Mentahnya RUU Pemilu
Kamis, 25 Februari 2021 - 10:43 WIB
Fadli Ramadhanil
Peneliti Hukum Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
Pernyataan Pratikno, Menteri Sekretaris Negara pada (16/2), mengonfirmasi bahwa penolakan atas perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memang kehendak Istana. Sikap pemerintah yang disampaikan oleh Mensetneg ini membulatkan narasi partai politik pendukung pemerintah yang beberapa waktu sebelumnya juga menyatakan menolak melanjutkan proses penyusunan revisi UU Pemilu. Paling tidak, ada dua poin yang disampaikan Pratikno mengenai alasan pemerintah enggan untuk melakukan revisi terhadap UU tersebut.
Pertama, pemerintah menganggap UU Nomor 7 Tahun 2017 masih dinilai sebagai ketentuan yang baik dan dapat terus dilaksanakan. Untuk aspek yang masih kurang dalam implementasi, akan dilengkapi dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Kedua, pelaksanaan pilkada serentak pada November 2024, sebagaimana diatur di dalam UU Pilkada belum pernah dilaksanakan. Menurut Mensetneg, tidak tepat mengubah pengaturan undang-undang yang sama sekali belum dilaksanakan.
Pernyataan Mensesneg tersebut sebetulnya belum menjawab banyak hal mendasar terkait dengan kebutuhan kerangka hukum pemilu di level undang-undang. Di bagian tertentu, penolakan terhadap pelaksanaan revisi UU dan UU Pilkada menunjukkan inkonsistensi pemerintah.
Beban Penyelenggara
Kerangka hukum yang terstruktur secara utuh dan sistematis adalah prasyarat penyelenggaraan pemilu dapat berjalan secara demokratis (International IDEA: 2002). Artinya, regulasi pemilu yang konsisten, tidak multitafsir, dan terhindari dari tumpang tindih adalah pekerjaan utama untuk mempersiapkan penyelenggaraan pemilu.
Jika melihat ketersediaan kerangka hukum yang ada sekarang, banyak hal yang mesti diperbaiki. Aspek utama yang perlu untuk ditinjau ulang adalah pelaksanaan pemilu lima jenis surat suara sekaligus. Pengalaman Pemilu 2019 sudah menunjukkan bahwa menyelenggarakan pemilu dengan lima jenis surat suara dalam satu hari terbukti memberikan beban yang sangat berat kepada penyelenggara pemilu. Data KPU menyebutkan, 894 orang anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) meninggal dunia, dan 5.172 mengalami sakit. Informasi ini tentu menjadi statistik yang valid bahwa beban penyelenggara pemilu sangatlah berat untuk kembali mengulang penyelenggaraan pemilu secara borongan. Tetapi, upaya untuk menjelaskan beratnya beban penyelenggara dengan pemilu lima jenis surat suara, tentu tidak hendak kembali memisahkan pemilu legislatif dengan pemilu presiden. Justru yang penting untuk ditata adalah, bagaimana jadwal penyelenggaraan pemilu nasional, memilih presiden, DPR, dan DPRD, tidak ditumpuk lagi secara bersamaan dengan pemilihan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Apalagi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55/PUU-XVII/2019 sudah mengelaborasi secara dalam bahwa pemilu lima kotak bukanlah satu-satunya pilihan dalam desain waktu penyelenggaran pemilu di Indonesia.
Untuk mengatasi beban penyelenggara yang sangat berat dan melelahkan inilah revisi terhadap UU Pemilu menjadi diperlukan. Artinya, persoalan beban penyelenggara pemilu yang sangat berat bukanlah tentang implementasi. Tetapi, soal format keserentakkan pemilu yang merupakan bagian dari sistem pemilu yang diatur di level UU Pemilu.
Peneliti Hukum Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
Pernyataan Pratikno, Menteri Sekretaris Negara pada (16/2), mengonfirmasi bahwa penolakan atas perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memang kehendak Istana. Sikap pemerintah yang disampaikan oleh Mensetneg ini membulatkan narasi partai politik pendukung pemerintah yang beberapa waktu sebelumnya juga menyatakan menolak melanjutkan proses penyusunan revisi UU Pemilu. Paling tidak, ada dua poin yang disampaikan Pratikno mengenai alasan pemerintah enggan untuk melakukan revisi terhadap UU tersebut.
Pertama, pemerintah menganggap UU Nomor 7 Tahun 2017 masih dinilai sebagai ketentuan yang baik dan dapat terus dilaksanakan. Untuk aspek yang masih kurang dalam implementasi, akan dilengkapi dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Kedua, pelaksanaan pilkada serentak pada November 2024, sebagaimana diatur di dalam UU Pilkada belum pernah dilaksanakan. Menurut Mensetneg, tidak tepat mengubah pengaturan undang-undang yang sama sekali belum dilaksanakan.
Pernyataan Mensesneg tersebut sebetulnya belum menjawab banyak hal mendasar terkait dengan kebutuhan kerangka hukum pemilu di level undang-undang. Di bagian tertentu, penolakan terhadap pelaksanaan revisi UU dan UU Pilkada menunjukkan inkonsistensi pemerintah.
Beban Penyelenggara
Kerangka hukum yang terstruktur secara utuh dan sistematis adalah prasyarat penyelenggaraan pemilu dapat berjalan secara demokratis (International IDEA: 2002). Artinya, regulasi pemilu yang konsisten, tidak multitafsir, dan terhindari dari tumpang tindih adalah pekerjaan utama untuk mempersiapkan penyelenggaraan pemilu.
Jika melihat ketersediaan kerangka hukum yang ada sekarang, banyak hal yang mesti diperbaiki. Aspek utama yang perlu untuk ditinjau ulang adalah pelaksanaan pemilu lima jenis surat suara sekaligus. Pengalaman Pemilu 2019 sudah menunjukkan bahwa menyelenggarakan pemilu dengan lima jenis surat suara dalam satu hari terbukti memberikan beban yang sangat berat kepada penyelenggara pemilu. Data KPU menyebutkan, 894 orang anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) meninggal dunia, dan 5.172 mengalami sakit. Informasi ini tentu menjadi statistik yang valid bahwa beban penyelenggara pemilu sangatlah berat untuk kembali mengulang penyelenggaraan pemilu secara borongan. Tetapi, upaya untuk menjelaskan beratnya beban penyelenggara dengan pemilu lima jenis surat suara, tentu tidak hendak kembali memisahkan pemilu legislatif dengan pemilu presiden. Justru yang penting untuk ditata adalah, bagaimana jadwal penyelenggaraan pemilu nasional, memilih presiden, DPR, dan DPRD, tidak ditumpuk lagi secara bersamaan dengan pemilihan DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Apalagi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55/PUU-XVII/2019 sudah mengelaborasi secara dalam bahwa pemilu lima kotak bukanlah satu-satunya pilihan dalam desain waktu penyelenggaran pemilu di Indonesia.
Untuk mengatasi beban penyelenggara yang sangat berat dan melelahkan inilah revisi terhadap UU Pemilu menjadi diperlukan. Artinya, persoalan beban penyelenggara pemilu yang sangat berat bukanlah tentang implementasi. Tetapi, soal format keserentakkan pemilu yang merupakan bagian dari sistem pemilu yang diatur di level UU Pemilu.
Lihat Juga :
tulis komentar anda