LPSK Inisiasi Penerbitan Perpres Perlindungan Justice Collaborator
Jum'at, 15 Januari 2021 - 16:06 WIB
JAKARTA - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPKS) menginisiasi penerbitan peraturan presiden (Perpres) perlindungan bagi saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum (justice collaborator).
Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo menyatakan, pihaknya terus berupaya dan bekerja secara maksimal guna menjalankan amanah pemberian perlindungan bagi saksi dan korban tindak pidana sepanjang 2020 meskipun menghadapi sejumlah tantangan utama. (Baca juga: 6 Saksi Kasus Penembakan Anggota FPI Minta Perlindungan LPSK)
Tantangan utama tersebut di antaranya anggaran LPSK terbatas yang hanya Rp54,6 miliar pada 2020, pandemi Covid-19 di mana terjadi pemotongan atau refocusing anggaran meski terbatas, sumber daya manusia di mana status pegawai yang 44,7% adalah pegawai kontrak dan beban kerja, hingga masih cukup banyak penegak hukum yang belum memahami hak saksi dan korban yang berdampak pada kerja-kerja LPSK utamanya terjadi di daerah. (Baca juga: LPSK Lindungi 3.867 Korban Kasus Dugaan Pelanggaran HAM)
Hasto membeberkan, untuk program perlindungan yang dijalankan LPSK tentu fokus pada kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) dan kejahatan kemanusiaan. Satu di antaranya adalah perlindungan terhadap saksi dan pelapor kasus dugaan korupsi. Sejak 2020, ujar dia, LPSK telah menginisiasi dan mendorong penerbitan peraturan presiden terkait Justice Collaborator (JC) atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum.
"Dengan tujuan memperjelas pengaturan tentang justice collaborator agar kesepahaman dan kolaborasi antara LPSK dan penegak hukum untuk mengungkap kejahatan terorganisir makin terwujud. Saat ini peraturan presiden dimaksud dalam tahap pembahasan Panitia Antar Kementerian di Kementerian Hukum dan HAM," tegas Hasto saat acara "Refleksi Awal Tahun 2021, Laporan Kinerja 2020" yang diselenggarakan secara fisik dan virtual, di Gedung DPD, Jakarta, Jumat (15/1/2021).
Refleksi ini mengangkat tajuk "Separuh Nafas Perlindungan Saksi dan Korban di Tengah Pandemi: LPSK Menolak Menyerah". Acara dihadiri juga empat pembicara dan perempuan korban kejahatan seksual yang dilindungi LPSK berinisial TW.
Empat pembicara yakni pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Chairul Huda, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Abraham Todo Napitupulu, Direktur Hukum dan Regulasi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) Prahesti Pandanwangi, dan anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Arteria Dahlan.
Hasto melanjutkan, harus diakui pada 2020 angka permohonan saksi dan pelapor kasus korupsi yang ditangani LPSK jauh menurun dari sebelumnya. Penurunan ini menjadi catatan penting bagi LPSK. Pasalnya kata dia, berdirinya LPSK salah satu fondasinya adalah perlindungan terhadap saksi korupsi. "Saksi atau pelapor kasus korupsi rentan mendapatkan intimidasi seperti pengucilan atau tekanan psikologis, serangan balik atau laporan balik, ancaman jiwa, termasuk juga ancaman terhadap pekerjaan," paparnya.
Dia membeberkan, untuk perlindungan saksi dan pelapor duagan korupsi maka LPSK terus melakukan koordinasi dan sinergi dengan para penegak hukum mulai dari Kejaksaan, Polri, hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Musababnya sampai saat ini, ujar dia, masih ada ketidaksepahaman ihwal pemberian JC.
Di antaranya, kata Hasto, berdasarkan UU Perlindungan Saksi dan Korban jelas bahwa untuk pemberian JC harus ada rekomendasi dari LPSK. Di sisi lain, ujar Hasto, ada beberapa rekomendasi JC terhadap terdakwa yang diberikan LPSK ke Penuntut Umum tetapi tidak dimasukkan ke dalam surat tuntutan. Padahal berdasarkan UU Perlindungan Saksi dan Korban rekomendasi JC dari LPSK harus dimasukkan Penuntut Umum ke dalam surat tuntutan. "Koordinasi dan sinergi dengan penegak hukum akan terus kami lakukan, termasuk KPK untuk JC tersebut sampai juga pemberian perlindungan bagi mereka," ucap Hasto.
Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo menyatakan, pihaknya terus berupaya dan bekerja secara maksimal guna menjalankan amanah pemberian perlindungan bagi saksi dan korban tindak pidana sepanjang 2020 meskipun menghadapi sejumlah tantangan utama. (Baca juga: 6 Saksi Kasus Penembakan Anggota FPI Minta Perlindungan LPSK)
Tantangan utama tersebut di antaranya anggaran LPSK terbatas yang hanya Rp54,6 miliar pada 2020, pandemi Covid-19 di mana terjadi pemotongan atau refocusing anggaran meski terbatas, sumber daya manusia di mana status pegawai yang 44,7% adalah pegawai kontrak dan beban kerja, hingga masih cukup banyak penegak hukum yang belum memahami hak saksi dan korban yang berdampak pada kerja-kerja LPSK utamanya terjadi di daerah. (Baca juga: LPSK Lindungi 3.867 Korban Kasus Dugaan Pelanggaran HAM)
Hasto membeberkan, untuk program perlindungan yang dijalankan LPSK tentu fokus pada kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) dan kejahatan kemanusiaan. Satu di antaranya adalah perlindungan terhadap saksi dan pelapor kasus dugaan korupsi. Sejak 2020, ujar dia, LPSK telah menginisiasi dan mendorong penerbitan peraturan presiden terkait Justice Collaborator (JC) atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum.
"Dengan tujuan memperjelas pengaturan tentang justice collaborator agar kesepahaman dan kolaborasi antara LPSK dan penegak hukum untuk mengungkap kejahatan terorganisir makin terwujud. Saat ini peraturan presiden dimaksud dalam tahap pembahasan Panitia Antar Kementerian di Kementerian Hukum dan HAM," tegas Hasto saat acara "Refleksi Awal Tahun 2021, Laporan Kinerja 2020" yang diselenggarakan secara fisik dan virtual, di Gedung DPD, Jakarta, Jumat (15/1/2021).
Refleksi ini mengangkat tajuk "Separuh Nafas Perlindungan Saksi dan Korban di Tengah Pandemi: LPSK Menolak Menyerah". Acara dihadiri juga empat pembicara dan perempuan korban kejahatan seksual yang dilindungi LPSK berinisial TW.
Empat pembicara yakni pakar hukum pidana Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Chairul Huda, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Abraham Todo Napitupulu, Direktur Hukum dan Regulasi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) Prahesti Pandanwangi, dan anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP Arteria Dahlan.
Hasto melanjutkan, harus diakui pada 2020 angka permohonan saksi dan pelapor kasus korupsi yang ditangani LPSK jauh menurun dari sebelumnya. Penurunan ini menjadi catatan penting bagi LPSK. Pasalnya kata dia, berdirinya LPSK salah satu fondasinya adalah perlindungan terhadap saksi korupsi. "Saksi atau pelapor kasus korupsi rentan mendapatkan intimidasi seperti pengucilan atau tekanan psikologis, serangan balik atau laporan balik, ancaman jiwa, termasuk juga ancaman terhadap pekerjaan," paparnya.
Dia membeberkan, untuk perlindungan saksi dan pelapor duagan korupsi maka LPSK terus melakukan koordinasi dan sinergi dengan para penegak hukum mulai dari Kejaksaan, Polri, hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Musababnya sampai saat ini, ujar dia, masih ada ketidaksepahaman ihwal pemberian JC.
Di antaranya, kata Hasto, berdasarkan UU Perlindungan Saksi dan Korban jelas bahwa untuk pemberian JC harus ada rekomendasi dari LPSK. Di sisi lain, ujar Hasto, ada beberapa rekomendasi JC terhadap terdakwa yang diberikan LPSK ke Penuntut Umum tetapi tidak dimasukkan ke dalam surat tuntutan. Padahal berdasarkan UU Perlindungan Saksi dan Korban rekomendasi JC dari LPSK harus dimasukkan Penuntut Umum ke dalam surat tuntutan. "Koordinasi dan sinergi dengan penegak hukum akan terus kami lakukan, termasuk KPK untuk JC tersebut sampai juga pemberian perlindungan bagi mereka," ucap Hasto.
(cip)
Lihat Juga :
tulis komentar anda