PDIP Bantah Ada Pasal Karet dalam UU ITE, Aparat Diminta Pakai Hati Nurani
Rabu, 17 Februari 2021 - 04:50 WIB
JAKARTA - Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDIP , Tubagus (TB) Hasanuddin angkat bicara soal keinginan pemerintah untuk merevisi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE ). Dia pun mengakui bahwa dalam UU ITE tersebut memang ada 2 pasal krusial yang sempat menjadi perdebatan.
“Sebenarnya UU ITE ini merupakan hasil revisi dengan memerhatikan masukan dari berbagai kalangan dan memang ada 2 pasal yang krusial yaitu Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2),” ujar mantan Anggota Panja RUU ITE itu dalam keterangannya, Selasa (16/2/2021).
Hasanuddin menjelaskan Pasal 27 ayat (3) adalah Pasal tentang penghinaan dan pencemaran nama baik. Ia pun mengakui bahwa pasal ini sempat menjadi perdebatan. Tapi, Pasal 27 ini sudah mengacu dan sesuai dengan Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada saat pembahasan kala itu. Begitu juga dengan Pasal 28 ayat (2) tentang menyiarkan kebencian pada orang atau kelompok orang cenderung SARA.
“Kedua pasal ini, Pasal 27 dan Pasal 28 harus dipahami oleh para penegak hukum agar tak salah dalam penerapannya. Apalagi pasal 27 itu sifatnya delik aduan, mereka yang merasa dirugikan dapat melapor dan pelapornya harus yang bersangkutan bukan orang lain,” tegasnya.
Lebih jauh, Legislator asal Jawa Barat ini menjelaskan dalam menerapkan Pasal 27 ayat (2) itu harus dibedakan antara kritik terhadap siapapun dengan ujaran kebencian dan penghinaan. Penegak hukum juga harus memahami betul secara sungguh-sungguh.
“Kalau dicampuradukkan antara kritik dan ujaran kebencian, maka saya rasa hukum di negara ini sudah tak sehat lagi,” tutur Hasanuddin.
Hasanuddin pun menggarisbawahi bahwa penerapan Pasal 28 ayat (3) UU ITE ini juga harus berhati-hati dan selektif karena sangat penting untuk menjaga keutuhan NKRI yang berkarakter Bhineka Tunggal Ika alias pluralisme.
“Multi tafsir atau penafsiran berbeda dapat diminimalisir dengan membuat pedoman tentang penafsiran hukum kedua pasal ini secara komprehensif,” tegasnya.
Oleh karena itu, Politikus PDIP membantah adanya anggapan pasal karet pada 2 pasal kontoversial itu. Menurutnya, tak ada pasal karet tapi bagaimana para penegak hukum memahaminya ditambah dengan menggunakan hati nurani.
Dapat dibayangkan bagaimana negeri ini akan kacau kalau bila rakyatnya dibebaskan saling menghujat, membuka aib dan saling mengungkapkan kebencian secara bebas dan vulgar. “Termasuk menyebarkan kebencian karena SARA, padahal negeri ini kan negeri yang berkarakter pluralisme yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945,” paparnya.
“Kedua pasal ini pernah dua kali diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk Judicial Review dan hasilnya tak ada masalah,” sambung Hasanuddin.
Namun demikian, dia mempersilakan bila memang UU ITE harus direvisi misalnya dengan membuat pedoman interpretasi resmi terhadap pasal-pasal dalam UU ITE. “Kami di DPR terbuka, bila memang harus direvisi mari bersama kita revisi demi rasa keadilan dan demi tetap utuh nya NKRI,” tandasnya.
“Sebenarnya UU ITE ini merupakan hasil revisi dengan memerhatikan masukan dari berbagai kalangan dan memang ada 2 pasal yang krusial yaitu Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2),” ujar mantan Anggota Panja RUU ITE itu dalam keterangannya, Selasa (16/2/2021).
Hasanuddin menjelaskan Pasal 27 ayat (3) adalah Pasal tentang penghinaan dan pencemaran nama baik. Ia pun mengakui bahwa pasal ini sempat menjadi perdebatan. Tapi, Pasal 27 ini sudah mengacu dan sesuai dengan Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada saat pembahasan kala itu. Begitu juga dengan Pasal 28 ayat (2) tentang menyiarkan kebencian pada orang atau kelompok orang cenderung SARA.
“Kedua pasal ini, Pasal 27 dan Pasal 28 harus dipahami oleh para penegak hukum agar tak salah dalam penerapannya. Apalagi pasal 27 itu sifatnya delik aduan, mereka yang merasa dirugikan dapat melapor dan pelapornya harus yang bersangkutan bukan orang lain,” tegasnya.
Lebih jauh, Legislator asal Jawa Barat ini menjelaskan dalam menerapkan Pasal 27 ayat (2) itu harus dibedakan antara kritik terhadap siapapun dengan ujaran kebencian dan penghinaan. Penegak hukum juga harus memahami betul secara sungguh-sungguh.
“Kalau dicampuradukkan antara kritik dan ujaran kebencian, maka saya rasa hukum di negara ini sudah tak sehat lagi,” tutur Hasanuddin.
Hasanuddin pun menggarisbawahi bahwa penerapan Pasal 28 ayat (3) UU ITE ini juga harus berhati-hati dan selektif karena sangat penting untuk menjaga keutuhan NKRI yang berkarakter Bhineka Tunggal Ika alias pluralisme.
“Multi tafsir atau penafsiran berbeda dapat diminimalisir dengan membuat pedoman tentang penafsiran hukum kedua pasal ini secara komprehensif,” tegasnya.
Oleh karena itu, Politikus PDIP membantah adanya anggapan pasal karet pada 2 pasal kontoversial itu. Menurutnya, tak ada pasal karet tapi bagaimana para penegak hukum memahaminya ditambah dengan menggunakan hati nurani.
Dapat dibayangkan bagaimana negeri ini akan kacau kalau bila rakyatnya dibebaskan saling menghujat, membuka aib dan saling mengungkapkan kebencian secara bebas dan vulgar. “Termasuk menyebarkan kebencian karena SARA, padahal negeri ini kan negeri yang berkarakter pluralisme yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945,” paparnya.
“Kedua pasal ini pernah dua kali diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk Judicial Review dan hasilnya tak ada masalah,” sambung Hasanuddin.
Namun demikian, dia mempersilakan bila memang UU ITE harus direvisi misalnya dengan membuat pedoman interpretasi resmi terhadap pasal-pasal dalam UU ITE. “Kami di DPR terbuka, bila memang harus direvisi mari bersama kita revisi demi rasa keadilan dan demi tetap utuh nya NKRI,” tandasnya.
(kri)
Lihat Juga :
tulis komentar anda