Penjelasan BMKG Soal Puncak Musim Hujan dan Potensi Bencana
Sabtu, 13 Februari 2021 - 22:03 WIB
JAKARTA - Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengatakan, berdasarkan data sejak tahun 1900 serta monitoring iklim oleh BMKG selama lebih dari 70 tahun, perubahan Iklim Global adalah nyata dan berdampak pada peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian ekstrem, baik berupa kejadian cuaca atau hujan ekstrem, iklim ekstrem, ataupun kejadian anomali iklim global seperti La Nina dan El Nino
(Baca juga: Bencana Hidrometeorologi Mengintai, BPBD KBB Minimalisasi Korban Jiwa)
Ia juga menjelaskan, pada Tahun 2020 yang lalu merupakan tahun terpanas kedua di sepanjang sejarah, setelah tahun 2016 (anomali +0,80 derajat Celcius), mengungguli tahun 2019 (anomali +0,60 derajat Celcius).
"Kondisi ini mirip dengan perubahan suhu global sebagaimana dilaporkan World Meteorological Organization (WMO) pada awal Desember 2020," ujar Dwikorita.
(Baca juga: Dampingi Wapres Tinjau Korban Banjir, Wagub: Tambang Liar Penyebab Bencana)
Selanjutnya Herizal, Deputi Klimatologi BMKG, menjelaskan bahwa BMKG mencatat perubahan iklim jangka panjang telah terjadi di Indonesia dengan beberapa indikator sebagai berikut:
Tren konsentrasi gas rumah kaca (GRK) yang diukur di udara bersih (_background_) Indonesia pada Stasiun Pemantau Atmosfer Global (_Global Atmosphere Watch-GAW_) BMKG Bukit Kototabang, menunjukan laju peningkatan konsentrasi karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O), dan sulfur heksafluorida (SF6) berturut-turut sebagai berikut:
1,6 ppm/tahun, 0,089 ppm/tahun, 0,012 ppm/tahun, dan 0,000004 ppm/tahun. Hasil pengukuran CO2 pada Stasiun GAW BMKG Bukit Kototabang menunjukkan tren peningkatan CO2 yang sama dengan Stasiun GAW lainnya di dunia, seperti di Mauna Loa, Hawaii dan Baring Head, Selandia Baru. Awal pengukuran GRK background di Indonesia, pada tahun 2004, konsentrasi CO2 di Stasiun GAW BMKG Bukit Kototabang adalah 372 ppm (baseline), selanjutnya hasil pengukuran pada akhir bulan Oktober 2020, konsentrasi CO2 di GAW Bukit Kototabang telah meningkat menjadi 408 ppm, sementara rerata global adalah 415 ppm.
(Baca juga: 3 Mobil Mewah Kemensos Bakal Dilelang Risma, Hasilnya Buat Korban Bencana Alam)
(Baca juga: Bencana Hidrometeorologi Mengintai, BPBD KBB Minimalisasi Korban Jiwa)
Ia juga menjelaskan, pada Tahun 2020 yang lalu merupakan tahun terpanas kedua di sepanjang sejarah, setelah tahun 2016 (anomali +0,80 derajat Celcius), mengungguli tahun 2019 (anomali +0,60 derajat Celcius).
"Kondisi ini mirip dengan perubahan suhu global sebagaimana dilaporkan World Meteorological Organization (WMO) pada awal Desember 2020," ujar Dwikorita.
(Baca juga: Dampingi Wapres Tinjau Korban Banjir, Wagub: Tambang Liar Penyebab Bencana)
Selanjutnya Herizal, Deputi Klimatologi BMKG, menjelaskan bahwa BMKG mencatat perubahan iklim jangka panjang telah terjadi di Indonesia dengan beberapa indikator sebagai berikut:
Tren konsentrasi gas rumah kaca (GRK) yang diukur di udara bersih (_background_) Indonesia pada Stasiun Pemantau Atmosfer Global (_Global Atmosphere Watch-GAW_) BMKG Bukit Kototabang, menunjukan laju peningkatan konsentrasi karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrous oksida (N2O), dan sulfur heksafluorida (SF6) berturut-turut sebagai berikut:
1,6 ppm/tahun, 0,089 ppm/tahun, 0,012 ppm/tahun, dan 0,000004 ppm/tahun. Hasil pengukuran CO2 pada Stasiun GAW BMKG Bukit Kototabang menunjukkan tren peningkatan CO2 yang sama dengan Stasiun GAW lainnya di dunia, seperti di Mauna Loa, Hawaii dan Baring Head, Selandia Baru. Awal pengukuran GRK background di Indonesia, pada tahun 2004, konsentrasi CO2 di Stasiun GAW BMKG Bukit Kototabang adalah 372 ppm (baseline), selanjutnya hasil pengukuran pada akhir bulan Oktober 2020, konsentrasi CO2 di GAW Bukit Kototabang telah meningkat menjadi 408 ppm, sementara rerata global adalah 415 ppm.
(Baca juga: 3 Mobil Mewah Kemensos Bakal Dilelang Risma, Hasilnya Buat Korban Bencana Alam)
tulis komentar anda