Sulit Netral, Sejarah ASN Didesain sebagai Mesin Politik Pemilu
Jum'at, 04 Desember 2020 - 09:23 WIB
JAKARTA - Sangat sulit untuk mewujudkan aparatur sipil negara ( ASN ) netral dalam politik praktis. Sebab cetak biru ASN memang didesain sebagai pengabdi. Meskipun normatifnya mengabdi untuk negara, realitanya dia harus tunduk para perintah atasan.
Pengamat politik Hurriyah menjelaskan tidak netralnya ASN merupakan implikasi langsung penerapan sistem demokrasi pemilihan kepala pemerintahan secara langsung. Pemilihan langsung, katanya, menyebabkan terjadinya gesekan dengan manajemen administrasi pemerintah.
(Baca: Pilkada Serentak 2020, Politik Uang dan Keberpihakan ASN Masih Menjadi Masalah)
Hurriyah menerangkan ada sejarah panjang mengenai keberpihakan ASN dalam politik Indonesia. Di masa orde baru, menurutnya, birokrasi didesain menjadi mesin politik untuk kepentingan pemilihan umum (pemilu).
“Lalu, ada persoalan sosial-budaya. Kultur birokrasi tidak mengenal prinsip-prinsip netralitas. Ada persoalan kekerabatan, primordial, dan patronase. Kemudian, Penerapan pilkada langsung ini semakin mempertajam dan membuka ke publik adanya gesekan tersebut,” kata Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP UI dalam diskusi daring dengan tema “Pilkada, Kecurangan, dan Netralitas ASN”, Kamis (3/12/2020).
(Klik ini untuk ikuti survei SINDOnews tentang Calon Presiden 2024)
Itulah sebabnya, ASN berada dalam posisi dilematis ketika pemilihan kepala daerah (pilkada) tiba. Di satu sisi dituntut netral, tapi kadang banyak “tangan-tangan” politik berusaha mengintervensi pilihan pada salah satu calon.
Menurut Hurriyah, netralitas ASN sebenarnya diatur dalam sejumlah beleid, antara lain Undang-Undang (UU) Nomor 5/2014 tentang ASN dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53/2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Peraturan itu untuk melindungi ASN dari kontrol langsung kekuatan politik. Masalahnya, dalam situasi semacam pilkada, yang dihadapi adalah persepsi.
Pengamat politik Hurriyah menjelaskan tidak netralnya ASN merupakan implikasi langsung penerapan sistem demokrasi pemilihan kepala pemerintahan secara langsung. Pemilihan langsung, katanya, menyebabkan terjadinya gesekan dengan manajemen administrasi pemerintah.
(Baca: Pilkada Serentak 2020, Politik Uang dan Keberpihakan ASN Masih Menjadi Masalah)
Hurriyah menerangkan ada sejarah panjang mengenai keberpihakan ASN dalam politik Indonesia. Di masa orde baru, menurutnya, birokrasi didesain menjadi mesin politik untuk kepentingan pemilihan umum (pemilu).
“Lalu, ada persoalan sosial-budaya. Kultur birokrasi tidak mengenal prinsip-prinsip netralitas. Ada persoalan kekerabatan, primordial, dan patronase. Kemudian, Penerapan pilkada langsung ini semakin mempertajam dan membuka ke publik adanya gesekan tersebut,” kata Wakil Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) FISIP UI dalam diskusi daring dengan tema “Pilkada, Kecurangan, dan Netralitas ASN”, Kamis (3/12/2020).
(Klik ini untuk ikuti survei SINDOnews tentang Calon Presiden 2024)
Itulah sebabnya, ASN berada dalam posisi dilematis ketika pemilihan kepala daerah (pilkada) tiba. Di satu sisi dituntut netral, tapi kadang banyak “tangan-tangan” politik berusaha mengintervensi pilihan pada salah satu calon.
Menurut Hurriyah, netralitas ASN sebenarnya diatur dalam sejumlah beleid, antara lain Undang-Undang (UU) Nomor 5/2014 tentang ASN dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53/2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Peraturan itu untuk melindungi ASN dari kontrol langsung kekuatan politik. Masalahnya, dalam situasi semacam pilkada, yang dihadapi adalah persepsi.
(muh)
tulis komentar anda