Bukan Saja Tolak Jabatan, Muhammadiyah Konsisten Kritisi Pemerintah
Minggu, 27 Desember 2020 - 14:07 WIB
JAKARTA - Muhammadiyah belakangan ini makin kritis dan kian sering menunjukkan sikap tegas kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) . Sikap tersebut dinilai sebagai bentuk koreksi Muhammadiyah atas kekeliruan pemerintah yang sudah semakin menumpuk.
Terbaru, sikap tegas organisasi persyarikatan ini ditunjukkan saat Abdul Mu'ti yang menjabat Sekretaris Umum PP Muhammadiyah menolak jabatan wakil menteri pendidikan dan kebudayaan (wamendikbud) yang ditawarkan Jokowi. Penolakan ini menarik perhatian banyak pihak karena selama ini jabatan menteri justru diidamkan banyak orang, terutama ormas atau partai politik.
Bukan hanya itu. Pekan lalu PP Muhammadiyah melalui Ketua Umum Haedar Nashir juga menginstruksikan agar kader di daerah menarik dana mereka dari sejumlah bank syariah. Di balik rencana pemerintah membentuk Bank Syariah Indonesia, Muhammadiyah melihat ada kebijakan yang tidak menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada UMKM. ( )
Pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun menilai sikap Muhammadiyah yang makin kritis dan tegas itu sebagai respons atas kebijakan pemerintah yang banyak keliru.
"Jadi, kalau pemerintah ingin tidak dikritik Muhammadiyah maka jangan lakukan kekeliruan dalam mengelola negara, jangan korupsi, jangan oligarkis, dan jangan berbuat tidak adil. Sesederhana itu sebenarnya sikap Muhammadiyah. Tetapi karena menumpuknya kekeliruan pemerintah, oleh Muhammadiyah itu dilihat sebagai ancaman," ujarnya kepada SINDONews, Minggu (26/12/2020).
Ubedilah menyebut Ketua umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir seorang intelektual. Karena itu tentu akan sangat objektif dalam melihat setiap kebijakan pemerintah.
"Artinya kalau pemerintah benar, tidak mungkin Muhammadiyah melakukan kritik. Tetapi sebaliknya jika ada yang tidak benar pasti Muhammadiyah terus melakukan kritik," kata Direktur Eksekutif Center for Social Political Economic and Law Studies (CESPELS) ini.
Menurut Ubedilah, kritik dalam negara demokrasi itu hal yang wajar dan dijamin oleh konstitusi UUD 1945. Jika pemerintah ada yang mengkritik, kata dia, itu mesti disyukuri karena masih ada yang mengingatkan. (Baca Juga: PP Muhammadiyah: RUU Omnibus Law Cacat Moral dan Prosedural)
"Bahaya kalau pemerintah tidak ada yang mengingatkan. Di sisi lain pemerintah harus mendengarkan kritik yang konstruktif dan mau berubah. Jika tidak mau memperbaiki kebijakanya itu artinya pemerintah sendiri yang menyuburkan sikap oposisi," katanya.
Terbaru, sikap tegas organisasi persyarikatan ini ditunjukkan saat Abdul Mu'ti yang menjabat Sekretaris Umum PP Muhammadiyah menolak jabatan wakil menteri pendidikan dan kebudayaan (wamendikbud) yang ditawarkan Jokowi. Penolakan ini menarik perhatian banyak pihak karena selama ini jabatan menteri justru diidamkan banyak orang, terutama ormas atau partai politik.
Bukan hanya itu. Pekan lalu PP Muhammadiyah melalui Ketua Umum Haedar Nashir juga menginstruksikan agar kader di daerah menarik dana mereka dari sejumlah bank syariah. Di balik rencana pemerintah membentuk Bank Syariah Indonesia, Muhammadiyah melihat ada kebijakan yang tidak menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada UMKM. ( )
Pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun menilai sikap Muhammadiyah yang makin kritis dan tegas itu sebagai respons atas kebijakan pemerintah yang banyak keliru.
"Jadi, kalau pemerintah ingin tidak dikritik Muhammadiyah maka jangan lakukan kekeliruan dalam mengelola negara, jangan korupsi, jangan oligarkis, dan jangan berbuat tidak adil. Sesederhana itu sebenarnya sikap Muhammadiyah. Tetapi karena menumpuknya kekeliruan pemerintah, oleh Muhammadiyah itu dilihat sebagai ancaman," ujarnya kepada SINDONews, Minggu (26/12/2020).
Ubedilah menyebut Ketua umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir seorang intelektual. Karena itu tentu akan sangat objektif dalam melihat setiap kebijakan pemerintah.
"Artinya kalau pemerintah benar, tidak mungkin Muhammadiyah melakukan kritik. Tetapi sebaliknya jika ada yang tidak benar pasti Muhammadiyah terus melakukan kritik," kata Direktur Eksekutif Center for Social Political Economic and Law Studies (CESPELS) ini.
Menurut Ubedilah, kritik dalam negara demokrasi itu hal yang wajar dan dijamin oleh konstitusi UUD 1945. Jika pemerintah ada yang mengkritik, kata dia, itu mesti disyukuri karena masih ada yang mengingatkan. (Baca Juga: PP Muhammadiyah: RUU Omnibus Law Cacat Moral dan Prosedural)
"Bahaya kalau pemerintah tidak ada yang mengingatkan. Di sisi lain pemerintah harus mendengarkan kritik yang konstruktif dan mau berubah. Jika tidak mau memperbaiki kebijakanya itu artinya pemerintah sendiri yang menyuburkan sikap oposisi," katanya.
tulis komentar anda