Pakar Hukum Tata Negara UNS Kritisi Perppu Pilkada

Senin, 18 Mei 2020 - 13:10 WIB
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Agus Riwanto menilai ada sejumlah risiko jika Pilkada Serentak 2020 tetap digelar tahun ini. Ilustrasi/SINDOnews
SOLO - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Agus Riwanto menilai ada sejumlah risiko jika Pemilihan Kepala Daerah ( Pilkada ) Serentak 2020 tetap digelar tahun ini. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2020 yang telah diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai justru akan menciptakan ketidakpastian penyelenggaraan pilkada serentak.

"Sebenarnya norma Perppu Nomor 2 Tahun 2020 hanya ada empat walaupun pasal yang diubah dan ditambah hanya ada tiga. Ini Perppu sangat singkat sekali. Pertama adalah pilkada lanjutan pada perubahan Pasal 120 karena bencana non-alam. Kedua, KPU tetapkan penundaan sesuai Pasal 122A di PKPU berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah. Ketiga, ubah jadwal pada Pasal 201A dari September ke Desember. Dan keempat adalah pilkada tunda lagi bila Desember tak terlaksana dengan persetujuan DPR dan pemerintah," ujar Agus Riwanto dalam keterangan tertulisnya, Senin (18/5/2020).

Sebagaimana diketahui, penyelenggaraan pilkada serentak tidak dapat dihelat sesuai jadwal. Pilkada yang akan digelar September tahun 2020, akhirnya diundur penyelenggaraannya menjadi Desember 2020. Keputusan mengundur jadwal penyelenggaraan Pilkada serentak melalui Perppu Nomor 2 Tahun 2020. Walaupun pemerintah sudah mengambil sikap untuk mengundur penyelenggaraan pilkada serentak akibat ketidakpastian kapan pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) akan berakhir, Agus menilai ada sejumlah risiko yang kemungkinan bisa muncul.



Hal tersebut disebabkan isi dari Pasal 201A ayat (3) yang menunda kembali penyelenggaraan pilkada serentak apabila pada Desember 2020 nanti pandemi Covid-19 masih berlangsung. "Nanti akan ada masalah ketatanegaraan bagaimana kok ada Perppu yang dibikin Perppu, Perppu baru dihapus oleh Perppu yang baru lagi. Mestinya pilkada dimulai saat diumumkannya Covid-19 berakhir supaya lebih aman. Dalam Perppu ini seharusnya juga ditambah jeda, KPU diberi waktu dua bulan setelah Covid-19 diumumkan berakhir," lanjutnya. ( ).

Kritikan lain yang disampaikan Agus Riwanto adalah soal penyelenggaraan pilkada serentak yang terkesan dipaksakan digelar pada tahun 2020. Hal tersebut ia sampaikan melihat bila pilkada serentak hanya digelar sebagai formalitas belaka untuk menjawab keajegan jabatan satu periode yang berlangsung selama 5 tahun bagi kepala daerah. Baginya, penyelenggaraan pilkada serentak tidak hanya ditekankan pada pergantian kepemimpinan politik di daerah. Namun, hal yang lebih penting dan harus menjadi perhatian adalah tingkat partisipasi publik.

Dalam dinamika penundaan pilkada serentak tahun 2020, dirinya melihat adanya peluang KPU sebagai penyelenggara pemilu untuk tidak independen. Hal tersebut diakibatkan oleh adanya campur tangan DPR dan pemerintah dalam pelaksanaan pilkada yang seharusnya menjadi tanggung jawab penuh KPU. "Baik tahapan maupun penundaannya KPU dalam Perppu ini diminta untuk berkonsultasi dengan DPR dan pemerintah. Karena ini produknya Perppu, Perppu itu kan setara dengan UU. Itu sebabnya, presiden tidak perlu mengatakan itu. Cukup mengatakan saja bahwa pilkada akan dilakukan oleh KPU. Itu cukup," terangnya.
(zik)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More