Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Abaikan Etika Bernegara dan Kado Pahit Amanat Reformasi
Jum'at, 15 Mei 2020 - 07:30 WIB
JAKARTA - Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti mengatakan, dalam banyak aspek keputusan pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan kembali ini dianggap melanggar etik bernegara, membuat ketidakpastian sistem hukum dan menimbulkan ketidakpatuhan pada putusan hukum. Kemudian, dengan sendirinya menumbuhkan rasa tidak hormat publik pada institusi-institusi negara.
"Kebijakan menaikkan BPJS menjadi contoh berbagai kerapuhan itu. Semata mengejar defisit negara, tapi mengabaikan etika bernegara," tutur Ray saat dihubungi SINDOnews, Jumat (15/5/2020).
Putusan Mahkamah Agung (MA) jelas berkaitan dengan prinsip bahwa negara berkewajiban melayani warganya. Karena itu, kenaikan biaya BPJS ini bertentangan dengan prinsip putusan MA itu sendiri. (Baca juga: Rakyat Lagi Terhimpit, BPJS Malah Naik)
Negara yang melayani bukan membebani. Sekarang ini dengan situasi negara menghadapi Covid-19, kenaikan iuran BPJS Kesehatan dengan berbagai tingkatan akan semakin membebani masyarakat.
"Khususnya mereka yang berada di kelompok 1 atau 2. Pemerintah tentu menyadari bahwa masyarakat yang masuk kelompok dua sekarang ini juga banyak mengalami kesulitan ekonomi. Bahkan, sangat mungkin mereka akan menjadi warga miskin baru. Dari pertimbangan situasi kenaikan ini juga sangat tidak tepat," ungkapnya.
Selain membebani masyarakat secara materil juga membebani secara psikologis. Terlebih kenaikan iuran diumumkan dalam momentum peringatan Reformasi 98 dimana amanat reformasi salah satunya memberikan kesejahteraan rakyat sehingga tak berlebihan jika kenaikan iuran ini dianggap menjadi kado pahit peringatan reformasi. (Baca juga: Pasca Pandemi Corona, DPR Usulkan 2021 Fokus Pemulihan Ekonomi melalui UMKM)
"Kebijakan menaikkan BPJS menjadi contoh berbagai kerapuhan itu. Semata mengejar defisit negara, tapi mengabaikan etika bernegara," tutur Ray saat dihubungi SINDOnews, Jumat (15/5/2020).
Putusan Mahkamah Agung (MA) jelas berkaitan dengan prinsip bahwa negara berkewajiban melayani warganya. Karena itu, kenaikan biaya BPJS ini bertentangan dengan prinsip putusan MA itu sendiri. (Baca juga: Rakyat Lagi Terhimpit, BPJS Malah Naik)
Negara yang melayani bukan membebani. Sekarang ini dengan situasi negara menghadapi Covid-19, kenaikan iuran BPJS Kesehatan dengan berbagai tingkatan akan semakin membebani masyarakat.
"Khususnya mereka yang berada di kelompok 1 atau 2. Pemerintah tentu menyadari bahwa masyarakat yang masuk kelompok dua sekarang ini juga banyak mengalami kesulitan ekonomi. Bahkan, sangat mungkin mereka akan menjadi warga miskin baru. Dari pertimbangan situasi kenaikan ini juga sangat tidak tepat," ungkapnya.
Selain membebani masyarakat secara materil juga membebani secara psikologis. Terlebih kenaikan iuran diumumkan dalam momentum peringatan Reformasi 98 dimana amanat reformasi salah satunya memberikan kesejahteraan rakyat sehingga tak berlebihan jika kenaikan iuran ini dianggap menjadi kado pahit peringatan reformasi. (Baca juga: Pasca Pandemi Corona, DPR Usulkan 2021 Fokus Pemulihan Ekonomi melalui UMKM)
(jon)
tulis komentar anda