Stunting Tinggi, Hasto Kritik Kebiasaan Prewedding tapi Tak Pikirkan Kesehatan Pranikah
Sabtu, 06 Februari 2021 - 00:34 WIB
JAKARTA - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional ( BKKBN ) Hasto Wardoyo mengingatkan pentingnya menyiapkan kesehatan yang prima sebelum melangkah ke jenjang pernikahan .
Hasto mengkritik kebiasaan masyarakat yang memilih mengeluarkan biaya hingga puluhan juta untuk sekadar melakukan prewedding, tapi tidak memikirkan hal yang lebih mendesak yakni prakonsepsi.
"Kritik saya orang melakukan prewedding habis banyak, Rp20 juta sampai ratusan juta, tapi prakonsepsi tidak pernah dipikirkan. Konsepsi itu adalah bertemunya sel telur dengan sperma. Itu tak pernah dipikirkan," katanya, Jumat (5/2/2021).
Menurutnya, di sejumlah negara maju, para calon pengantin menjadikan prakonsepsi sebagai prioritas sebelum menuju ke jenjang pelaminan. "Prakonsepsi itu sangat murah, hanya minum asam folat, periksa hb (hemoglobin), minum tablet tambah darah gratis kalau di Puskesmas, itu nggak habis Rp20.000. BPJS malah nggak bayar. Suami hanya perlu mengurangi rokoknya, kemudian suami minum zinc supaya spermanya bagus, itu prakonsepsi," paparnya.
Hasto menegaskan, langkah ini sangat perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya stunting atau tumbuh kembang anak kerdil. Menurutnya, banyak kesalahpahaman pemikiran (mindset) di tengah masyarakat yang perlu diluruskan. Dia mencontohkan, perempuan yang ingin tampil langsing dengan melakukan diet ketat, sehingga membuat kondisi kesehatan justru tidak menjadi prima.
"Mindset ini penting untuk ditata. Kita juga banyak yang sok tahu, tapi tak tahu. Misalnya ingin langsing, sok tahu, ingin langsing, diet ketat, padahal perempuan itukan menstruasi setiap bulan, bleeding (perdarahan) 100-200 cc. Kalau dia kekurangan nutrisi, anaknya bisa stunting, kan repot. Nah itulah makanya kita harus berjuang keras disitu," katanya.
Untuk diketahui, pemerintah menargetkan tingkat prevalensi stunting di Indonesia bisa turun menjadi 14% pada 2024. Pada 2019, tingkat prevalensinya sudah mencapai 27,9%, menurun dari 37% pada 2013. Namun, tren penurunan itu dinilai belum cukup.
Presiden Joko Widodo telah menunjuk BKKBN sebagai badan yang bertanggung jawab dan mengetuai pelaksanaan percepatan penurunan angka stunting di Indonesia.
Menurut Hasto Wardoyo mengatakan, secara umum harus ada perubahan mendasar atau reformasi di tingkat pelayanan dasar terkait dengan kesehatan reproduksi.
"Stunting itu adalah produk yang dihasilkan dari kehamilan. Ibu hamil yang menghasilkan bayi stunting. Kita tahu sekarang ini lahir saja sudah 23% prevalensi stunting. Kemudian setelah lahir, banyak yang lahirnya normal tapi kemudian jadi stunting hingga angkanya menjadi 27,6%. Artinya dari angka itu hampir 23% sudah given, lahirnya sudah tidak sesuai standar," katanya.
Hasto mengkritik kebiasaan masyarakat yang memilih mengeluarkan biaya hingga puluhan juta untuk sekadar melakukan prewedding, tapi tidak memikirkan hal yang lebih mendesak yakni prakonsepsi.
"Kritik saya orang melakukan prewedding habis banyak, Rp20 juta sampai ratusan juta, tapi prakonsepsi tidak pernah dipikirkan. Konsepsi itu adalah bertemunya sel telur dengan sperma. Itu tak pernah dipikirkan," katanya, Jumat (5/2/2021).
Baca Juga
Menurutnya, di sejumlah negara maju, para calon pengantin menjadikan prakonsepsi sebagai prioritas sebelum menuju ke jenjang pelaminan. "Prakonsepsi itu sangat murah, hanya minum asam folat, periksa hb (hemoglobin), minum tablet tambah darah gratis kalau di Puskesmas, itu nggak habis Rp20.000. BPJS malah nggak bayar. Suami hanya perlu mengurangi rokoknya, kemudian suami minum zinc supaya spermanya bagus, itu prakonsepsi," paparnya.
Hasto menegaskan, langkah ini sangat perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya stunting atau tumbuh kembang anak kerdil. Menurutnya, banyak kesalahpahaman pemikiran (mindset) di tengah masyarakat yang perlu diluruskan. Dia mencontohkan, perempuan yang ingin tampil langsing dengan melakukan diet ketat, sehingga membuat kondisi kesehatan justru tidak menjadi prima.
"Mindset ini penting untuk ditata. Kita juga banyak yang sok tahu, tapi tak tahu. Misalnya ingin langsing, sok tahu, ingin langsing, diet ketat, padahal perempuan itukan menstruasi setiap bulan, bleeding (perdarahan) 100-200 cc. Kalau dia kekurangan nutrisi, anaknya bisa stunting, kan repot. Nah itulah makanya kita harus berjuang keras disitu," katanya.
Untuk diketahui, pemerintah menargetkan tingkat prevalensi stunting di Indonesia bisa turun menjadi 14% pada 2024. Pada 2019, tingkat prevalensinya sudah mencapai 27,9%, menurun dari 37% pada 2013. Namun, tren penurunan itu dinilai belum cukup.
Presiden Joko Widodo telah menunjuk BKKBN sebagai badan yang bertanggung jawab dan mengetuai pelaksanaan percepatan penurunan angka stunting di Indonesia.
Menurut Hasto Wardoyo mengatakan, secara umum harus ada perubahan mendasar atau reformasi di tingkat pelayanan dasar terkait dengan kesehatan reproduksi.
"Stunting itu adalah produk yang dihasilkan dari kehamilan. Ibu hamil yang menghasilkan bayi stunting. Kita tahu sekarang ini lahir saja sudah 23% prevalensi stunting. Kemudian setelah lahir, banyak yang lahirnya normal tapi kemudian jadi stunting hingga angkanya menjadi 27,6%. Artinya dari angka itu hampir 23% sudah given, lahirnya sudah tidak sesuai standar," katanya.
(abd)
tulis komentar anda