Pemilih 9 Parpol di DPR Inginkan Pilkada 2022-2023
Senin, 08 Februari 2021 - 16:09 WIB
JAKARTA - Indikator Politik Indonesia (IPI) menemukan mayoritas publik menginginkan jadwal pemlihan kepala daerah (pilkada) serentak dinormalkan kembali ke tahun 2022 dan 2023. Hal ini disampaikan dalam rilis survei publik yang bertajuk “Aspirasi Publik Terkait Undang-Undang Pemilu dan Pilkada” secara daring, Senin (8/2) hari ini.
“Secara lebih spesifik mayoritas publik menginginkan Pilkada 2022 (54,8%) dan 2023 (53,7%) ketika kepala daerah terkait selesai masa tugasnya, dan tidak setuju diganti PLT (pelaksana tugas kepala daerah) yang ditunjuk oleh pemerintah pusat,” kata Direktur Eksekutif IPI, Burhanuddin Muhtadi dalam pemaparannya.
(Baca: Beban Terlalu Berat, Publik Ingin Pilkada dan Pilpres 2024 Tak Serentak)
Secara umum, Burhan menjelaskan, 54,8% warga menginginkan agar Pilkada dilakukan pada 2022 untuk daerah yang kepala daerahnya habis pada 2022. Ada 31,5% publik yang berpendapat agar pilkada yang semestinya dilaksanakan di 2022 ikut diserentakan di 2024.
Serupa, 53,7% mengingkan agar Pilkada diadakan pada 2023 yang kepala daerahnya habis masa jabatannya pada 2023. “Hanya 32,4 persen publik yang ingin pilkada 2023 diundur ke 2024. 14,0 persen tidak menjawab,” urainya.
Berdasarkan basis suara partai di 2019, sambung Burhan, mayoritas pemilih semua partai juga ingin ada pilkada 2022 dan 2023. Dia menguraikan, dari 9,7% basis suara PKB 63,8% ingin 2022, 12,6% basis Gerindra 55,7% ingin Pilkada 2022, 19,3% basis PDIP 56,1% ingin pilkada 2022, 12,3% basis Golkar 61,4% ingin 2022.
Begitu juga dengan Nasdem, PKS, PPP, PAN dan Demokrat yang 58,3-71,4% inginkan Pilkada di 2022. “Sama halnya dengan Pilkada 2023. Mayoritas pemilih semua partai di 2019 ingin ada Pilkada 2023. Dari basis suara 9 partai di 2019, 52,7 persen sampai 72,3 persen inginkan pilkada di 2023,” urainya.
(Baca: Takut Tersingkir Jadi Alasan Partai Besar dan Kecil Tolak RUU Pemilu)
Survei dilakukan 1-3 Februari 2021 dengan biaya CSR Indikator. Responden dipilih secara acak dari kumpulan sampel survei tatap muka langsung Indikator Politik Indonesia pada Maret 2018-Maret 2020 yakni, 206.983 responden. Jumlah sampel yang dipilih secara acak untuk ditelepon sebanyak 7.604 data, dan yang berhasil diwawancara sebesar 1.200 responden.
Dengan simple random sampling, survei ini memiliki margin of error (toleransi kesalahan) -+ 2,9% dan tingkat kepercayaan 95%. Sampel diambil dari seluruh provinsi, semakin banyak jumlah pemilih di provinsi semakin banyak sampel dengan memperhatikan kondisi demografi.
“Secara lebih spesifik mayoritas publik menginginkan Pilkada 2022 (54,8%) dan 2023 (53,7%) ketika kepala daerah terkait selesai masa tugasnya, dan tidak setuju diganti PLT (pelaksana tugas kepala daerah) yang ditunjuk oleh pemerintah pusat,” kata Direktur Eksekutif IPI, Burhanuddin Muhtadi dalam pemaparannya.
(Baca: Beban Terlalu Berat, Publik Ingin Pilkada dan Pilpres 2024 Tak Serentak)
Secara umum, Burhan menjelaskan, 54,8% warga menginginkan agar Pilkada dilakukan pada 2022 untuk daerah yang kepala daerahnya habis pada 2022. Ada 31,5% publik yang berpendapat agar pilkada yang semestinya dilaksanakan di 2022 ikut diserentakan di 2024.
Serupa, 53,7% mengingkan agar Pilkada diadakan pada 2023 yang kepala daerahnya habis masa jabatannya pada 2023. “Hanya 32,4 persen publik yang ingin pilkada 2023 diundur ke 2024. 14,0 persen tidak menjawab,” urainya.
Berdasarkan basis suara partai di 2019, sambung Burhan, mayoritas pemilih semua partai juga ingin ada pilkada 2022 dan 2023. Dia menguraikan, dari 9,7% basis suara PKB 63,8% ingin 2022, 12,6% basis Gerindra 55,7% ingin Pilkada 2022, 19,3% basis PDIP 56,1% ingin pilkada 2022, 12,3% basis Golkar 61,4% ingin 2022.
Begitu juga dengan Nasdem, PKS, PPP, PAN dan Demokrat yang 58,3-71,4% inginkan Pilkada di 2022. “Sama halnya dengan Pilkada 2023. Mayoritas pemilih semua partai di 2019 ingin ada Pilkada 2023. Dari basis suara 9 partai di 2019, 52,7 persen sampai 72,3 persen inginkan pilkada di 2023,” urainya.
(Baca: Takut Tersingkir Jadi Alasan Partai Besar dan Kecil Tolak RUU Pemilu)
Survei dilakukan 1-3 Februari 2021 dengan biaya CSR Indikator. Responden dipilih secara acak dari kumpulan sampel survei tatap muka langsung Indikator Politik Indonesia pada Maret 2018-Maret 2020 yakni, 206.983 responden. Jumlah sampel yang dipilih secara acak untuk ditelepon sebanyak 7.604 data, dan yang berhasil diwawancara sebesar 1.200 responden.
Dengan simple random sampling, survei ini memiliki margin of error (toleransi kesalahan) -+ 2,9% dan tingkat kepercayaan 95%. Sampel diambil dari seluruh provinsi, semakin banyak jumlah pemilih di provinsi semakin banyak sampel dengan memperhatikan kondisi demografi.
(muh)
tulis komentar anda