Waspada Fenomena Long COVID-19, Berikut Penjelasan PDPI

Kamis, 03 Desember 2020 - 13:53 WIB
Ketua PDPI sekaligus Ketua Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran UI, dr Agus Dwi Susanto mengatakan efek jangka panjang ini juga bisa disebut sebagai long COVID-19. Foto/BNPB
JAKARTA - Laporan terbaru World Health Organization ( WHO ) tentang efek jangka panjang COVID-19 yang dipublikasikan tanggal 9 September 2020, menyebutkan COVID-19 dapat menyebabkan penyakit yang berkepanjangan bagi sebagian orang. Bahkan, pada orang dewasa dan anak-anak tanpa didasari kondisi medis kronis.

Beberapa gejala mungkin menetap atau berulang selama berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan setelah pemulihan awal. Hal ini juga bisa terjadi pada orang dengan penyakit ringan. (Baca juga: Sepekan, 48 Pebasket NBA Dikonfirmasi Positif Covid-19)

Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) sekaligus Ketua Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran UI, dr Agus Dwi Susanto mengatakan efek jangka panjang ini juga bisa disebut sebagai long COVID-19 .



“Jadi istilah long COVID-19 ini sekarang sedang cukup marak ya dan banyak dibahas oleh praktisi kesehatan. Dulu kita mengenal istilah nya sebelum long COVID-19 ini adalah post COVID-19 sindrom atau kronik COVID-19 itu istilah yang lama. Tapi kemudian seiring perkembangannya akhirnya difamiliarkan termasuk oleh WHO oleh long COVID-19,” ujar Agus dalam dialog secara virtual “Mewaspadai Efek Jangka Panjang COVID-19” dari Media Center Satuan Tugas Penanganan COVID-19, Graha BNPB, Jakarta, Kamis (3/12/2020).

Agus menjelaskan long COVID-19 ini banyak diartikan dalam suatu kondisi gejala-gejala yang muncul pada pasien yang sudah dinyatakan sembuh COVID-19 berdasarkan hasil swab yang sudah negatif. “Gejala itu muncul bisa berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan dan menetap. Itu yang disebut sebagai long COVID-19.”

(Klik ini untuk ikuti survei SINDOnews tentang Calon Presiden 2024)

Agus juga mengatakan bahwa gejala dari long COVID-19 bervariasi. “Tergantung dari yang paling banyak adalah kelelahan kronik, kemudian gejala sesak napas atau napas berat, termasuk juga gejala berdebar-debar yang terkait dengan jantung dan bisa sampai ke nyeri sendi, nyeri otot, termasuk juga dalam psikologi atau depresi pasca COVID-19 itu termasuk beberapa kriteria yang masuk di dalam long COVID-19 itu sendiri,” jelasnya.

Sebenarnya, kata Agus, kalau berbicara long COVID-19 ini bukan karena virus yang tersisa. “Tetapi memang kalau kita sering menyebutnya sebagai gejala sisa yang muncul pasca dinyatakan sembuh. Dan ini bisa terjadi akibat proses ketika sakit menimbulkan kelainan yang menetap secara anatomik yang akhirnya mempengaruhi secara fungsional,” terangnya.

Agus pun mencontohkan fenomena long COVID-19 yang sering ia temukan. “Contohnya kalau saya sebagai dokter paru adalah sering kita temukan pada pasien-pasien long COVID-19 ini adalah parunya itu ada fibrosis, artinya ada kekakuan pada jaringan paru yang sifatnya menetap bisa dalam 23 bulan.”

“Ini akhirnya menyebabkan oksigen engak bisa masuk, sehingga banyak pasien yang nafasnya berat. Nah itu bisa dilihat dari tes uji fungsi parunya. Beberapa pasien kita temukan, beberapa laporan antara 20 sampai 30% penurunan fungsi paru. Akibatnya ini berdampak pada keluhan pernapasan, pasiennya mengeluh menjadi sesak nafas,” tuturnya. (Baca juga:Kontak Erat dengan Anies, Kapolda Metro Umumkan Dirinya Negatif Covid-19)

Jadi, tegas Agus, fenomena long COVID-19 tidak terkait dengan virus yang masih ada tetapi terkait dengan dampak akibat kelainan anatomi yang muncul pasca infeksi dari COVID-19 yang sudah dinyatakan sembuh.
(kri)
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More