Otto Hasibuan: Penetapan DPO Sjamsul Nursalim oleh KPK Bertentangan Hukum
Minggu, 24 Januari 2021 - 06:08 WIB
JAKARTA - Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membentuk satuan tugas (Satgas) khusus untuk memburu tersangka yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) KPK dinilai tepat untuk penegakan hukum. Namun, ada beberapa nama DPO yang bertentangan dengan hukum dan melawan keputusan Mahkamah Agung.
Pengacara senior Otto Hasibuan mempertanyakan masuknya nama Sjamsul Nursalim (SN) dan istrinya, Itjih Nursalim (IN). Menurutnya, berdasarkan fakta-fakta yang ada, SN dan IN seharusnya sudah tidak berstatus DPO. Sebab, kasus mereka berasal dan dikaitkan dengan kasus Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) yang telah dibebaskan Mahkamah Agung (MA) pada 2019.
“Status SN dan IN sebagai tersangka demi hukum telah gugur sejak SAT dibebaskan MA pada 2019 karena kasus mereka bukanlah kasus yang berdiri sendiri. Mereka diduga turut serta melakukan tindak pidana bersama-sama SAT. Dengan MA membebaskan SAT berdasarkan pertimbangan bahwa perbuatan SAT bukan merupakan tindak pidana, maka perbuatan yang diduga dilakukan SN dan IN bersama-sama SAT dengan sendirinya juga bukan perbuatan pidana. Logika hukumnya kan begitu. Jadi kalau SN dan IN disebut masih berstatus DPO, hal itu adalah bertentangan dengan hukum,” kata Otto melalui siaran tertulisnya, Minggu (24/1/2020).
Otto Hasibuan menjelaskan KPK sama sekali tidak memiliki dasar hukum untuk menjadikan SN dan IN sebagai tersangka sehingga SN tidak dapat dimasukkan dalam DPO. Bila KPK tetap memasukkan SN dan IN dalam DPO, KPK dalam hal ini tidak mengindahkan dan bahkan tidak menghormati putusan MA. Menurutnya, dalam kondisi krisis saat ini, khususnya bagi kalangan dunia usaha, sangat membutuhkan adanya kepastian hukum.
“Di mana kepastian hukum bagi SN dan IN bila mereka tetap dijadikan sebagai tersangka, sedangkan dasar hukum penetapan dirinya sebagai tersangka sudah gugur dengan dibebaskannya SAT oleh MA? Ketiadaan kepastiaan hukum seperti ini sangat merusak kepercayaan nasional maupun internasional terhadap penegakan hukum di Indonesia,” kata Otto.
Otto mengungkapkan putusan MA yang membebaskan SAT juga mempertimbangkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Badan Pemeriksa Keuangan tahun 2017 (LHP BPK 2017) yang bertentangan dengan hasil audit BPK 2002 dan 2006. “LHP BPK 2017 menilai adanya kerugian negara, namun menurut MA, LHP BPK 2017 tersebut tidak sesuai dengan standar pemeriksaan audit yang diatur dalam Peraturan BPK No. 1 tahun 2017, karena tidak diuji dengan Laporan Hasil pemeriksaan BPK 2002 dan 2006. Hasil audit BPK 2002 dan 2006 tidak menyatakan adanya kerugian negara, bahkan laporan audit BPK 2006 menyatakan SKL layak diberikan kepada SN karena sudah memenuhi kewajibannya” Ungkap Otto
Karena adanya perbedaan itu, MA dalam pertimbangannya menyatakan bahwa kerugian yang didalilkan Jaksa Penuntut KPK bersifat in dubio pro reo, dalam hal timbul keraguan atau ketidakjelasan dalam menentukan suatu kejadian, maka harus diputus dengan menguntungkan terdakwa.
Pengacara senior Otto Hasibuan mempertanyakan masuknya nama Sjamsul Nursalim (SN) dan istrinya, Itjih Nursalim (IN). Menurutnya, berdasarkan fakta-fakta yang ada, SN dan IN seharusnya sudah tidak berstatus DPO. Sebab, kasus mereka berasal dan dikaitkan dengan kasus Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) yang telah dibebaskan Mahkamah Agung (MA) pada 2019.
“Status SN dan IN sebagai tersangka demi hukum telah gugur sejak SAT dibebaskan MA pada 2019 karena kasus mereka bukanlah kasus yang berdiri sendiri. Mereka diduga turut serta melakukan tindak pidana bersama-sama SAT. Dengan MA membebaskan SAT berdasarkan pertimbangan bahwa perbuatan SAT bukan merupakan tindak pidana, maka perbuatan yang diduga dilakukan SN dan IN bersama-sama SAT dengan sendirinya juga bukan perbuatan pidana. Logika hukumnya kan begitu. Jadi kalau SN dan IN disebut masih berstatus DPO, hal itu adalah bertentangan dengan hukum,” kata Otto melalui siaran tertulisnya, Minggu (24/1/2020).
Otto Hasibuan menjelaskan KPK sama sekali tidak memiliki dasar hukum untuk menjadikan SN dan IN sebagai tersangka sehingga SN tidak dapat dimasukkan dalam DPO. Bila KPK tetap memasukkan SN dan IN dalam DPO, KPK dalam hal ini tidak mengindahkan dan bahkan tidak menghormati putusan MA. Menurutnya, dalam kondisi krisis saat ini, khususnya bagi kalangan dunia usaha, sangat membutuhkan adanya kepastian hukum.
“Di mana kepastian hukum bagi SN dan IN bila mereka tetap dijadikan sebagai tersangka, sedangkan dasar hukum penetapan dirinya sebagai tersangka sudah gugur dengan dibebaskannya SAT oleh MA? Ketiadaan kepastiaan hukum seperti ini sangat merusak kepercayaan nasional maupun internasional terhadap penegakan hukum di Indonesia,” kata Otto.
Otto mengungkapkan putusan MA yang membebaskan SAT juga mempertimbangkan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Badan Pemeriksa Keuangan tahun 2017 (LHP BPK 2017) yang bertentangan dengan hasil audit BPK 2002 dan 2006. “LHP BPK 2017 menilai adanya kerugian negara, namun menurut MA, LHP BPK 2017 tersebut tidak sesuai dengan standar pemeriksaan audit yang diatur dalam Peraturan BPK No. 1 tahun 2017, karena tidak diuji dengan Laporan Hasil pemeriksaan BPK 2002 dan 2006. Hasil audit BPK 2002 dan 2006 tidak menyatakan adanya kerugian negara, bahkan laporan audit BPK 2006 menyatakan SKL layak diberikan kepada SN karena sudah memenuhi kewajibannya” Ungkap Otto
Karena adanya perbedaan itu, MA dalam pertimbangannya menyatakan bahwa kerugian yang didalilkan Jaksa Penuntut KPK bersifat in dubio pro reo, dalam hal timbul keraguan atau ketidakjelasan dalam menentukan suatu kejadian, maka harus diputus dengan menguntungkan terdakwa.
(cip)
tulis komentar anda