental UU Pemilu Perlu Direvisi)
Ray melanjutkan, mengingat begitu luas dan subtansi dari poin revisi UU Pemilu, ia melihat perlunya pembahasan yang terencana, simultan, berkala dan dengan waktu yang lebih lapang. Harus dicegah pembahasan revisi UU Pemilu dengan gegabah, karena daftar inventaris masalahnya begitu banyak, tapi waktu yang tersedia untuk hal itu misalnya hanya satu atau bahkan setengah tahun.
"Jelas, belajar dari pengalaman revisi UU KPK dan penetapan UU Omnibus Law, pembahasan UU yang serba cepat hanya akan menimbulkan dampak minimnya partisipasi masyarakat yang berujung pada makin jauhnya aspirasi masyarakat dalam revisi UU yang dimaksud," katanya.
Begitu juga dengan Pilkada Serentak 2024. Ray mengingatkan, harus benar-benar dipikirkan cara yang tepat bagaimana memastikan Pilkada 2024 terlaksana dengan mengurangi peristiwa yang terjadi pada Pemilu Serentak 2019 lalu. Kelelahan, ketidakcermatan, ketegangan berkelindan menjadi satu.
Ini baru satu pemilu serentak. Apalagi dalam skenario 2024 jeda antara Pilpres dengan Pilkada nyaris tidak ditemukan. Begitu pilpres selesai, tahapan pilkada dimulai. Bahkan jika pilpres berlanjut ke putaran kedua, ada kemungkinan pekerjaan yang saling menumpuk dalam satu waktu.
Karena itulah, menurut Ray pembahasan revisi UU Pemilu idealnya dimulai tahun ini yang secara berkala berlanjut pada tahun-tahun berikutnya sampai 2023. Dan, diharapkan setahun sebelum tahapan pemilu legislatif dan pilperea dimulai, semua pembahasan revisi UU pemilu berakhir. "Pelaksanaan pilkada serentak tahun 2022 dan 2023 disatukan dalam satu waktu pelaksanaan," papar mantan Aktivis 98 itu.
tulis komentar anda