Jadilah Pemilih Rasional
Selasa, 08 Desember 2020 - 06:07 WIB
JAKARTA - Di tengah wabah Covid-19 yang berkepanjangan, masyarakat didorong mengutamakan aspek rasionalitas dan hati nurani saat coblosan pilkada serentak besok. Cara ini diharapkan akan melahirkan kepala daerah yang memiliki legitimasi kuat dari rakyat.
Penekanan rasionalitas ini penting sebab saat ini banyak masyarakat tak lagi memberikan perhatian pada agenda pemilihan kepala daerah (pilkada). Situasi ini wajar terjadi karena di tengan pandemi pikiran masyarakat lebih banyak difokuskan pada pengelolaan kesehatan diri serta pemenuhan kebutuhan ekonomi. (Baca: 5 Doa Ketika Mengalami Kesulitan)
Celah inilah yang sangat memungkinkan masyarakat menggunakan haknya pilihnya dengan sekadarnya. Mereka sangat mungkin mecoblos kandidat hanya berbasis informasi yang minim. Bahkan tak sedikit warga yang menjatuhkan pilihannya karena berbasis penampilan bukan visi dan misinya.
Direktur Eksekutif Yayasan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati menilai tahapan penyelenggaraan Pilkada tahun ini memang sangat berbeda ketimbang gelaran sebelumnya. Terlebih lagi, pembatasan kerumunan hingga kampanye tatap muka yang dibatasi berpotensi membuat masyarakat belum memahami sepenuhnya profil dan rekam jejak para calon.
“Tidak dapat dimungkiri bahwa masyarakat masih ada yang memilih bukan karena visi, misi, dan program yang diajukan oleh pasangan calon. Apalagi dalam situasi pandemi ini, pilkada bukan menjadi prioritas masyarakat sehingga tidak mencari tahu siapa yang menjadi calon di daerah tersebut,” ujar Nisa.
Dengan fakta ini, sudah seharusnya pemilih harus didorong menjadi kritis. Mereka harus mengenal siapa yang menjadi pasangan calon, apa visi-misi dan program yang diajukan oleh paslon tersebut. Salah satu caranya adalah dengan mengenali apa yang menjadi kebutuhan dari calon kepala daerah. (Baca juga: 14 SMP Gelar Simulasi Sekolah Tatap Muka Bersama Siswa)
“Apakah kebutuhan kita itu ada yang diakomodir oleh pasangan calon. Dengan begitu, pemilih akan mengenali siapa calonnya. Di sisi lain, itu ada peran dari penyelenggara pemilu untuk memastikan informasi mengenai calon tersampaikan secara utuh kepada pemilih,” jelasnya.
Bayang kekhawatiran lainnya yaitu persoalan politik transaksional. Ada potensi serangan fajar berupa pemberian uang atau barang demi meraup suara konstituen. Nisa menilai, dalam situasi pandemi saat ini, memang ada fenomena pemilih menjadi lebih permisif dengan politik uang.
Sebetulnya dari sisi regulasi ada sanksi pidana bagi pemberi dan penerima kasus politik uang. Bahkan bisa sampai pada diskualifikasi paslon. “Namun selama ini, dalam kasus politik uang masih sulit menjerat pelaku intelektual,” terangnya.
Penekanan rasionalitas ini penting sebab saat ini banyak masyarakat tak lagi memberikan perhatian pada agenda pemilihan kepala daerah (pilkada). Situasi ini wajar terjadi karena di tengan pandemi pikiran masyarakat lebih banyak difokuskan pada pengelolaan kesehatan diri serta pemenuhan kebutuhan ekonomi. (Baca: 5 Doa Ketika Mengalami Kesulitan)
Celah inilah yang sangat memungkinkan masyarakat menggunakan haknya pilihnya dengan sekadarnya. Mereka sangat mungkin mecoblos kandidat hanya berbasis informasi yang minim. Bahkan tak sedikit warga yang menjatuhkan pilihannya karena berbasis penampilan bukan visi dan misinya.
Direktur Eksekutif Yayasan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati menilai tahapan penyelenggaraan Pilkada tahun ini memang sangat berbeda ketimbang gelaran sebelumnya. Terlebih lagi, pembatasan kerumunan hingga kampanye tatap muka yang dibatasi berpotensi membuat masyarakat belum memahami sepenuhnya profil dan rekam jejak para calon.
“Tidak dapat dimungkiri bahwa masyarakat masih ada yang memilih bukan karena visi, misi, dan program yang diajukan oleh pasangan calon. Apalagi dalam situasi pandemi ini, pilkada bukan menjadi prioritas masyarakat sehingga tidak mencari tahu siapa yang menjadi calon di daerah tersebut,” ujar Nisa.
Dengan fakta ini, sudah seharusnya pemilih harus didorong menjadi kritis. Mereka harus mengenal siapa yang menjadi pasangan calon, apa visi-misi dan program yang diajukan oleh paslon tersebut. Salah satu caranya adalah dengan mengenali apa yang menjadi kebutuhan dari calon kepala daerah. (Baca juga: 14 SMP Gelar Simulasi Sekolah Tatap Muka Bersama Siswa)
“Apakah kebutuhan kita itu ada yang diakomodir oleh pasangan calon. Dengan begitu, pemilih akan mengenali siapa calonnya. Di sisi lain, itu ada peran dari penyelenggara pemilu untuk memastikan informasi mengenai calon tersampaikan secara utuh kepada pemilih,” jelasnya.
Bayang kekhawatiran lainnya yaitu persoalan politik transaksional. Ada potensi serangan fajar berupa pemberian uang atau barang demi meraup suara konstituen. Nisa menilai, dalam situasi pandemi saat ini, memang ada fenomena pemilih menjadi lebih permisif dengan politik uang.
Sebetulnya dari sisi regulasi ada sanksi pidana bagi pemberi dan penerima kasus politik uang. Bahkan bisa sampai pada diskualifikasi paslon. “Namun selama ini, dalam kasus politik uang masih sulit menjerat pelaku intelektual,” terangnya.
tulis komentar anda